Julid Itu Boleh Saja, Asalkan Ada Gunanya

Tujuan tulisan: memenuhi Tema Tantangan Menulis KLIP bulan Februari 2022.
Tema tulisan: tata cara berkomentar supaya jangan sampai menjadi kejulidan yang tidak bermanfaat.
Latar belakang judul: Lagu Raden Haji Oma Irama – “Begadang boleh saja, asalkan ada gunanya.”

Di jagat raya Nusantara, hampir bisa dimutlakkan kalau semua orang mengenal sosok yang sangat jaya dan berkharisma di jamannya, yaitu R. H. Oma Irama alias Rhoma Irama. Salah satu lagunya yang terkenal adalah tentang begadang. Di situ Oom Oma menuturkan, begadang itu nggak bagus, tapi boleh dilakukan asal ada gunanya.

Berangkat dari prinsip di atas, saya mau membagikan bagaimana kita bisa julid dengan baik dan efektif. Yuk simak tulisan di bawah!

Julid, nyinyir, nyolot, pokoknya ngeselin deh!

Sebenarnya saya kurang merasa pe-de menulis tentang julid ini, karena saya sendiri kurang yakin apa arti kata julid yang sebenarnya. Karena lama meninggalkan tanah pusaka, jadi saya kurang sering menggunakan bahasa-bahasa gaul yang belakangan ini semakin banyak digunakan sampai-sampai sudah masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Konon, kata julid ini sering digunakan di sosial media. Nah, beberapa tahun terakhir saya memutuskan untuk tidak aktif lagi di sosmed. Susah kan? Tapi setelah bertanya ke kiri dan ke kanan, saya menyimpulkan kalau julid itu kira-kira ya agak-agak mirip dengan nyolot dan nyinyir. Intinya komentar yang ngeselin!

Definisi komentar

Berdasarkan KBBI:

komentar/koΒ·menΒ·tar/ n ulasan atau tanggapan atas berita, pidato, dan sebagainya (untuk menerangkan atau menjelaskan): kabar itu disertai — dari redaksi; ia tidak memberikan — apa-apa atas pidato tokoh partai itu.

Artinya komentar itu adalah pendapat yang kita utarakan tentang suatu hal yang terjadi di luar kita – entah itu kejadian yang dialami oleh seseorang, atau sesuatu yang dilakukan/dikatakan oleh seseorang. Intinya, kita berkomentar untuk sesuatu yang kita tidak alami sendiri.

Di situlah mengapa berkomentar itu terasa asyik sekali. Mengapa? Ya wong yang ngalami bukan saya. Saya mah cuma komentar aja. Toh bukan saya yang susah/senang/sedih/gembira/beruntung/malang dan lain sebagainya. Saya cuma komentar tok! Gampang, dan gratis!

Berkomentar, buat apa?

Kalau ada satu kalimat yang paling penting yang bisa ditanyakan seorang manusia kepada dirinya, itu adalah kalimat ini: “BUAT APA?” Setiap kali kita ingin melakukan sesuatu, tanyakan dulu kepada diri sendiri, buat apa? Untuk apa saya melakukan hal ini?

Untuk apa saya makan, untuk apa saya sekolah, untuk apa saya ikut organisasi A, untuk apa saya mencintai dia, untuk apa saya pergi ke supermarket hari ini? Kalau setiap kali kita mempertanyakan hal ini sebelum melakukan sesuatu, lalu berusaha menjawabnya secara bijaksana, niscaya kita akan mengurangi presentasi kekeliruan yang kita lakukan.

Yang kita katakan itu ada pengaruhnya. Pertanyaannya, yang kita katakan akan memberikan feedback positif atau negatif. Tanya dulu diri sendiri sebelum nge-julid-in orang, “buat apa saya melakukan ini?”

Jadi, sebelum kita berkomentar terhadap sesuatu yang dialami atau dilakukan orang lain, pertanyaan pertama adalah, “Hellow myself, kayaknya kamu mau komentar nih. Yuk berenti dulu sebelum melontarkan pertanyaan atau sebelum mengisi kolom komentar. Buat apa sih kamu ngomong begini? Just want to know, cuma kepo doang, emang pingin bantu, atau apa?”

If you don’t have anything nice to say, don’t say anything at all

Setelah kita tahu kita tuh pingin banget berkomentar, prinsip kedua setelah bertanya ‘buat apa’ adalah: ‘kalau nggak bisa mengatakan sesuatu yang enak, mendingan diam saja!’

Ada satu masa di mana saya berjerawat. Sangat banyak jerawatnya dan tentunya hal itu sangat mengganggu saya. Waktu itu, ada seseorang yang gampang sekali berkomentar: “Duh, jerawatmu makin banyak aja ya!” sambil tertawa kecil. Di lain waktu saya didatangi lagi, “Tiap kali ketemu rasaya makin gemuk aja ya!”

If you don’t have anything nice to say, don’t say anything at all!

Luar biasa pemilihan cara menyapa yang dipilih oleh orang ini. Sudah jarang bertemu, kok ya bisa yang dikomentari pas banget hal-hal yang justru bikin saya insecure. Untungnya komentar-komentar seperti itu tidak sampai membuat saya harakiri. Dan untungnya lagi ada seorang rekan kerja yang berkomentar begini: “Eh, aku dulu juga jerawatan lho! Aku pakai obat jerawat ini bla bla bla bla…”

Komentar si rekan kerja inilah yang akhirnya membantu saya menyelesaikan masalah jerawat yang saya alami. Obat yang dia rekomendasikan, bahkan dia tolong belikan benar-benar membantu mengurangi jerawat-jerawat nakal yang gemar bercokol di wajah. Sayangnya obatnya tidak ampuh untuk urusan kelebihan berat badan. Saya tidak berani meminumnya karena memang itu obat oles dan kecil sekali botolnya. Kalau langsung diminum bisa langsung habis dan huhu saya nggak kuat belinya! 🀣

Anyway, lepas dari persoalan bahwa obat jerawat ternyata tidak berguna mengurangi berat badan, yang perlu diingat di sini adalah kalau kita tidak bisa berkomentar yang ada gunanya, lebih baik diam saja. Apalagi kalau komentar yang diberikan itu negatif dan akan menyakiti hati si penerima komentar. Baik di dunia nyata maupun dunia maya, sometimes silence is gold.

Jurus anti julid: Separation of Tasks

Menurut buku yang sedang berusaha saya selesaikan The Courage to Be Disliked, di dalam hubungan kita dengan sesama, kita harus mampu melakukan yang namanya separation of tasks alias pemisahan tugas. Artinya adalah, teliti yang mana adalah tugas kita dan yang mana tugas orang lain. Lakukan tugas kita sendiri dan berusaha untuk tidak mencampuri tugas orang lain.

Misalnya: tugas kita adalah hidup dengan baik dan benar. Tugas orang lain adalah hidup dengan baik dengan benar. Jadi kalau ada artis yang mau menikah kedua kalinya, atau melahirkan di tanggal yang cantik, atau ada teman yang tiap hari beli sendal merk PRADA – semua itu adalah ‘tugas’ mereka, urusan mereka. Bukan saja tidak perlu berkomentar, kita bahkan tidak perlu memikirkannya!

Julid yang ada gunanya

Sebenarnya sih, menerima komentar itu nggak selamanya menakutkan. Siapa sih yang nggak suka dikomentari, “Duh, kamu makin lama makin cantik deh,” atau “Aku suka banget tulisanmu, sangat menginspirasi.” Tapi kan kita juga nggak bisa selamanya memuji-muji orang lain. Kita tidak bisa selamanya menghindari saat di mana kita harus mengeluarkan komentar yang kontennya bukan pujian tetapi teguran, kritik, atau saran.

Meskipun menerima saran dan teguran itu nggak enak, tapi saran dan teguran yang disampaikan dan diterima dengan tulus itu sesungguhnya sangat besar manfaatnya. Iya sih, orang yang menerima kritik yang pedas kalau emang mau berubah ya bisa aja berubah tanpa sakit hati. Tapi kan kita yang memberikan saran dan kritik tetap bisa menyampaikannya dengan baik.

Beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk bisa ‘julid’ dengan sehat adalah:

  • Bertanya ‘buat apa?’, memastikan kalau niat kita menegur memang tulus untuk membawa kebaikan bagi seseorang.
  • Menegur secara pribadi. Sebisanya – apalagi menyangkut hal sensitif – jalur pribadi alias pembicaraan empat mata jauh lebih baik dibanding mengirimkan kritik pedas di kolom komentar.
  • Menggunakan kalimat yang membangun dan bukannya menjatuhkan. Gunakan kata-kata yang membuat orang lain lebih bersemangat untuk berubah dibanding jadi patah arang.

Julid itu bukan tanda kecerdasan

Lucunya, julid itu sering disalahartikan sebagai tanda kecerdasan. Komentar panjang lebar dan sassy, lucu dan nyeletik tapi pas banget jleb nusuk ke jiwa sering dianggap dapat banyak πŸ‘ atau πŸ˜†. Alhasil orang-orang pun berlomba mengeluarkan komentar ‘cerdas’, tanpa perduli bahwa sesungguhnya yang dia katakan bisa menjadi pisau bagi orang yang dikomentari.

Sama seperti kacamata tidak bisa jadi patokan kecerdasan seseorang, kejulidan juga bukan tanda kecerdasan.

Kejulidan kita bisa menjadi sumber depresi bagi orang lain. Sumber trauma, kepahitan, sakit hati, bahkan sampai bikin orang bunuh diri. Sebuah komentar pedas tampak begitu ringan dan tak berbahaya, tapi seperti yang saya tuliskan di atas: semuanya gampang, karena bukan kita yang mengalaminya.

Saya akui, sayapun kesulitan untuk bisa melakukan segala hal yang saya tuliskan di atas. Tidak semudah itu kawan untuk menahan lidah dari mengucapkan kata-kata yang terkadang kurang pantas. Apalagi kalau melihat hal-hal yang ‘kontroversial’ sifatnya. Aduh, rasanya gatel banget deh pingin berkomentar.

Yang saya lakukan adalah ya simply nggak ber-sosmed. Saya punya akun sosmed yang hanya digunakan untuk memantau kegiatan KLIP dan juga marketplace di daerah tempat saya tinggal. Hal kedua yang saya sering lakukan kalau udah nggak kuat lagi ‘kezel’ sama kelakuan seseorang ya saya lalu agak-agak mode gossip gitulah dengan sahabat terdekat.

Tetap nggak bagus yah! Ok saya janji deh untuk semakin rajin memilah yang mana urusan saya dan yang mana urusan orang lain, supaya saya juga nggak sering-sering merasa tergoda untuk julid! Yuk teman-teman, kita semakin berhati-hati di dalam ucapan kita!

8 Thoughts on “Julid Itu Boleh Saja, Asalkan Ada Gunanya

  1. Julid itu candu. Masih dangdut referenced nggak ya. Haha.

    Setuju banget orang yang baru ketemu langsung ngomentarin hal – hal berbau fisik itu ngeselin. Pernah bertamu ke suatu rumah saudara jauh di pulau seberang. Si om ini selama saya disana sekitar 1 jam, 55 menitnya ngomentarin betapa gembrotnya aku. Kesel banget. Kapan lagi ketemu males banget nyapa :))

    Karena aku sering kesel sama orang yang begitu jadi sebisa mungkin menahan diri untuk komentar terutama hal – hal berbau fisik. Kecuali orangnya cerita duluan atau nanya pendapat. Itu juga mikir dulu mau komentar jujur apa sugar coating haha.

    1. Hahaha.. judul candu itu masih oom Oma nggak? πŸ˜€
      kalau ngomentarin fisik tapi ngasih solusi uang 90 jeti buat perawatan sih gpp ya teh 🀣 Kalau komen cuma just because dan want to know aja itu sebaiknya sudah disimpan saja hahhaa

  2. Baca judul julid langsung ingat Bu Subangun :), tapi itu sih bawel kali ya.

    Setuju dengan Dea, kalau ga ada hal bagus yang perlu/bisa diomongin mendingan diam kan. Aku juga paling ga cocok sama orang yang ketemu langsung ngomentarin hal berbau fisik, bisa ditebak berikutnya aku bakal malas kalau diajak ketemu hehe.

    Pernah dulu ada ponakanku dipanggil hideung, tutung, ini sama Ibu dan keluarganya sendiri lho…aku dah bilang baiknya jangan dipanggil gitu karena kasian kan, body shaming, tapi ga ada yang mau denger. Kayanya saat itu mungkin aku malah diomongin sebagai si julid haha.

    1. Iya May.. kadang mau sok lucu padahal nanti bikin bekas di hati anak. Tapi lucu lho, beneran di dunia nyata ada orangtua yang kurang bisa menerima kalau anaknya lebih gelap warnanya. Lah padahal gennya dari dia juga 🀣
      gpp julid kalau ada gunanya! Kalau ngingetin orang yang emang niatnya bagus itu julid yang boleh kalau menurut Rhoma Irama haha.

  3. aku pikir aku salah website, bukan blog tapi tulisan ilmiah. Ternyata itu bagian pembukaan nya aja ya.

    Ini kayaknya separation of task bisa jadi jurus ampuh anti julid dan anti ikut kesel sama kejulidan orang. Eh tapi, aku rasa aku suka ga menyadari loh aku julid, Udah bawaan nya suka komentar apa adanya, tapi skrg harus mulai mikir ulang jangan sampe komentarku julid

    1. Haha iya tiap kali mau julid harus mikir, ini bagian gue gak? Tapi ya memang nggak bisa dihindari sih, sekali2 harus julid juga misalnya mau mengingatkan orang lain. Asal diiringi dengan niat yang murni emang mau baik menurutku gpp 😁

Leave a Reply to Irene Cynthia Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *