Hati Ibu, Seteguh Batu Karang (Part 2)

Baca cerita Part 1

Semuanya dilakukan dengan ketenangan bak Linda Hamilton di dalam film Terminator 2. Saya memboyong belanjaan yang ternyata berat (beli bawang bombaynya aja dua kilo), dengan tas belanjaan yang terlalu penuh sambil memeluk satu bungkusan besar tisu wc isi 20 buah (lagi ada korting soalnya, sayang kalau beli yang ukuran kecil, rugi). Begitu, dengan hati yang dikeraskan supaya tidak jatuh menangis, saya berjalan ke mobil yang agak jauh parkirnya.

Another alter-ego of mine: merasa kayak Jeng Linda sambil geret-geret tas belanjaan.

Suaminya kemana, neng, hahhaa. Ya sebenarnya saya sudah mempertimbangkan untuk meminta suami menjemput, atau mewakili saya belanja, atau mengambil anak-anak. Tapi dengan pertimbangan semua akan lebih cepat dilakukan oleh saya sendiri, plus beliau sudah bilang tadi kalau beliu ada rapat, plus kenyataan bahwa pasti si Bungsu tetap saja cengeng minta dekat sama emaknya, maka itulah saya memutuskan untuk sekalian saja dikerjakan semua sebelum pulang ke rumah.

Di rumah anak-anak turun dengan hati lebih tenang dan perut sudah kenyang. Pak suami turun dari gua-nya di lantai tiga dan menyambut mereka sambil membantu saya membawa barang-barang. Bagaimana, tanyanya. Saya menjelaskan secukupnya, lalu meminta dia memasukkan ikan setengah jadi yang saya beli di supermarket ke oven untuk makan malam kami.

Belum, belum. Mama terminator belum bisa istirahat. Si Bungsu sudah tenang dan makan apelnya di sofa sambil menonton televisi. Tapi si Sulung menangis dan mengaku sakit kepala. Katanya, mungkin karena kepalaku sering terbentur. Nah lo, ternyata terbentur juga menular, saudara-saudara. Dua anak kembar berbeda tanggal lahir ini nggak lengkap rasanya kalau nggak ada rasa persaingan mendapatkan perhatian dari Mama.

Saya pun menemani si Sulung, menggantikan bajunya dan membawa dia ke kamar kami. Kamar Mama adalah tempat istimewa untuk semua orang yang menderita. Setelah dua puluh menit, dia sudah baik lagi dan bisa turun ke bawah. Mama pun bisa makan.

Tentu saja saya ingin bercerita kepada Pak Suami. Tapi saya terlalu emosional, dan saya tahu mungkin saya akan kecewa dengan reaksinya. Suami saya (yang saya sangat cintai) ini adalah pria, suami, dan bapak yang baik. Tapi satu kekurangannya (yang juga adalah kekuatannya): beliau orangnya dataaaaaaaaaaaar kayak garis khatulistiwa.

Nothing, really, nothing, can generate a wave in this man! Sebenarnya saya sudah ingin sekali menangis setelah sekian lama menahan perasaan, tapi karena saya tahu saya pasti mendapatkan reaksi yang sepolos kertas HVS A4, lebih baik saya diam. Karena pasti nanti saya malah jadi rungsing sendiri menerima reaksinya yang sama sekali nggak seheboh yang saya harapkan.

Anak-anak sudah hampir tidur ketika HP saya memberikan notifikasi. “Hi, De,” tulis Mama saya. Mama saya memang sudah hancur lebur jam tidurnya. Saya sering tidak berani menelepon karena tidak tahu kapan dia tidur. Jam sudah menunjukkan pukul 2 malam di Indonesia. Tapi karena beliau mengirim pesan, saya tahu itu artinya dia terbangun.

Saya pun menelepon Mama dan bercerita. Haduh Mam, perasaanku sebenarnya haru biru banget. Tapi aku tahan-tahan. Iya pastilah, Mama bisa bayangkan. Ya gitu selalu yang Mama rasakan setiap kali kamu kenapa-napa, kata Mama sambil menghibur, sambil juga agak tertawa.

Dan saya pun tahu. Dan saya pun tahu. Mamaku yang hatinya setegar batu karang – itulah aku sekarang.

Berbagai peristiwa melintas di pikiranku:

Aku yang dengan tegar dan tenang mengangkat anakku dari lantai dan membawa dia ke dokter, ke McDonald lalu berbelanja.

Aku yang menyetir mobil sambil menahan tangis waktu paginya kami menemukan si bungsu punya benjolan di bawah lidahnya dan  tiba-tiba rumah sakit menelepon dan meminta dia segera dibawa ke rumah sakit.

Aku yang tersenyum dan tertawa mengurut kakinya, melemparkan semangat lewat cermin sewaktu tubuhnya yang kecil berbaring di dalam silinder raksasa yang seakan ingin menelan dia pergi.

Aku yang mendorong si Sulung yang masih bayi, pulang berdua dari rumah sakit sambil mencerna kata-kata dokter bahwa mungkin si Bungsu lahir dengan jantung yang tidak sempurna.

Aku yang bertahan untuk tidak kolaps sambil memohon para dokter jaga untuk mengijinkan aku dioperasi karena aku sudah tidak kuat lagi. Di dalam benakku hanya ada satu pikiran, bagaimana aku bisa bertahan hidup untuk anakku yang di dalam perutku, dan untuk anakku yang kami titipkan ke tetangga waktu itu karena kami tidak mau orangtua datang di musim dingin yang akan menjadi terlalu berat untuk mereka.

Lalu terlintas gambar Mamaku,

Mamaku yang duduk di luar kamar bersalin menantikan anak perempuannya mencoba segala cara untuk melahirkan sampai akhirnya harus dioperasi.

Mamaku yang duduk di samping tempat tidurku sebanyak puluhan kali aku diopname di rumah sakit.

Mamaku yang mencari anaknya  yang berumur lima tahun yang hilang; yang memutuskan untuk pulang sendiri ke rumah dari sekolah karena ditinggal mobil jemputan.

Mamaku yang menelan ludahnya dan menegakkan bahunya lalu berkata, “This too, you will get it through, and we’ll be right beside you” – for too many times, for too many stupid decisions I had made in my careless life.

Dia, yang setegar batu karang – dan aku yang berubah menjadi batu karang.

Menjadi ibu sudah merubah aku dari aku yang cengeng dan manja menjadi perempuan yang keras dan tegar.

Secara fisik, seorang bapak hanya bisa menitipkan benihnya di rahim seorang ibu. Itulah sejauh-jauhnya dia bisa berperan dalam membentuk seorang anak secara lahiriah. Tetapi anak itu dirajut di perut ibunya, mulai dari sebesar biji kacang hijau sampai menjadi mini raksasa sampai susah dikeluarkan.

Dia dekat kepada jantung ibunya, darah ibunya mengalir di dalam tubuhnya. Dia kenal setiap kelembutan tubuh ibunya, dan menyusu pada buah dadanya. Meskipun si ibu terkadang judes, dan galak, tetap saja anak-anak itu tidak bisa mengingkari kekuatan magnet yang menarik dia untuk mencari perlindungan pada ibunya.

Dan itulah saya. Hari ini saya merasa pantas untuk mengucapkan selamat hari Ibu kepada diri saya sendiri. De, you are a very good mother. You are a very very good mother.

Malam hari sebelum tidur, saya mendekati si Bungsu yang girang karena boleh tidur di kamar Mama. “Promise me that from now on, you’ll be very careful when you’re on the stairs. You have really scared me to death.” Ucap saya sambil menitikkan air mata.

“Kenapa kamu menangis?” tanya si Bungsu. Saya pun memegang tangannya sambil berkata, “Listen, I didn’t cry this afternoon because I didn’t want to scare you and your brother. It didn’t mean I was not scared. Trust me, there are no mothers in this world, who are not brokenhearted when their kids are in pain.”

Tidak ada seorang ibu yang tidak hancur hatinya ketika anak-anaknya sedang mengalami kesulitan dan penderitaan. Tapi semua ibu dilatih, dan terlatih untuk tegar demi anak-anaknya.

Selamat Hari Ibu untuk semua Mama. Terimakasih sudah berhati begitu kuat seperti batu karang buat anak-anak kita semua.

11 Thoughts on “Hati Ibu, Seteguh Batu Karang (Part 2)

  1. Deaaaa. *sambil ngelap air mata yang menetes. Tulisanmu menyentuh sekali. Menjadi seorang ibu adalah salah satu tugas terberat di dunia, you (and all moms in the world) deserve lots of praise. Selamat Hari Ibu, Dea. 🥰

    Semoga si Bungsu makin membaik ya. Semuanya sehat walafiat. 🙏

    Btw sama banget niy Dea, gambaran ala Linda Hamilton kalo belanja ke supermarket, suka geret geret begitu plus ogah rugi, kalau yg besar jatohnya murah, ngapain beli yang kecil. Wkwkwkwk.

  2. Echoing this : De, you are a very good mother. You are a very very good mother.

    Selamat Hari Ibu Dea, dan semua mamah di dunia, we are strong, we can do it !

  3. Ah,, sampai bingung mau komen apa, menyentuh sekali tulisannya teh. Kalau dipikir2 sebenarnya ketegaran itu muncul dengan sendirinya ya teh, mau gak mau ketika menghadapi kondisi kaya teh Dea kmrn, sebagai ibu ya harus tetap terlihat selow walaupun dalam hati menjerit. Saya jg kalau melihat anak kenapa2, kadang “geumpeur” alias lemasnya belakangan setelah kondisi tenang dan udah sendirian.
    Selamat hari ibu juga ya teh Dea..

  4. Halo Teh, saya baca tulisannya sambil degdegan lalu ikut menitikkan air mata, sangat menyentuh 🥲 jadi inspirasi saya juga, karena sebagai ibu baru saya suka mengasihani diri sendiri. Baca ini jadi reminder kalau pelan-pelan nanti pasti jadi lebih kuat. Walau sudah lewat, Selamat Hari Ibu, Teh!

Leave a Reply to May Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *