“Kamu sudah mulai bekerja?”
Begitu tanya Dr. Dirven dengan wajah menganalisa. Beberapa hari yang lalu saya pergi ke rumah sakit untuk kontrol rutin. Sambil membacakan hasil lab yang menurutnya bagus, sang dokter bertanya apakah saya punya keluhan lain selain keluhan-keluhan rutin. Dia juga bertanya apa saja aktivitas yang dikerjakan sekarang, bagaimana rasanya, cukup energi atau tidak.
Di antara pertanyaan-pertanyaan itulah , sang dokter bertanya, “Kamu sudah mulai bekerja?”
Untuk sesaat saya bingung. Heh? Pertanyaan macam apa ini? Seumur-umur dalam hubungan kami berdua (ceileeeh, hubungan!) belum pernah dr. Dirven bertanya soal pekerjaan. Sang suami yang duduk di samping sudah setengah menjawab, “Ya dokter… dia baru saja mulai…”
Sambil menendang kakinya saya menjawab cepat, “Well, I’m recently starting to do some activities outside the house and I’m feeling quite OK.”
Untunglah pertanyaan tersebut bisa dijawab dengan diplomatis, karena saya belum siap (atau merasa tidak perlu) bercerita kepada sang dokter di mana saya bekerja. Sebenarnya saya malah belum siap bercerita kepada siapa-siapa tentang di mana saya bekerja. Mungkin hari inilah saat yang tepat…
Karyawan baru
Table of Contents
Tepat tiga minggu yang lalu, saya mulai bekerja sebagai karyawan resmi (cihuy) di restoran McDonald’s dekat rumah. Kalau saya bilang dekat rumah, literally dekat rumah. Hanya 2 kilometer jaraknya, sekitar 6 menit berkendara.
Ini adalah pertama kalinya saya resmi jadi pegawai di sebuah perusahaan sejak 12 tahun yang lalu. Di akhir tahun 2010 saya resmi resign dari Surbana – sebuah perusahaan arsitektur di Singapura – untuk kemudian pindah ke Belanda mengikuti suami yang tinggal dan bekerja di sana.
Selama 12 tahun ini, practically saya selalu di rumah. Tidak ada terlalu banyak kegiatan di luar rumah yang saya ikuti. Terkadang ikut Bible Study di gereja atau dengan ibu-ibu di lingkungan, dan setahun kemarin sempat kerja volunteer di sebuah sekolah dasar di dekat rumah.
Jadi bisa dibayangkan kan betapa deg-degannya untuk kembali bekerja. Meskipun pekerjaan ini hanya pekerjaan part time – 11 jam seminggu dibagi tiga hari kerja, tapi tetap saja ini adalah pekerjaan ‘beneran’ pertama yang saya punya setelah lebih dari satu dekade tidak bekerja di luar rumah!
Dan sebagai pegawai restoran, saya pun menerima seragam: baju, celana, sampai sepatu baru. Hihihi, belum pernah deh di dalam hidup ini pakai seragam kerja! Sekali-kalinya pakai seragam, bukannya seragam pegawai negeri malah seragam McD!
Krisis pekerja
Apa sih alasannya sekarang saya kembali bekerja? Dan kenapa saya mau bekerja ‘kasar’ di restoran? Kenapa tidak jadi pegawai biasa, kembali ke dunia arsitek misalnya?
Well, ada beberapa alasan kenapa saya bekerja di McDonald. Pertama, karena anak-anak masih kecil, masih perlu diantar/jemput ke sekolah, tempat les, klub olahraga, dan lain sebagainya, saya merasa tidak atau belum bisa mengambil pekerjaan full-time atau pekerjaan part-time yang mengharuskan saya full day di kantor dari jam 9 sampai jam 5.
Teman-teman yang menjalani hal tersebut biasanya tidak sempat mengantar anak-anak berkegiatan di luar sekolah, dan saya kurang rela kalau mereka berhenti olahraga dan les musik karena ibunya bekerja.
Bukan itu saja, sebagai ‘pengangguran’ selama 12 tahun, jujurly saya sudah banyak lupa. Segala sesuatu yang berkaitan dengan arsitektur sudah tidak nyangkut lagi di kepala. Hal-hal sederhana seperti memakai Words/Excel sekalipun baru belakangan ini saya lakukan lagi sejak saya mulai aktif menulis tahun lalu.
Basically saya sudah kehilangan skill yang dulu saya punya, meskipun saya percaya kalau saya pelajari lagi pasti bisa ingat kembali. Tapi dengan minim skill dan bolong besar di CV, mau kemana saya melamar? Jadi arsitek lagi nggak bisa, administrasi nggak bisa, semua-semua nggak bisa.
Satu-satunya jalan (yang sekarang terpikir) untuk kembali ke dunia pekerjaan ya lewat jadi penjaga toko, pelayan restoran, dan teman-temannya. Untungnya di Belanda sini, profesi yang demikian tidak dianggap hina. Coba kalau di Indonesia, tetangga dan mertua mungkin bisa malu kalau melihat saya yang lulus dari institut tjap gajah bekerja menjadi pelayan restoran!
Alasan ketiga memilih bekerja (di restoran) adalah adanya krisis tenaga kerja di Belanda. Sudah lebih dari setahun ini, Belanda kekurangan pekerja! Rasio pelamar dan lowongan yang tersedia adalah 1:3! Belum pernah terjadi di dalam sejarah negeri ini ada begitu banyak lowongan dan begitu sedikit orang yang mau melamar!
Hal ini terjadi hampir di setiap sektor, tetapi terutama di sektor jasa/makanan dan juga retail. Hasilnya? Pegel deh lihat iklan di mana-mana. Di cafe, restoran, supermarket, ada spanduk besar-besar: KOM HIER WERKEN! (Ayo bekerja di sini). Tv dan koran penuh dengan keluhan tentang kurangnya pegawai. Pelayanan di restoran/supermarket/toko dan lain sebagainya jadi sangat lambat karena tidak cukup orang.
Kondisi ini membuat saya ikutan gemas, hihi. Kenapa sih sampai kurang orang begini? Ya udah deh, sini saya ikut melamar saja daripada lama banget nunggu makanan jadi karena kurang pegawai! Dan namanya juga perusahaannya sudah desperate, ya langsung dong saya diterima. Hahaha, padahal mungkin dalam kondisi normal, belum tentu mereka mau menerima emak-emak berumur 44 tahun sebagai pegawai!
Alasan terakhir saya adalah kenyataan bahwa Belanda, Eropa dan seperti seluruh dunia mulai mengalami krisis ekonomi. Puji Tuhan sampai saat ini keluarga kami diberikan kecukupan. Hidup kami tidak berlebihan, tapi tidak juga sampai kekurangan.
Tapi dengan adanya peningkatan biaya hidup yang sangat besar, dan cerita-cerita horor dari orang lain yang sudah naik biaya langganan listrik/gasnya sampai lebih 4 kali lipat dari harga normal – tambahan pendapatan seratus dua ratus Euro pun terasa sangat berharga!
Olahraga yang dibayar
Jujur, ada rasa geli juga menjadi pegawai restoran di usia segini. Pakai seragam, bolak-balik bawa baki. Mengantar makanan, mengambil baki-baki yang sudah kosong dan membersihkannya, membersihkan meja, periksa apakah toilet bersih, buang sampah dan mengganti kantongnya, sampai menyapu/memungut sampah-sampah yang bertebaran di lapangan parkir (pada saat suhu 0 derajat, huhu)!
Malu gak? Gak malu juga sih untungnya. Pertama, ini kan pekerjaan jujur. Yes, tidak bergengsi seperti jadi manager atau vice president di perusahaan minyak (huhu). Tapi ini pekerjaan jujur. Nggak mencuri, nggak mencurangi orang lain, nggak membebani orang lain, menghasilkan uang dengan (literally) keringat sendiri, dengan otot sendiri. 💪
Karena pekerjaan ini banyaknya menggunakan otot dan bukan otak, jadi saya menghibur diri dengan cara berpikir: hitung-hitung, ini seperti sedang olahraga tapi dibayar! Setiap kali saya ‘dinas’, jumlah langkah hari itu bisa mencapai 13.000 – 15.000 langkah. Yang biasanya mencapai 5.000 langkah saja susah, jadi lumayan deh cukup gerak!
Cita-cita dan realita
Bekerja di McDonald bukanlah cita-cita saya. Tidak pernah terpikir kalau saya akan bekerja menjadi pelayan di sebuah restoran. Tapi setelah merangkul peran sebagai istri dan orangtua, saya belajar banyak untuk merangkul yang namanya realita. Merangkul kondisi yang tidak atau belum ideal, dan mengerjakan apa yang bisa dikerjakan sambil terus memandang dan mencari kesempatan di depan.
Sesudah begitu lama berhenti bekerja, ada banyak hal yang saya perlu benahi untuk bisa siap bekerja di luar rumah lagi. Soal skill dan CV misalnya. Belanda adalah negara yang sangat mementingkan ijazah dan sertifikat sebagai syarat untuk bekerja. Setiap profesi menuntut pekerjanya untuk memiliki skill yang spesifik, yang bisa dibuktikan lewat ijazah (diploma).
Untungnya di sini kesempatan untuk kembali ke sekolah terbuka lebar untuk orang-orang yang memang mau berusaha. Ada banyak cerita yang saya dengar tentang orang-orang yang sekolah lagi, belajar dan kemudian bekerja di bidang-bidang yang baru sama sekali untuk mereka: misalnya menjadi guru, atau menjadi perawat, dan lain sebagainya.
Saya sendiri sedang mempertimbangkan dan juga mencari jalan supaya bisa sekolah lagi. Bidangnya apa? Belum dipastikan juga. Saya berharap untuk bisa mencoba dulu, mengalami dulu bagaimana rasanya satu bidang, baru memutuskan untuk kuliah lagi di bidang tersebut.
Misalnya apakah saya suka bekerja di bidang jasa makanan seperti sekarang? Ada kok sekolah D3 bidang ini yang bisa dilanjutkan sampai level manajemen. Atau ingin menjadi guru? Menjadi perawat? Pinginnya sih bisa sempat jadi volunteer dulu atau kerja part time di tempat-tempat tersebut sebelum mengambil keputusan. Karena nggak mungkin kan, sekolah lagi 3 atau 4 tahun di umur kepala 4 ini, eh tahu-tahu nanti nggak suka bidang pekerjaannya. 😆
Soal anak dan keluarga juga menjadi pertimbangan utama – bidang pekerjaan apa yang ideal jam kerjanya bila dikombinasikan dengan peran sebagai ibu? Sekolah apa yang ideal jamnya dengan jam sekolah anak-anak?
Bagaimana dengan persyaratan untuk masuk sekolah lagi? Level bahasa apa yang harus saya capai? Persiapan apa yang harus dilakukan untuk urusan administrasi? Sambil bekerja, saya sedang mengusahakan semua hal-hal itu.
Pelajaran kehidupan dari kacamata seorang pelayan restoran
Mengambil peran di tengah banyak manusia (yang biasanya hanya melayani 3 kepala saja: Pak Suami, si Sulung dan si Bungsu) membuat saya banyak mengamati dan banyak belajar.
Saya belajar bahwa sebenarnya mencari uang itu sulit sekali. Sebagai orang yang memiliki background pendidikan cukup tinggi dan sempat atau sudah biasa bekerja kantoran, ternyata saya selama ini kurang bisa memahami bagaimana beratnya pergumulan orang-orang yang memang harus bekerja fisik untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Apalagi sebagai ibu rumah tangga yang selama ini ‘tahu beres’ dapat gaji dari suami. Tentu saja saya tidak mengecilkan beban seorang ibu rumah tangga. Bekerja di rumah itu pun juga tidak ada habisnya.
Tapi toh setelah harus memungut sampah di lapangan parkir yang ratusan meter luasnya, dan setelah ngobrol dengan teman-teman yang memang tidak punya pilihan lain; orang-orang yang bukan bekerja karena ‘iseng’ seperti saya tapi karena memang HARUS bekerja – saya jadi lebih dan lebih lagi menghargai jasa mereka.
Selama ini saya datang ke McDonald’s sebagai pelanggan. Masuk, pesan, duduk, makan sambil ketawa-ketawa, buka laptop menunggu anak-anak selesai makan/main, protes kalau pesanan tidak lengkap atau salah. Dan sekarang saya mengambil peran, bergabung dengan orang-orang yang memungkinkah hal itu terjadi. Orang-orang yang berdiri 7 atau 8 jam sehari, mondar-mandir ke kanan dan ke kiri supaya kita bisa makan dengan nyaman. Dengan bayaran per jam yang tidak cukup untuk membeli satu paket menu. Isn’t life such an irony?
Saya belajar tentang kerendahan hati. Belajar tersenyum melayani anak-anak sekolah yang masih muda tapi nyuruh tante-tante seperti saya bolak-balik ambil saus dan sedotan. Belajar bagaimana ternyata perasaan orang-orang yang harus menyapu jalan, memungut sampah, melayani pelanggan, pulang ke rumah, dan besoknya harus mengerjakan hal yang sama lagi.
Belajar menerima perintah dari atasan: ambil serbet di gudang! Tolong bersihkan pipa di bawah wastafel dapur! Tolong sapu lobby dan ambil semua baki-baki!
Belajar dari cerita teman-teman di tempat kerja: seorang asisten apoteker yang kehilangan pekerjaan beberapa tahun lalu dan rumahnya di Rotterdam, hampir satu jam jauhnya dari tempat kerja (dibandingkan saya yang hanya sepelemparan waktu). Atau seorang ibu berusia hampir 60 tahun, pengungsi dari Vietnam dan datang ke Belanda waktu usianya masih 14 tahun tanpa orangtua, atau dari mahasiswa-mahasiswa yang sambil kuliah masih harus bekerja sampai 8 jam dua hari seminggu karena mereka membiayai sendiri kuliahnya.
Keluar rumah dan bertemu orang lain, mendengarkan cerita dan belajar dari kehidupan mereka. Mengambil peran dan ikut menyumbang tenaga. Melayani para pensiunan yang duduk minum kopi dan sarapan di pagi hari bersama suami atau istrinya. Melayani para pelajar yang sedang pause makan siang untuk kemudian kembali ke sekolahnya. Melayani sesama kolega yang juga sedang berjuang untuk kehidupannya.
Mungkin peran yang saya lakukan sekarang tidak akan mengubah dunia. But I’m glad I’ve taken that one small step and start doing something. Hari esok, Tuhan saja yang tahu semuanya. Hari ini, saya kerjakan yang saya bisa. Amin.
PS: featured image courtesy: vdweert.nl
Enjoy your new life Dea, I know you will :).
Ada teman dulu ikut suami yang lagi S2 di Aberdeen, waktu di Indonesia memang teman kerja di McD, tapi dah level area manager, udah lumayan tinggi lah. Waktu di Aberdeen kerja di McD juga, tapi jadi pelayan, seru banget dengar cerita-ceritanya, termasuk bagian bebas makan sampai bosan hehe.
Waah aku gak ngeh kalau May mampir ke sini. Beneran?? Jadi dia balik lagi jadi pelayan ihihihihi.. sayangnya skrg gak dapat makan gratis lagi euy. Tapi aku juga gak terlalu pingin banyak makan fast food sih. Kadang mikirnya yah kerjaan kok gini amat (disuruh ngepel ruang karyawan) tapi I think such experiences humble myself a lot. Makasih ya udah berbagi cerita tentang temannya, May 😘