Hari Minggu minggu lalu, kami sekeluarga pergi ke stadscentrum (pusat kota) untuk beli sepatu. Ya, ya… tipe orangtua tauladan. Hari Senin besoknya adalah hari pertama tahun ajaran baru, dan sepatu si sulung dan si kecil sudah kesempitan. Beli di menit-menit terakhir sungguh tidak terpuji, tapi mungkin itu serunya. Semacam wisata adrenalin.

Semua itu tentu saja cuap-cuap excuse belaka. Excuse lainnya kenapa kami menunda belanja adalah pada dasarnya masih malas pergi ke tengah kota yang penuh orang. Meskipun jumlah kasus Corona stabil cukup rendah di Belanda, tapi tetap saja rasanya masih riskan untuk sering keluar.

Ketika mobil kami sudah mendekat ke sana, kami pun terkejut karena ternyata banyak sekali mobil yang mau masuk ke gedung parkir. Begitu banyaknya, sampai gedung parkir yang punya 5 lantai dengan total kapasitas 1170 mobil hanya tersisa tempat 52 mobil belaka! Haduh, makin mules ya membayangkan betapa penuhnya shopping mall ini. Dan ini gedung parkir nomor 5. Masih ada empat tempat parkir lainnya…

Biarpun begitu, misi harus dijalankan. Berberkal masker kami pun menuju toko sepatu, toko tas dan segala toko yang diperlukan. Setelah berbelanja kami pun menuju tempat parkir karena ingin pulang. Tetapi ada suara-suara ribut di pelataran Mall… si bungsu bertanya, “Mama, kamu dengar keributan itu?”

Sampai di sana ternyata sedang ada sekelompok pemuda bermain musik. Wah, rasanya sudah lama sekali tidak ada kerumunan seperti ini. Menonton musik di pelataran terbuka, beberapa orang sudah mulai ikut menari – termasuk saya!

Kalau liat orang-orang bermain musik pinginnya juga bisa main musik ya!

Meskipun saya bukan tipe yang sok-sok anak muda, tapi tidak sadar kaki dan pinggul pun ikut dengan keriangan ini. Sepertinya mereka murid-murid conservatorium – sekolah tinggi musik di kota kami – yang sedang ‘latihan’ sambil ngamen mencari rejeki.

Rindu kenormalan

Tiba-tiba ada rindu yang menyeruak di dada. Rindu normal. Rindu masa-masa menikmati musik di keramaian seperti ini masih merupakan sesuatu yang biasa. Rindu bisa berdiri dekat orang lain tanpa jengah dan curiga, tanpa takut dan kuatir jangan-jangan pulang membawa penyakit.

Menurunnya jumlah kasus di Belanda sudah membuat pemerintah membuka hampir semua peraturan Corona yang sudah diberlakukan hampir dua tahun. Toko, sekolah, perpustakaan sudah buka. Orang boleh keluar dan masuk ruangan tanpa masker. Kapasitas toko dan theater dan sebagainya memang tetap masih dibatasi, tapi semua hampir terasa normal kembali.

Meskipun demikian, rasa deg-degan jangan-jangan kasus Delta seperti di Asia akan datang ke Eropa tetap mencekam. Minimal buat saya pribadi yang menyaksikan sendiri efeknya di tengah-tengah sahabat dan keluarga yang tinggal di Indonesia. Mungkin untuk bule-bule ini yang tidak punya family di Asia, corona sudah sepenuhnya babai. Tapi bukan buat saya.

Corona dan rindu

Saya rasa kalau ada mesin pengukur untuk mengukur rasa rindu semua manusia di dunia ini, pasti sudah rusak karena kelebihan kapasitas di masa Corona. Baru di jaman pandemi inilah kita semua secara serempak merasakan sebuah perasaan yang begitu basic: rindu.

Sulitnya bertemu orangtua, teman, keluarga. Sulitnya bersekolah dan bekerja. Semua hanya bisa dilakukan lewat layar. Sentuhan dan pelukan menjadi sebuah kosakata yang asing, semacam tabu untuk dilakukan.

Waktu kami mengalami lockdown gelombang pertama, TV secara rutin menampilkan suasana rumah jompo yang begitu menyedihkan. Banyak manula yang menderita bahkan sampai meninggal karena terinfeksi Corona, tapi lebih banyak yang menderita karena mereka kesepian. Tidak boleh dijenguk, tidak boleh disentuh.

Para manula ini banyak yang sudah mengalami dementia. Berapa kalipun dijelaskan, mereka tidak bisa paham kenapa sekarang begitu sepi dan begitu terasing. Atau sudah terlalu tua untuk mengadopsi teknologi sehingga tidak tahu caranya berkoneksi dengan keluarga memakai handphone atau laptop.

Bahkan masa duka pun tidak bisa dihadapi dengan normal di masa Corona ini. Kehilangan orang terkasih hanya bisa disaksikan lewat layar. Tidak banyak kesempatan untuk menghibur dengan genggaman tangan. Hanya kata-kata dan pesan.

Menahan rindu

Satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah menahan rindu. Mematikan semua rasa sampai tidak tersiksa lagi dengan keinginan untuk pulang ke Jakarta. Mematikan semua emosi sampai tidak terasa lagi sedih dan galau ketika tahu orangtua sempat masuk rumah sakit. Atau ketika kami sendiri di sini sakit dan membutuhkan keluarga datang.

Semua hanya bisa dipendam. Normal atau tidak normal, hidup terus berjalan. Sedih atau tidak sedih, hari masih terus berganti. Ada anak-anak yang harus diurus. Ada suami yang tetap harus dimasakin makanan. Rindu itu ada, tapi ditekan. Begitu dalam sampai hampir tidak bisa ditemukan.

Tapi toh melihat anak-anak muda ini begitu ceria bermusik membuat saya sadar bahwa saya rindu kenormalan. Saya rindu berjalan-jalan di tengah keramaian. Saya rindu bisa menikmati hari di tengah kota tanpa cemas, tanpa berbelanja dengan terburu-buru, tanpa masker dan pembersih tangan.

Dan terutama, saya rindu pulang…

Bersyukur

But still, saya bersyukur. Ketika kami mengantarkan anak-anak ke sekolah di hari berikutnya, melihat senyum mereka yang malu-malu setelah 6 minggu berpisah dengan teman-temannya – saya melihat bahwa di tengah suasana Corona yang begitu sarat dengan rindu yang harus saya tekan ini, saya masih punya segudang alasan untuk bersyukur.

Meskipun digantikan stiker, begitulah kira-kira wajah si sulung dan si bungsu. Satu agak sok cool, satu lagi senyum cemerlang karena senang bisa kembali berkumpul dengan teman.

Anak-anak kami boleh bersekolah dengan normal. Meskipun terkadang kejar-kejaran dengan satu atau dua kasus infeksi di sekolah. Meskipun sudah sempat dua kali lockdown dan bisa jadi kembali lockdown.

Kami semua sehat – keluarga di Asia juga sampai hari ini sehat. Kami adalah sedikit dari keluarga yang beruntung yang sampai hari ini tidak harus mengucapkan selamat tinggal karena Corona. Meskipun ada saja yang sampai harus dirawat di rumah sakit, tapi sampai hari ini kami semua hidup dan bernafas – semua hanya kebaikan Tuhan.

Kami semua masih bisa makan. Dilepas dari satu pekerjaan dan menemukan pekerjaan lain. Pergi ke kota lain dan kembali lagi. Kekurangan dan dicukupkan. Kuatir dan dihiburkan.

Melihat senyum si bungsu yang begitu lebar terkembang karena senang kembali ke sekolah – saya sadar bahwa saya punya sejuta alasan untuk bersyukur. Kalau kami masih ada sampai sekarang, semua hanyalah kebaikan Tuhan.

Mengapa saya mampu menahan rindu? Mungkin bukan lagi karena saya terlatih mematikan perasaan. Tapi alasan utama di balik semuanya adalah karena masih banyak hal yang disyukuri, di atas semua kehilangan dan kekurangan yang membuat rindu ini terasa tajam.

Still, I will praise You God. Because You’re good. Even when things go wrong, still my trust in You remains. Still I will praise Your Name.

Catatan tambahan

Tulisan ini dipersembakan untuk mengisi tantangan menulis mingguan KLIP periode 30 Agustus – 5 September 2021 dengan tema: “Ruang rindu”.

4 Thoughts on “Rindu Normal

  1. Itu lihat Dutch GP F1 di Zandvoort penontonnya penuh dan tanpa masker. Santai beneran mereka. Padahal salah satu driver ada yang kena Covid sehingga absen itu balapan. Sepertinya saking rindunya, orang Belanda lebih memilih menganggap Covid sekedar sakit flu biasa ya.

    1. Iya mbak.. Di sini udah bebas pisan. Jadinya keikutan juga memang mau keluar2 meski deg2an.
      Ini kan sekolah baru seminggu berjalan setelah libur panjang. Biasanya ya ketahuan sebulan lagi ada peningkatan kasus atau nggak.

  2. salam kenal mbk irene…semoga sehat selalu sekeluarga disana ya. kita rindu semua kenormalan ini, sebelum badai corona datang. terima kasih mbk irene

Leave a Reply to Footnote Maker Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *