Aku memutar setir, membelokkan mobil ke kiri. Yah, ada Mama Simon, pikirku agak resah. Jangan-jangan dia juga sedang berjalan menuju kanal.

Sedikit kesal, aku meneruskan perjalanan. Seperti biasa, setiap pagi hari kami dihiasi dengan dua ratus tiga puluh lima instruksi yang kebanyakan menguap di tengah jalan, tidak sampai di telinga anak-anak kami. “J, stop met praten,” “O, blijf eten!” – ayo stop bicara, kunyah makanannya, sikat gigi, jangan lupa minum susu, kenapa diam saja, mana sepatumu – dan seruan-seruan semacam itu yang harus diulang berkali-kali sampai akhirnya dilakukan.

Tapi pagi ini ada sedikit perbedaan. Mas Suami dapat giliran dinas malam dan baru mulai tidur sekitar jam 2 pagi. Tentunya sebagai istri yang (berusaha) tauladan, aku tahu diri. Aku yang mengantar anak-anak ke sekolah pagi ini menggantikan tugas rutin beliau.

Itulah mengapa aku terdampar di luar rumah sepagi ini. Padahal biasanya jam segini aku sibuk mencuci piring bekas kami sarapan. Dan pagi ini, entah mengapa, dibandingkan langsung pulang dan membereskan rumah yang berantakan seperti kapal pecah, aku memutuskan untuk memberikan diriku hadiah kecil: jalan kaki sendirian.

(Momentary) goodbye to dirty dishes

Hatiku seketika menciut ketika mengingat piring kotor yang bahkan belum dipindahkan ke meja dapur dan masih nongkrong di meja makan. Sigh, haruskah aku pulang? Do I really have enough time to indulge myself before my next responsibilities?

Aku melirik ke jam tanganku. Masih pagi, belum lagi jam 8. Jam 12 kurang seperempat aku harus pergi kerja. Ah, biarkanlah, masih ada waktu. ‘Nggak papa lah, de, just go for it. You deserve it!’ Aku mengenyahkan guilty feeling yang melanda.

Aku menimbang-nimbang, haruskah aku jalan pagi di hutan belakang rumah seperti biasa? Atau mumpung sudah di daerah sini, aku berjalan di sepanjang kanal seperti rencananaku? Tapi bagaimana dengan Mama Simon? Kalau memang dia juga jalan-jalan di sana, haruskah aku bicara dengan dia? Oh gosh, I’m really not in the mood to talk with anyone!

Aku membelokkan mobilku ke tempat parkir. Sambil menarik nafas panjang, seakan-akan bersiap untuk maju ke medan perang, aku melangkahkan kakiku ke promenade sepanjang kanal Amsterdam-Rhine. Sungai buatan yang cukup lebar, yang mengalir hanya beberapa ratus meter jaraknya dari sekolah anakku.

Tidak mudah untuk memaksakan diri keluar dari rumah. Terlalu sering aku terlalu terpaku dengan banyaknya jadual, piring, cucian, dan teman-temannya sehingga aku duniaku terbatas hanya di situ-situ saja. Rumah, sekolah, tempat les, supermarket, pasar, tempat kerja, perpustakaan – itu terus bolak-balik. Semuanya berkisar pada kewajiban, kewajiban, dan kewajiban.

Kalaupun aku berjalan-jalan keluar, biasanya aku lakukan bersama Pak Suami dan anak-anak. Perhatianku selalu harus terpusatkan pada mereka. Selain itu, bepergian keluar itu pastilah urusan sehari-hari semata.

Terkadang aku jadi surprised sendiri, di beberapa kesempatan yang langka di mana aku intentionally jalan-jalan ke luar sendirian (ke tempat yang jarang aku datangi): ‘Eh, aku ini lagi di Eropa ya? Kok banyak orang bule, kok banyak bangunan tua, kok lain dengan Depok, kota di mana aku dibesarkan…’

Mungkin sulit untuk dipercaya, tapi saking terpakunya dengan segala kewajiban dan berusaha untuk survive di tanah rantau, kesempatan langka duduk sebentar bisa membuatku bepikir: Wah, kayak di Eropa. Padahal emang di Eropa! 😅 Saking terlalu fokus liat setrikaan, gak sempat menikmati pemandangan.

Terlalu sering pandangan mataku dibatasi oleh dinding-dinding berwarna krem di dalam rumahku. Atau pada jalanan dan trotoar yang sama yang kulewati selama 10 tahun terakhir. Hal-hal yang tidak terlihat istimewa lagi, yang kulalui dengan terburu-buru karena selalu harus mengejar waktu.

‘Ah, sudahlah,’ kataku nyaring kepada diriku sendiri. ‘It’s OK! Even kalau akhirnya kamu harus ngobrol dengan Mama Simon, it’s OK!’ Aku menendang diriku sendiri keluar dari mobil, berjalan ke promenade dan benar saja, ada Mama Simon di sana. Nampaknya ide untuk jalan pagi di sepanjang sungai ini bukanlah ideku seorang saja. Ada mama lain yang berpikiran sama..

Conversation planned in heaven

Sudah lebih dari seminggu aku menarik diri dari dunia. ‘Dunia’ di sini maksudnya segala macam jenis interaksi baik fisik maupun online, kecuali dengan keluarga di rumah. Well, andai masih bisa seperti jaman mahasiswa dulu, masuk kamar, tutup pintu dan tidak keluar selama minimal tiga hari – mungkin itu akan aku lakukan. Tapi aku ini ibu, yang punya anak-anak (dan suami) yang harus diberi makan.

Tapi aku tahu tidak bisa selamanya aku mengurung diri. Itulah mengapa aku memutuskan untuk jadi juga berjalan di tepi sungai meskipun ternyata ada prospek aku harus bertegur sapa dengan seorang kenalan yang kebetulan ada di sana. Itulah mengapa aku memilih tempat yang tidak biasa aku datangi, dengan harapan bisa mengubah suasana.

Aku bertanya pada diriku, ‘Sudah siapkah berbicara/menyapa orang lain?’ Ah, daripada terlalu lama salah tingkah, aku mengenyahkan keengganan yang begitu besar sampai-sampai terasa naik dari perut sampai ke kerongkongan. Melawan diriku sendiri, aku berjalan ke arah Mama Simon dan menyapanya, ‘Hoi, jalan pagi juga?’

Di pinggir kanal/sungai ini, bukan hanya aku yang berjalan melepas resah dan gundah. Terkadang aku melewati beberapa ibu yang duduk diam menatap ke air yang terus berbenturan membuat suara-suara. Mungkin merekapun lelah, sepertiku juga…

Agak terkejut dia menatapku, lalu menyapa kembali. ‘Mau jalan sama-sama?’ Kami pun berjalan di sepanjang sungai, dan jalan pagi itu berujung kepada sebuah percakapan yang dalam diakhiri dengan doa bersama. Setelah berminggu-minggu menghindari yang namanya manusia, aku yakin kejadian hari itu adalah sesuatu yang direncakan Tuhan untuk membantuku mengatasi emosiku.

It’s human to be tired

Sudah beberapa bulan aku merasa ‘lelah’. Awalnya ada sebuah kejadian yang membuatku sangat emosional, dari situ aku kehilangan balance. Aku mulai merasakan kesulitan untuk menulis – sesuatu yang lebih dari satu tahun sudah kutekuni dan lakukan hampir setiap hari.

Aku juga mulai merasa kewalahan dengan banyaknya rutinitas. Mengurus rumah, mengantar jemput anak-anak sekolah dan les, belajar Bahasa Belanda, les piano, bekerja paruh waktu, rutin mengisi beberapa blog, jadi pengurus komunitas, ikut beberapa kelompok Bible Study… yang tadinya bisa kujalani dengan cukup teratur, lama-lama berubah menjadi sebuah putaran yang sangat cepat.

Rasanya seperti sedang terjebak di putaran air yang dengan dayanya yang kuat menarik aku tenggelam ke dasar lautan. Tidak ada udara, terlalu banyak persoalan, aku sesak nafas dan kehilangan tenaga…

Puncaknya bulan ini, ketika ada begitu banyak kabar yang sulit dari rumah dan aku ada jauh di rantau, tidak berdaya untuk melakukan apapun juga. Juga dibulan ini, aku harus menunggu sebuah keputusan penting tentang kehidupan kami.

Berminggu-minggu aku cemas, menunggu, berharap ada keajaiban, preparing and building up a fighting spirit‘ yang akan diperlukan kalau-kalau kemungkinan terburuk terjadi. Aku juga harus berhemat dengan segala gaya karena (saat ini) hanya dukungan materi yang bisa kuberikan untuk keluarga di Indonesia.

Semua itu kusimpan sendirian, sambil melakukan segala kewajiban seperti biasa, bersikap normal seakan tidak ada apa-apa. Tapi toh ada saatnya malam tiba, dan di dalam sunyi dan gelapnya, aku tercekat oleh tangisan yang tidak bisa kukeluarkan.

Dua minggu lalu kabar itu datang, dan meskipun kabar baik yang datang, hati dan jiwaku runtuh. Menara adrenalin yang sudah kubangun seketika ambruk karena ternyata tidak perlu dipakai. Tapi hasilnya aku kelelahan. Rasanya seperti habis bergadang 7 hari untuk menyelesaikan tugas akhir di studio dulu, aku lega, tapi aku tidak sanggup berdiri lagi.

Aku memutuskan untuk berhenti dari segala aktifitas plus-plus. Selain urusan anak-anak dan rumah (dan Pak Suami), aku sama sekali cuci tangan. Aku bersembunyi dan diam, tidak lagi ceriwis di berbagai komunitas online, tidak lagi ikutan kompetisi menulis seperti biasa.

‘Nanti jadinya keterusan (gak aktif) lho,’ kata seorang sahabat mencoba menyemangati. Aku tahu, aku tahu. Nama tengahku adalah ‘pemalas’, dan lagu hidupku diambil dari nada dasar C = cepat menyerah. Aku tahu kalau aku menarik diri, jangan-jangan aku tidak akan pernah timbul lagi. Kalau aku berhenti, jangan-jangan aku tidak bisa mulai lagi.

Tapi aku tahu kali ini aku benar-benar harus berhenti. Rangkaian panic attack sudah begitu sering mengintip ingin segera mempertunjukkan kebolehannya setiap kali aku terlalu banyak berpikir. Aku harus mengerem kalau mau tetap bisa survived.

‘Bukankah kamu orang yang percaya Tuhan?’ tanya suamiku. ‘Kenapa kamu terus kuatir kalau kamu sudah berdoa?’

Aku menangis, meluapkan segala emosi yang aku pendam sendirian begitu lama. ‘Tidak bolehkah orang merasa kelelahan, ketika dia sudah begitu lama berusaha melakukan yang terbaik, dan juga memendam begitu banyak kekuatiran sendirian?’ tanyaku sedih, menunggu pelukannya.

Ada banyak tuduhan yang datang dari diriku sendiri untuk diriku sendiri. ‘Kamu tukang menyerah’, ‘kamu tidak konsisten’, ‘kamu tidak bertanggung jawab’, ‘kamu nggak akan bisa bangkit lagi’, ‘kamu drama queen‘, ‘kamu terlalu berlebihan’.

Tapi tidak, kali ini, kali ini, aku mengambil hakku, hak seorang manusia untuk merasa lelah dan berhenti sejenak. Kali ini aku membela diriku sendiri dan menjaganya, bukan karena aku tidak mau menghadapi masalah, tapi karena bahkan seorang superman butuh tidur juga.

Those unproductive things that help us heal

Yang dulunya aku selalu mencoba melakukan segala sesuatu yang berlabel produktif – seiring dengan kuatnya pergerakan perempuan yang mengatakan kalau perempuan itu harus produktif meskipun di rumah saja (dan hal-hal sejenisnya), kali ini aku membiarkan diriku berendam dalam hal-hal yang tadinya aku lihat sebagai kesia-siaan.

Aku membiarkan badge dan piagam digital dari kompetisi menulis lewat, aku membiarkan jadual menulisku kacau. Gantinya aku duduk berjam-jam mengerjakan diamond painting – yang tadinya aku pikir, buat apa coba nempel-nempelin pulunan ribu manik-manik tak berujung.

Si Neng bantu Mama menyelesaikan beberapa manik-manik terakhir. ❤

Aku membiarkan diriku tenggelam di dalam bantalan sofa, menonton tivi, bermain game, atau sekedar tidur siang. Terkadang aku membiarkan semua tetap berantakan sampai beberapa jam kemudian setelah energi dan mood terkumpul, bangkit dan membereskan. Beruntung suamiku kenal aku dan menerima kelemahanku, dia tidak marah melihat rumah berantakan.

Atau aku membaca buku, lari dari buku satu ke buku lainnya. Yang tadinya aku punya drive untuk menulis insight atau review (dan ancaman dikeluarkan dari group membaca kalau tidak menyelesaikannya), kali ini aku membaca just because I want to. Ada banyak hal-hal berharga yang aku pelajari dari buku-buku itu, yang membuatku ingin menulis kembali. Tapi aku membiarkan dorongan itu pergi. Biarlah, kali ini aku tidak ingin mengejar deadline apapun juga.

Atau aku yang biasanya mengeluarkan laptop untuk menulis selagi menunggu sesuatu, memilih untuk mengerjakan puzzle yang disediakan di ruang tunggu. Dari 1000 keping puzzle yang harus dipasang, aku hanya berkontribusi 20 atau 30 keping saja. Tapi toh ada rasa tenang, rasa melakukan sesuatu meskipun tidak banyak artinya.

Di antara banyak janji dan appointment, yang biasanya waktu menunggu dipakai untuk mem’produksi’ sesuatu, sah-sah saja lho ‘membuang waktu’ mengerjakan puzzle.

Yang biasanya aku terburu-buru pulang supaya bisa bekerja, aku berjalan kaki sendirian dan duduk-duduk sambil menikmati kota.

Tutup ingatan tentang cucian, melipir ke kringloop (toko barang bekas) dan menghabiskan waktu di sana untuk window shopping. Akhirnya pulang bawa satu buku keluaran tahun 70an.

It’s OK not to be OK

Kalau mahasiswa zaman now sering sekali merasa butuh healing, aku pun merasakan itu juga. And it’s OK. It’s fine. Anak-anak masih sekolah dan makan. Rumah masih dibersihkan semampunya. Baju masih dicuci. Les dan bekerja masih jalan.

Tapi kalau ada hal-hal extra yang memang saat ini sedang bisa di-pause, that’s OK too. Kita ini manusia, punya perasaan, punya batas kekuatan, dan terkadang memang perlu memperlambat langkah agar bisa punya tenaga melangkah lebih panjang.

Kok pause-nya lama banget? Well, truk tanki bensin dengan kapasitas besar pun butuh waktu yang lebih lama daripada mobil biasa untuk mengisi kembali tankinya sampai penuh, bukan?

Hari ini aku menulis catatan ini untuk Nulis Kompakan Juni 2022 komunitas Mamah Gajah Ngeblog. Tidak setiap hari rutinitasku sama. Terkadang aku memberanikan diri untuk menekan tombol pause dan menghilang. Dan hari ini aku memberanikan diri untuk mengenyahkan perasaan jengah dan menulis lagi lalu muncul lagi.

Seperti judul drama Korea, ‘It’s OK not to be OK.’ It’s OK ketika rutinitasmu tidak seproduktif biasanya. It’s OK ketika ada jam-jam yang disia-siakan. Asal kamu tahu kamu akan bouncing back lagi, nikmati istirahatmu and let it be…

9 Thoughts on “Ketika Sedang Lelah

  1. Musti inget, kl kita hanyalah manusia. Pasti jelas nggak sempurna dan punya batasannya masing-masing…
    You’re right; it’s ok not to be ok…
    Peluk jauh… Semangat yaaaa… 🤗😘

  2. Aku pun ada lah masa-masa bosen ngapa-ngapain ya udah, leyeh-leyeh aja. Baru 2 minggu yl, main ke Shopping Centre, cuma untuk lihat-lihat, paling beli selembar kerudung, makan, trus pulang. Mandi, tidur siang…udah aja…Haha…

  3. Betul teh, wajar dan manusiawi banget kalau kita merasa lelah atau jenuh. Semangat tehh, take a deep breath and enjoy your rest 🙂

  4. Peluk Dea, semoga sekarang baik – baik aja ya Dea, semoga dimudahkan urusan Dea dan keluarga.
    It’s normal Dea, berhenti untuk kemudian berjalan dan berlari lagi.

  5. Dengan rutinitas yang “itu-itu aja” sebenarnya mungkin banget kita jenuh dan bosan, apalagi ditambah ada masalah ya kak? Semangaaattt Kak Dea, it’s ok not to be okay.

  6. Tentu ada waktu naik-turun, teh. Terutama kalau ada perubahan besar di keluarga, tentu ngaruh ke ritme atau rutinitas kita. Karena harus mengelola emosi. Semoga teh Dea kembali semangat lagi ya

  7. Deaaaa *send u a virtual hugs. 🙂

    Dea, beberapa waktu yang lalu, saya sempat bertanya-tanya (bukan bermaksud kepo) kenapa pattern Dea berubah. Saat itu, tentunya hanya bisa mengharap yang terbaik buat Dea. 🙂

    Setelah membaca ini, akhirnya saya jadi tahu. Saya setuju sekali, Dea, it’s okay not to be okay. Dan seperti yang Dea juga bilang, it’s very humane.
    ***
    Btw, saya ngiler deh lihat suasana sungainya, pengen sekali rasanya jalan di situ, duduk-duduk untuk sekedar melepas lelah sambil menikmati air dan memandangi langit. Plongg rasanya. 🙂
    ***

    Sehat walafiat selalu ya Dea. 🙂

  8. Wah, peluk dulu Teh Dea 🙂

    Memang masalah dari mamah-mamah kebanyakan adalah terjebak rutinitas ya. Terus habis itu curhat juga sudah tidak menyelesaikan masalah. Karena yang diinginkan adalah sendirian haha. Akupun juga sama, kadang pengen gitu pergi ke hotel terus tiduran sepuasnya gulang-guling tanpa ada gangguan (soalnya di Indonesia kalau jalan-jalan ngalor-ngidul tanpa tujuan di jalan panas) hahaha. Kadang-kadang kalau sudah tak tertahankan sengaja menghilang dari kantor juga. Tapi tetep saja kepikiran ina inu. Terakhir minggu kemarin habis kerjaan padat bertubi-tubi aku nekad siang-siang kabur ke bioskop. Matiin HP terus nonton Ngeri-Ngeri Sedap. Lumayan 2 jam tanpa gangguan :))

    Semoga apapun masalahnya mendapat jalan keluar yang terbaik ya Tehhh. Semangat!!

Leave a Reply to May Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *