Sejak permulaan tahun ajaran ini, si Bungsu memasuki tahun kedua dia bermain flute. So far so good, entah dari mana sepertinya memang dia punya natural talent untuk bermain seruling. Hal ini saya amati sewaktu kami berjalan-jalan di liburan panas kemarin.
Dalam rangka membakar semangat kedua anak kami yang mengikuti les musik, terutama si Sulung yang lumayan menyukai musik klasik, kami memutuskan untuk melewati kota Salzburg di Austria dan mengunjungi rumah kelahiran Mozart yang sekarang sudah menjadi sebuah museum.
Di sana, selain melihat-lihat tentu saja kami juga ‘harus’ membeli cenderamata. Apapun lah yang bisa menjadi tanda kalau kami sudah pergi ke rumahnya Mozart. Untuk si sulung, kami membelikan sebuah mug dengan gambar Mozart. Untuk si Bungsu…
Entah bagaimana, kok di rumahnya Mozart ada seruling! Bukan seruling bambu ya, tapi suling Recorder seperti yang kita mainkan sewaktu di sekolah dasar atau SMP di jaman dahulu! Si Bungsu kami memainkan dwarsfluit alias flute – suling yang terbuat dari metal dan ditiup dari samping seperti seruling bambu. Jadi sebenarnya agak gak tahu juga untuk apa membelikan Recorder untuknya.
Tapi sudah beberapa hari kami jauh dari rumah dan kami tidak membawa flute-nya di dalam perjalanan. Jadi katanya dia rindu sekali main suling. Dan suling ini pun ada stiker kepala Mozart-nya, jadi rasanya pas lah untuk si Bungsu!
Si Bungsu tentu saja sangat sangat sangat antusias, meskipun saya sebenarnya ragu. Gimana cara memainkannya? Kan selama ini dia memainkan alat musik yang tidak persis sama. Tapi ya gpp deh.
Begitu kami keluar dari museum, si Bungsu ingin segera buru-buru mencoba sulingnya. Tentu saja dia pun agak bingung bagaimana cara memainkannya. Duh, jangan tanya Mama nak. Selama Mamamu punya suling seperti ini, satu-satunya lagu yang bisa Mama mainkan hanya lagu ‘Ibu Kita Kartini.’ Itu pun hanya bagian pertamanya saja. 😅
Eh, nggak tahu gimana, Pak Suami yang selama ini terlihat sebagai satu-satunya yang paling tidak punya clue tentang bermain musik, mengambil suling barunya si Bungsu dan langsung memainkan sebuah lagu! Whattttttttttttt???
Bukan saja anak-anak yang kaget melihat bakat terpendam bapaknya, saya sebagai istri beliau yang sudah lebih dari satu dekade menyertainya pun kaget! Loh, kamu bisa main suling toh? Ternyata bakat si Bungsu datang dari kamu! Kirain dari aku! (ngaku-ngaku, haha!)
Dari situ, kami naik mobil kembali ke Munchen tempat kami menginap. Dan di dalam perjalanan yang lebih kurang dua jam itu, si Bungsu sibuk mencari-cari semua nada di suling barunya. Daan… dan malamnya dia sudah resmi menguasai Recorder! Yang artinya, kami pun harus agak ‘menderita’ mendengarkan dia memainkan semua lagu yang dia ingat dengan sulingnya selama kami berada di mobil yang panas (suhu mencapai 40 C waktu itu) selama berjam-jam ketika kami berpindah ke kota-kota selanjutnya.
Buat ibunya yang sampai detik ini tetap tidak bisa memainkan nada apapun lebih dari satu oktaf di Recorder, si Bungsu ini benar-benar punya bakat alami memainkan alat musik pilihannya! Dan mengingat dia sudah menentukan sendiri bahwa dia akan bermain flute bahkan bertahun-tahun sebelum dia mulai les musik – yah, mungkin Si Bungsu dan flute memang sudah berpasangan dari ‘sananya’.
Perubahan les flute di tahun ini
Table of Contents
Selama setahun pertama, si Bungsu berlatih flute di sekolah musik bersama seorang murid lainnya. Mereka berlatih berdua selama 40 menit, sekali dalam seminggu. Sebenarnya jatah satu anak hanya 20 menit saja, tapi karena latihan mereka digabung, mereka jadi bisa mendapat waktu lebih lama. Si Bungsu dan Sanne, temannya ini memang sama-sama menjadi peserta les baru tahun lalu.
Tapi sewaktu tahun ajaran lalu hampir berakhir, guru flute si Bungsu mendekati saya dan bertanya kalau si Bungsu bisa dipindahkan jam lesnya. Tampaknya kecepatan si Bungsu di dalam bermain tidak lagi beriringan dengan teman sekelasnya. Memang sih, kayaknya ada faktor emaknya si Bungsu juga agak lebih galak dalam urusan menyuruh anaknya berlatih. Habisnya, mahal sih! 🤑
Sayang banget sih sebenarnya, karena dua anak ini kompak sekali dan sering juga bermain bersama. Sanne juga anaknya manisssssssss sekali dan si Bungsu senang sekali berteman dengannya. Tapi yah mau gimana lagi, akhirnya si Bungsu jadi les sendirian deh.
Untungnya tahun ini saya berhasil memindahkan jam dan hari les musik abangnya. Yang tadinya mereka les lain hari, tahun ini mereka bisa les di hari dan jam yang sama. Yay! Emak jadinya hanya satu kali seminggu jadi supir ke sekolah musik!
Tapi ternyata kebahagiaan emak soal antar-mengantar tidak berlangsung lama karena guru flute si Bungsu mengusulkan si Bungsu untuk ikutan jeugdorkest alias orkes junior. Jadinya yang tadinya hanya seminggu sekali, akhirnya jadi dua kali dalam seminggu juga harus ke sekolah musik karena si Bungsu harus pergi latihan orkes di hari yang terpisah.
Semangat belajar, semangat hidup
Tawaran ini sayangnya tidak berlaku untuk si Sulung. Karena dia bermain piano dan sifat piano memang lebih kepada bermain solo, sepertinya tidak dibutuhkan banyak pianis dalam satu orkes. Tetapi tentu saja untuk si Bungsu yang bermain flute, bermain di dalam orkes, bermain bersama alat musik lain adalah sesuatu yang ‘sudah nature-nya.’ Itulah mengapa meskipun jiwa ini sebenarnya meronta karena ternyata jadual nyupir jadi bertambah lagi, tapi saya sangat mendukung si Bungsu untuk ikutan orkes ini.
Hari ini adalah latihan pertama si Bungsu di dalam orkes junior ini. Karena hari ini adalah hari pertama, orangtua boleh duduk di dalam ruangan untuk menonton latihannya berlangsung. Di sini saya melihat kalau pelatih orkes junior ini ternyata adalah seorang pria tua.
Seorang kakek berbadan agak gemuk dengan rambut dan janggut yang warnanya sudah putih semua. Namanya Gerard Poot. Hasil meng-google nama beliau membuat saya menemukan bahwa dia sudah berprofesi sebagai guru musik dan khususnya pelatih (berbagai) orkes junior selama lebih dari 40 tahun!
Bukan hanya menjadi dirigen orkes anak-anak di sekolah musik di kota saya, bapak ini juga menjadi dirigen dan pelatih orkes anak-anak di berbagai kota dan daerah di Belanda. Selain itu dia juga aktif berpartisipasi di dalam komunitas orang tua yang mengalami demensia, dengan cara bermain musik dan mengadakan acara-acara bernyanyi bersama bagi para manula.
Tapi bukan pencapaian beliau saja yang menurut saya sangat luar biasa – karena hal-hal ini baru saya dapat setelah saya mencari profil beliau di internet. Bukan, bukan itu. Tetapi kesan pertama yang saya dapatkan; tidak mungkin terlewat oleh mata: bapak ini menggunakan alat bantu pernafasan!
Hal ini juga ternyata diperhatikan oleh si Sulung yang (untungnya) cukup sabar dan sopan bertanya ketika kami sudah di rumah, “Mama, kenapa Meesternya pakai selang di hidungnya? Itu tandanya dia sudah tua dan sakit parah kan?”
Jujur saya tidak tahu sebenarnya bapak ini sakit apa, atau bahkan saya pun tidak tahu nama persis dari alat yang digunakan olehnya. Hasil pencarian di internet memberikan saya ide bahwa alat yang dipakai oleh si Bapak di hidungnya berfungsi untuk membantu menambah/memperlancar oksigen pada pernafasannya.
Hal ini membuat saya terharu. Bukan saja si Bapak ini sebenarnya sudah tua tapi kok masih aktif, tapi dia juga sudah harus memakai alat bantu pernapasan dan masih sangat aktif!
Dengan gaya yang ceria (tapi juga tegas) dia memimpin anak-anak yang berusia sekitar 6 sampai 14 tahun untuk bersama-sama bermain musik. Dia memanggil anak-anak itu langsung dengan nama mereka masing-masing (termasuk nama si Bungsu yang baru hari itu datang), dan juga sesekali membuat mereka tertawa.
Semangat si Bapak guru musik ini, plus membaca tentang sepak terjangnya di dunia musik anak-anak membuat saya terharu sekaligus sangat terinspirasi. Buat saya, emak-emak yang juga sudah punya keluhan encok dan pegal linu, terkadang persoalan anak-anak ribut di pagi hari saja sudah bikin saya seharian be-te berat. Atau kurang tidur sedikit bikin saya lesu dan tidak mood untuk melakukan apa-apa lagi.
Tapi untuk Bapak ini (dan banyak orang-orang lain yang sangat inspirasional), hidup mereka tidaklah terbatas dan terkekang oleh kenyataan bahwa fisik mereka sudah tidak sempurna lagi. Si Bapak tetap bersuara lantang dan ikut bernyanyi dengan ceria meskipun ada selang di hidungnya.
Baginya memberikan anak-anak ini pintu bagi dunia musik dan memberikan mereka sarana untuk mengusir kebosanan lewat musik (dan bukan hanya lewat penggunaan handphone saja) memberikan gairah di dalam kehidupannya.
Bagaimana dengan saya? Apakah saya juga bersemangat dan bergairah untuk menjalani hidup ini? Apakah saya bergairah untuk menggunakan kesempatan, kesehatan, dan kemungkinan yang Tuhan sudah berikan kepada saya untuk hal-hal yang berguna?
Penutup
“Ik vind het jeugdorkest echt leuk,” ujar si Bungsu di malam hari. Beberapa kali dia mengatakan hal ini, menceritakan kalau dia senang sekali bisa ikut orkes anak-anak. Saya pun merasa senang melihat dia bisa turut serta di dalam orkes, melihat dia bisa berani dan mampu mengikuti latihan, memainkan lagu-lagu yang baru dia dapat hari ini tanpa terlihat banyak menemukan kesulitan.
Di dalam hati saya berpikir, mungkin tanpa dia sadari, si Bungsu pun menangkap semangat si Bapak yang teradiasi sampai ke barisan bangku paling belakang (tempat si Bungsu duduk). Itulah mengapa dia senang dan bersemangat mengikuti latihan.
“Minggu depan aku mau ikut lagi,” putus si Bungsu. Iya dek, yuk, minggu depan main musik lagi!