Malam Pergantian Tahun 2022 – 2023

Kalau ngomongin malam pergantian tahun, yang paling teringat adalah tradisi keluarga untuk kumpul bersama, makan malam lalu ‘mandok hata’. Mandok hata ini adalah kegiatan bergantian menyampaikan perasaan, nasehat dan pesan, bisa dilakukan waktu sedang kumpul keluarga, memberi ulos untuk orang tua/pengantin, dan lain sebagainya.

Khusus untuk tahun baru ini, isinya mandok hata ini adalah menuangkan segala macam perasaan kita sepanjang tahun yang hampir berakhir. Rasa syukur, harapan, kekecewaan, dan lain sebagainya. Dan karena konteksnya dilakukan di dalam acara keluarga, ya perasaan dan lain-lain tersebut ya tentunya (terkadang) berkaitan dengan anggota keluarga tersebut.

Yang repot kalau acaranya diadakan di sebuah keluarga besar, ada Oppung, Tante, Oom dan segala sepupu. Lalu semua orang itu mengutarakan perasaannya selama tahun tersebut! Terkadang ya tidak bisa dielakkan ada hal-hal yang ‘sensitif’ dan akhirnya jadi agak panjang dibicarakan di muka umum. Misalnya: “Kakak kedua, sebenarnya saya kecewa lho waktu itu saya begini begitu dan kakak reaksinya begitu begini.” Lalu sang Kakak pun menjawab, “Ya, maksud saya, bla… bla… bla…”

Bisa dibayangkan kalau acara mandok hata ini bisa panjaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang sekali. Padahal cuma orang dewasa yang ikut bicara, anak-anak cuma mendengar alias tidur terkapar di tikar, di sela-sela kaki ibunya masing-masing atau di kamar. Count down akhir tahun biasanya tidak pernah dilakukan karena acara mandok hatanya belum selesai. Kalaupun sudah selesai, saya sudah nggak tahu lagi ceritanya gimana, karena sudah keburu ketiduran.

Biasanya tradisi malam pergantian tahun ini saya lewati di Bandung, di rumah Oppung, mama-nya Mama saya. Setiap tahun kami ‘pulang kampung’ ke sana karena Oppung (kakek nenek) dari Papa saya tinggal di Siantar, Sumatera Utara. Untuk bisa merayakan Natal dan Tahun Baru setiap tahun di sana tidak bisa kami lakukan karena alasan ekonomi.

Waktu cucu-cucu Oppung Bandung pun mulai dewasa dan satu demi satu menikah dan punya anak, acara kumpul akhir tahun ini akhirnya dilakukan di rumah masing-masing. Apalagi waktu Oppung Bandung sudah meninggal, otomatis semua anak-anak Oppung yang juga sudah punya cucu menyelenggarakan acara malam akhir tahun di keluarganya sendiri-sendiri.

Sebagai perantau tentu saja saya tidak bisa ikut menjalani pergantian tahun di rumah orangtua saya. Akhirnya saya dan suami pun harus membentuk tradisi malam akhir tahun versi kami sendiri.

Oliebollen dan kembang api

Di Belanda, pergantian tahun (jaarverwisseling) ditandai dengan kumpul bersama dan kembang api. Sambil menunggu countdown akhir tahun, anggota keluarga makan oliebollen (roti goreng seperti odading) dan cemilan lainnya.

Oliebollen ini merupakan tradisi yang sudah mendarah daging.Tidak sering orang-orang akan masak sendiri oliebollen di rumahnya masing-masing. Untuk orang nggak mood masak sendiri, mereka bisa membeli di kraam oliebollen yang hanya muncul di bulan Desember setiap tahunnya.

Waktu tahun berganti, tepat jam 12 malam, mereka akan keluar rumah dan menyalakan kembang api. Sambil memegang gelas champagne, make a toast dan bilang: “Gelukkig nieuw jaar” satu sama lain. Officially, petasan dan kembang api hanya boleh dinyalakan mulai dari jam 18.00 tanggal 31 Desember sampai jam 02.00 tanggal 1 Januari. Tapi pada prakteknya, biasanya kita sudah mulai mendengar petasan di mana-mana sejak satu atau dua hari sebelum pergantian tahun.

Budaya merayakan pergantian tahun dengan kembang api di Belanda ini buat saya pribadi terasa ekstrim. Waktu saya tinggal di Jakarta, rasanya tidak ada orang yang menyalakan petasan dan kembang api di malam tahun baru. Mungkin memang waktu itu teknologi petasan juga belum semaju sekarang ya. Selama saya tinggal di Singapura beberapa belasan tahun yang lalu, kembang api pun hanya dinyalakan oleh pemerintah di pusat kota. Kami juga sempat melewati malam tahun baru beberapa tahun lalu di Paris – tidak boleh ada kembang api dinyalakan oleh warga!

Meskipun bukan satu-satunya negara di Eropa yang punya tradisi menyalakan kembang api untuk merayakan pergantian tahun, tetapi orang Belanda hampir seperti ‘terobsesi’ dengan kebiasaan ini. Tahun ini saja, jumlah uang yang dikeluarga warganya (yang hanya 17 juta saja jumlahnya, hanya 1,5 kali jumlah warga Jakarta) mencapai 110 juta Euro!

Tradisi pergantian tahun keluarga kami

Meskipun personally saya tidak setuju dengan ide kembang api ini (gak suka ributnya dan gak suka buang uangnya haha), tapi ya namanya di mana papan dipijak di situ bumi dijunjung – tidak mudah untuk lari dari kenyataan kalau malam tahun baru identik dengan kembang api yang dinyalakan (secara besar-besaran) hampir di setiap sudut perumahan.

Waktu anak-anak masih bayi dan balita, mereka berhasil tetap tidur di tengah hingar bingar suara dentuman petasan dan kembang api yang hampir seperti di medan perang. Waktu mereka mulai besar, butuh beberapa tahun baru sampai mereka bisa ‘menikmati’ indahnya kembang api besar tanpa ketakutan dengan suaranya. Tapi biasanya mereka tetap kami bawa tidur sesuai jam tidur normal dan tidak sempat melihat puncak kembang api di jam 12 malam.

Pergantian tahun yang lalu dan tahun ini, anak-anak sudah bisa diajak bergadang sampai jam 12 malam. Tahun pertama kami bergadang menunggu pergantian tahun, tidak ada hal yang istimewa yang kami lakukan. Hanya makan malam biasa, main kembang api (yang kecil-kecilllll), lalu nonton tv/main game sampai jam 12 malam.

Tahun ini, saya mencoba untuk menginisiasi sebuah tradisi baru. Buat saya yang sejujur-jujurnya malas repot (dan sering kehabisan waktu dan tenaga), mendirikan sebuah tradisi baru itu bukan perkara yang mudah. Membayangkan harus menyiapkan ini itu, membuat sebuah hari lebih spesial dari hari biasanya – hanya membayangkannya saja, sudah membuat lelah!

Tapi dipikir-pikir, sayang sekali kalau anak-anak kami tidak memiliki perasaan terkenang terhadap hari-hari tertentu. Saya ingin anak-anak tidak merasa lain sendiri kalau orang-orang di sekitarnya mengindentikkan tahun baru dengan olliebolen dan kembang api sedangkan mereka tidak melakukannya. Tapi saya juga ingin sesuatu yang ‘lebih’ dari itu…

Pergantian tahun ini seperti tahun-tahun sebelumnya Pak Suami yang bertugas untuk main kembang api dengan anak-anak di pekarangan rumah setelah makan malam. Saya? Saya seperti biasa terlalu lembam untuk berdingin-dingin di luar – hanya ikut menonton dari dalam rumah, ikut gembira dengan keriangan mereka. 😁

Tapi kali ini kami sedikit lebih siap dibanding tahun-tahun berikutnya. Pak Suami sudah membeli olliebolen di siang hari tanggal 31 untuk kami makan sambil menunggu countdown. Tidak ada champagne, hanya bir dingin untuk beliau sendiri. Anak-anak pun sudah di’paksa’ tidur siang sebelumnya supaya bisa kuat menunggu sampai tengah malam.

Waktu sudah jam 11 malam, saya mengajak Pak Suami dan anak-anak untuk berdoa bersama. Mengajak mereka merenungkan apa saja yang sudah terjadi sepanjang tahun 2022, apa saja hal-hal yang mereka syukuri sepanjang tahun itu, dan harapan apa saja yang mereka punya untuk tahun yang baru.

Formulir tahun baru

Untuk mempermudah anak-anak membayangkan konsep ‘rasa syukur dan harapan’ untuk tahun yang sudah berlalu dan tahun yang akan datang, saya membuat sebuah formulir untuk mereka (dan orangtuanya) isi. Isi formulirnya:

apa saja yang kamu syukuri di tahun 2022, apa yang kamu rasa sulit di tahun 2022 dan bagaimana hal itu berlalu, apa harapan kamu di tahun 2023, dan apa yang ingin kamu capai di tahun 2023.

Tentu saja Pak Suami yang paling geli dengan hal-hal sok formal seperti ini memasang muka aneh ketika kami duduk dan saya membagikan kertas kepada mereka. Tapi tanpa komentar dia ikut bekerja sama dengan sang istri untuk menjalankan sebuah tradisi yang baru di keluarga ini.

Anak-anak mengisi formulir mereka dengan jawaban yang sederhana khas anak-anak, tapi juga dengan harapan yang membuat saya terkejut dengan kepolosan mereka.Seperti Jacob yang berkata bahwa sepanjang tahun 2022 dia merasa kesulitan karena punya terlalu banyak aktivitas (camkan itu, Mak!), dan dia berharap bahwa perang antara Rusia dan Ukraina akan berakhir di tahun 2023.💞

Kami duduk bersama mengisi formulir ini, lalu membacakan isi perasaan/harapan/rasa syukur untuk tahun yang hampir berlalu dan tahun ke depan, lalu berdoa bersama. Semua orang berdoa, dimulai dari Si Bungsu dan ditutup oleh Pak Suami.

Setelahnya kami makan olliebolen dan menonton tv sampai countdown tahun baru, lalu keluar rumah dan berjalan-jalan di sekitar perumahan melihat orang-orang yang memasang kembang api dengan semangat yang menyerupai semangat 45. 😅

Tahun Baru, semangat lama

Anak-anak naik tidur sekitar jam 1 pagi, disusul Mama Papanya. Kami bangun siang, menikmati hari libur di rumah. Tanggal 1 Januari, apalagi bila jatuh di hari Minggu seperti sekarang – itu berarti kalau semua toko dan restoran (kecuali McDonald’s dan teman-temannya, sepertinya) tutup. Plus dengan fakta kalau kami semua sedang recovery dari Corona, jadi tinggal di rumah memang satu-satunya opsi untuk hari ini.

Tahun 2023 sudah datang. Tidak terasa sudah 23 tahun lamanya sejak abad ke-21 dimulai. Dulu waktu pergantian milenium antara 1999 dengan 2000, saya masih menjadi mahasiswa di Insititut Tjap Gajah. Sekarang lebih dari dua dekade kemudian, saya menjalani sebuah peran yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, menjalani sebuah kehidupan yang di luar rencana saya waktu itu, dan tinggal di tempat yang tidak pernah saya impikan.

Tahun baru yang identik dengan semangat yang baru, tidak berlaku untuk saya tahun ini. Tahun ini saya tidak punya mimpi, tujuan, atau target yang jelas. Tidak punya resolusi tahun baru juga. Tidak punya ambisi yang terlalu menggebu-gebu.

Tahun ini saya mulai dengan semangat yang lama: menjalani hidup dengan sebaik-baiknya, melakukan apa saja yang saya bisa: lulus ujian bahasa, belajar untuk bisa lolos program integrasi, sambil mencari-cari mau belajar apa kalau bisa sekolah lagi. Sisanya berusaha hidup tetap sehat, mengurus keluaga dan menikmati bersama suami dan anak-anak, living the life – menghidupi anugerah yang sudah dilimpahkan Tuhan.

Lho, kan sama aja tuh? Katanya nggak punya resolusi, tapi ternyata tetap mau melakukan sesuatu. Ya iya dongggg… kita kan manusia, hidup dan harus terus berkarya. Maksud saya tahun baru tanpa resolusi adalah tahun ini saya menjalaninya dengan tetap semangat, tapi nggak mau ngoyo.

Jalani saja seperti air mengalir – itu nasehat Mama saya selalu. Terus mencoba yang terbaik, terus melihat kesempatan yang ada, terus menikmati kebaikan Tuhan, terus berserah dan ikut kemana Dia memimpin langkah saya…

Selamat tahun baru untuk kita semua!

2 Thoughts on “Malam Pergantian Tahun 2022 – 2023

  1. Mama saya mewariskan ke kami, kalau malam Tahun Baru bikin oliebollen. Saya sejak SMP kebagian disuruh menggoreng. Mungkin Mama saya ada pengaruh didikan zaman Belanda dulu banget kalik…hehe…
    Jadi aja, saya setiap malam Tahun Baru bikin juga oliebollen sampai sekarang. Cepet aja kok, cuma 350 gr tepung, jadi engga banyak. Lainnya ya engga ada acara apa-apa sih, paling makan bareng anak-anak.
    Met Tahun Baru 2023 yah…walaupun saya baru baca artikel ini tanggal 23 Januari…hehe…

    1. Waah.. ternyata ada juga ya orang Indonesia yang sempat ikut tradisi olliebolen ini. Makasih ya Bu Hani udah mampir, selamat tahun baru juga, yang berjalan sangat cepat karena dah mau Februari aja hihihi

Leave a Reply to Irene Cynthia Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *