Tema Tantangan Menulis minggu ini sungguh terlalu muluk-muluk. Dalam rangka memperingati hari Perdamaian Dunia yang jatuh pada tanggal 21 September, maka tim TTM KLIP pun “latah” memakai hari peringatan ini sebagai tema tulisan. 

“Hidup Bersama Dengan Damai”, begitulah temanya. Haruskah dibahas? Perdamaian dunia kok kedengarannya jauh banget. Itu kan urusan para pembesar negara. Buat cucak-cucak rawa kayak saya ini, apalah gunanya mikirin perdamaian dunia? Siapa sih ini yang nentuin tema TTM-nya? Malesin banget.

Setiap minggu, KLIP mengeluarkan tantangan menulis dengan tema yang menarik!

Hehehe. Mungkin begitulah sebagian pemikiran para ibu-ibu KLIP yang membaca tema minggu ini. Semoga nggak ya.🤭

Perdamaian yang tampak jauh di mata

Kalau kita bicara tentang perdamaian dunia, mungkin pikiran kita akan tertuju pada sosok penting seperti Mahatma Gandhi dan Mother Teresa. Atau kalau kita ‘perlu’ peran antagonis untuk gampang membayangkan gimana sih keadaan kalau nggak damai, ingatan kita tertuju pada sosok you know who🤫, tetangganya Lee Min Ho di sebelah Utara sana.

Sosok-sosok berpengaruh yang sepertinya menentukan apakah dunia ini akan damai atau tidak: kalau kamu berani melawan, saya akan kirim rudal? Atau orang penting seperti Gandhi yang berkarya besar untuk melawan penjajahan dengan anti kekerasan.

Perdamaian dunia terdengar sebagai istilah yang jauh dan tidak langsung berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan kata itu pun jarang kita dengar, atau pun renungkan. Kalau saya sih kalau dengar kata ‘perdamaian’ seringnya teringat kepada salah satu lagu yang sering dipasang di acara TVRI 30 tahun lalu: Irama Gambus. Kalau salah dua dari tiga anak orangtua saya berantem, seringnya satu yang tidak ikut berantem akan bersenandung, “Perdamaian, perdamaian”🎶🎵, entah untuk menyindir atau untuk mendamaikan.

Perdamaian dimulai di rumah

Meskipun saya bukan cucunya Mahatma Gandhi, tapi saya yakin bahwa perdamaian dunia itu harusnya dimulai di masing-masing rumah dari paling tidak 2 miliar keluarga di seluruh dunia ini. 

Sama seperti perang itu bisa dimulai dari urusan satu manusia yang bertengkar dengan satu manusia lain, setiap orang di dunia ini bertanggung jawab untuk mengusahakan perdamaian.

Setiap orangtua bertanggung jawab mengajarkan perdamaian bagi anak-anaknya. Betapa banyak tawuran terjadi hanya karena urusan kecil – siswa sekolah yang saling mengejek berbuntut perang antar sekolah atau kampung. Tidak jarang sampai mengambil korban jiwa.

Lidah tak bertulang, tapi bisa berbisa

Puluhan tahun lalu di saat saya beranjak remaja, ada masanya di mana saya mulai merasa besar dan jagoan, dan mulai memakai kata-kata yang kasar untuk menunjukkan ‘kegagahan’ saya. 

Dimulai dengan makian bertaraf mendingan seperti sialan, kurang ajar, kampret dan teman-temannya. Berkembang kepada pemakaian nama-nama binatang 🙈 (innocent creatures yang namanya suka dibawa-bawa oleh manusia yang marah), sampai kepada ancaman-ancaman – mungkin pengaruh teve atau just because saya anak Depok haha – seperti, “gue bacok lo, gue gampar lo,” dan lain sebagainya.

Tadinya Mama saya masih mendiamkan, mungkin beliau masih berharap ini hanya fase yang akan segera lewat dengan sendirinya. Tapi tidak lama beliau pun turun tangan. Dengan tegas beliau bersabda kalau semua kata-kata tersebut harus hilang dari mulut saya. 

Saya pun membela diri. Lah, Mam. Itu kan cuma kata-kata belaka. Kalau aku kesal sama abang (saudara laki-laki saya), trus saya bilang, gue bacok lo, itu kan bukan berarti aku mau beneran bacok dia??

No, kata Mama saya. Apa yang kamu ucapkan, itu datang dari hati kamu. Mungkin sekarang ini itu di bibir saja, tapi lama-lama hal itu bertumbuh di dalam hatimu. Pokoknya Mama tidak mau dengar kata-kata seperti itu di rumah ini! Dan tidak juga di luar!

Entah waktu itu Mama pakai metode apa. Apa mulut saya dicabe? Disabun? Atau apa, saya tidak ingat lagi. Tapi saya ingat sekali percakapan itu, dan sejak saat itu (kira-kira), saya (barusaha keras) berhenti sok jago dan simply stopped berkata-kata yang kasar.

Kamera CCTV di Facebook

Berbelas tahun kemudian saya pun punya Facebook account. Tadinya punya Friendster. Huhuy, jadi terkenang Friendster… Ingat gak di mana kita ‘didorong’ untuk memberi testimonial tentang teman kita di halaman Friendsternya.

Zaman semua orang berpindah ke Facebook, saya sudah merantau ke Singapura. Supaya bisa catch up anak gadisnya ngapain aja, orangtua saya ikutan dong install Facebook. Meskipun bukan orangtua yang super canggih, tapi mereka relatif up to date dengan teknologi komunikasi.

Mungkin emang bawaan mereka itu paranoid, tapi yang jelas semua postingan saya dipantau oleh mereka.

Jangan komentar soal politik.

Gak usah komentar di hal-hal yang kontroversial.

Jangan ngomong kasar.

Hati-hati nanti comment kamu dilacak pemerintah (bapak saya mantan CIA-nya Indonesia, no joke. So perhaps they have valid reasons to be worry)

Jangan mengungkapkan aib keluarga (huahahaha)

Awal-awal saya gerah dong dikomentarin melulu. Masak nggak percaya sih sama bijaksana anaknya yang sudah kepala tiga? Itu pelajaran soal hati-hati bicara kan udah berbelas-belas tahun matang di kepala saya. Masak masih dicerewetin juga. 

Padahal sejak awal dibuatnya Facebook account saya, isinya itu cuma masakan (karena saya jualan makanan di kantor), dan jahitan (karena saya suka menjahit). Dan beberapa status galau tentunya (karena nggak punya pacar).

Tapi toh at the end saya bersyukur punya orangtua yang cerewet membimbing anaknya bahkan di dalam soal bersosial media. Dari mereka saya belajar banyak soal kontrol diri. Karena ternyata, lidah memang tak bertulang, tapi jari-jari juga bisa menuangkan anggur yang berbisa.

Keyboard warrior

Bertahun-tahun cukup aktif di sosial media membuat saya bebas mengintip banyak sisi dari teman-teman Facebook saya. Teman-teman yang sedang dekat, atau juga mantan teman sekolah yang sudah berpuluh tahun tidak bertemu.

Dari postingan mereka, komentar dan interaksi mereka dengan saya atau orang lain, saya belajar tentang karakter manusia. Suami saya bilang, kita tidak bisa menjudge orang lain dari postingan sosial medianya. Benar juga, don’t judge a book by its cover. Don’t judge a person by her Facebook. Tapi toh mau gimana juga, sedikit banyak kepribadian akan terpancar juga dari tulisan kita.

Sejak Facebook berjaya, terutama di jaman pemilihan Presiden RI, Facebook menjadi ajang pertempuran antara dua kubu yang berlaga. Kontes nyinyir pun terjadi di mana-mana, entah apa hadiahnya. Konon orang-orang yang menghabiskan hidupnya di balik layar untuk berbalas komen alias keyboard warrior itu dibayar oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Dengan berkembangnya teknologi dan sosial media, semua orang tiba-tiba punya panggung untuk berbicara. Segala perasaan senang, sedih, marah, atau gundah gulana bisa ditumpahkan sebebasnya. Mengemukakan pendapat secara tertulis menjadi sebuah hak asasi baru yang tidak dapat digugat – apapun isinya, bagaimanapun bahasanya, apapun pesannya.

Coba lihat saja postingan tentang kesalahan seseorang. Katakanlah seorang ibu yang menyakiti anaknya, atau seorang tokoh masyarakat yang ketahuan menjalin hubungan gelap. Dalam waktu singkat setelah hal ini diberitakan di sosial media, akan segera terkumpul ribuan komentar, analisa, dan hujatan buat sang ‘terdakwa’. Tidak jarang saya bergidik seram membaca komentar orang-orang: bunuh saja, bakar saja, dasar manusia laknat.

Marah tanda cerdas?

Entah bagaimana, kelihatannya manusia jaman sekarang berpikir bahwa dengan menunjukkan kemarahannya kepada dunia, bukan hanya dia menunjukkan moralitas yang lebih tinggi dari orang lain, dia juga bisa menunjukkan tingkat intelegensi yang lebih tinggi juga dibanding sesamanya.

Karena tentu saja marah di sosial media terasa jauh lebih aman dibanding marah-marah secara lisan (langsung), kita bisa bebas mengungkapkan isi hati kita melalui ketik-ketik dan klik di layar gawai. Coba saja marah-marah di kelurahan karena pelayanan mereka gak bagus – pasti segan. Jangan-jangan ada orang yang merekam dan meng-upload video kita sedang mengamuk di YouTube. Tapi kalau setelahnya nulis status berisi omelan itu sah-sah saja, dong.

Di sini saya melihat bahwa ternyata usaha orangtua saya untuk menyensor isi sosial media saya ternyata menjadi sebuah pembentukan. Saya menjadi terbiasa untuk menahan diri di dalam menuliskan pendapat di sosial media. Bukan karena saya sok alim ya, ehhehe. Tapi ya itu sebuah pelajaran juga untuk tidak mudah terpancing. Tidak mudah kesal. Tidak mudah marah.

Tentu saja di dalam banyak kesempatan saya juga sering kesal dan merasa perlu mengeluarkan kekesalan saya – salah satunya di sosial media. Tapi lama kelamaan ya saya belajar untuk memilah, yang mana yang perlu diungkapkan di depan umum, dan yang mana yang disimpan untuk kalangan terbatas saja. Atau bahkan lebih dari itu saya pun belajar untuk tidak lagi terlalu cepat kesal untuk hal-hal yang tidak terlalu krusial. (Dan karena sekarang saya tidak pakai sosial media lagi, godaan untuk menulis status ngomel-ngomel pun menguap hehe).

Menata lisan dan tulisan sebagai usaha menjaga perdamaian

Menjadi orangtua, saya bisa menyaksikan sendiri bahwa sebenarnya kata-kata yang tajam itu bisa terdengar sangat mengerikan. Lebih seram mendengarkan orang lain berkata-kata seperti itu, dibanding ketika kita sendiri yang mengucapkannya.

Ketika anak-anak saya bertengkar dan mulai saling melempar perkataan-perkataan pedas, di situ saya menyadari mengapa Mama saya mendidik saya dengan keras untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas meskipun hati sedang panas.

Saya mengajarkan anak-anak bahwa perkataan itu bisa diibaratkan seperti api-api kecil. Ketika lidah api ini kecil, terlihat innocent dan bahkan indah – seperti lidah api di lilin-lilin ulangtahun. Tetapi ketika api-api ini terbang kesana kemari dan kemudian membakar barang-barang di sekitarnya, lidah-lidah api ini tidak lagi menjadi sesuatu yang harmless, tetapi berubah menjadi sebuah bencana besar yang bisa menghancurkan hidup orang banyak.

“Mulutmu, harimaumu,” tegur Mama saya mengingatkan setiap kali mulut saya ‘bocor’ di depan beliau.

Mulutmu harimaumu. Tetapi sekarang bisa jadi: jarimu harimaumu. (Image courtesy: Goez in Devianart)

“Lebih baik diam, kalau memang tidak ada kata-kata baik yang bisa kamu keluarkan.” Ujar saya tegas kepada anak-anak ketika mereka mulai melemparkan api-api kecil di dalam pertengkaran.

Tidak mudah untuk menahan diri, tapi toh perlu dilakukan. Saya pribadi belajar dan belajar dan belajar lagi untuk tidak mudah marah dan tidak mudah mengeluarkan kata-kata pedas – bahkan ketika saya merasa benar.

Saking sulitnya, sampai saya menuliskan satu ayat Alkitab di sebuah kartu supaya bisa ditempel di tempat yang mudah saya lihat dan bisa saya hafalkan:

Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan amarah.

Amsal 15: 1 (TB)

Perkataan kita yang pedas bisa menimbulkan pertengkaran. Dan perkataan yang baik bisa mendatangkan perdamaian. Apakah artinya kita tidak boleh marah? Boleh dong, kalau dikatakan dengan baik, kita bisa kok menyatakan ketidaksetujuan kita terhadap sesuatu.

Tapi bagaimana caranya? Nah, untuk itu silahkan baca tulisan teman saya, mbak Elsa yang dengan baiknya menjelaskan cara komunikasi asertif yang dijamin applicable untuk menjaga perdamaian.

17 Thoughts on “Mulutmu Harimaumu

  1. Wow, saya langsung fokus ke profesi Ayahanda Dea. Beliau mantan BIN ya.

    Saya setuju sekali, lidah memang tak bertulang tapi bisa berbisa. Jaman sekarang, bukan hanya lidah, tapi juga jari. Tulisan hate dan bullying di socmed adalah hal yang serius.

    Btw putra putrinya kocak amat, sampe menyanyikan qasidahan ‘Perdamaian’ saat ada yang lagi arguing. 🤣

  2. Gara-gara typo ngetik balasan aja bisa bikin kerusuhan loh, apalagi kalau ucapan kata-kata yang kasar (walau sekedar ungkapan kekesalan). Tantangan jaman now, di kebanyakan tontonan orang banyak ringan aja berkata-kata kasar karena dianggap gaya bahasa sekarang ya begitu, akhirnya emang musti tegas ngajarin anak biar ingat jaga kata-kata baik dari mulut maupun dari tulisan ya.

  3. Tadi baca di awal langsung otomatis bayangin Dhea muda ngomong ala Depok haha.
    Setuju banget sama mama-nya Dhea, mulutmu harimaumu, PR memang harus kita ngasi contoh ke anak-anak. Sekali udah keluar kata-kata kasar itu ga bisa ditarik lagi.

    Jaman pemilu dulu aku ampe ga mau buka FB lagi gara-gara ga tahan liat perang disana. Orang-orang yang di dunia nyata biasanya seingatku kalem tiba-tiba bisa sadis lho gara-gara belain jagoannya.

  4. Woww, gaya parenting orangtua teteh inspiring sekali untuk parents di era itu. Keeping up di socmed dan kasih nasihat yang bikin kita jadi aware sama yg mau kita tulis. And I also couldnt agree more sama yg teteh bilang ke anak-anak: berkata baik atau diam, is literally working to build the peace starting from ourselves.

  5. saya otomatis nyanyi.. “perdamaiiiaan.. perdamaiiian” hahaha.

    Suka banget sama nasehat mamanya teteh, emang bener ya apa yang kita ucapkan berulang-ulang, bisa tertanam dalam hati. sebenernya apa yang didengar juga ga sih? Temenku membiasakan memanggil anaknya dengan sebutan-sebutan sifat yang baik.. Soleh, kasep, pinter, bageur.. harapannya jadi sifat yang tertanam di diri anak-anaknya.

Leave a Reply to Footnote Maker Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *