Orang bilang: time flies! Waktu berjalan dengan begitu cepat! Dan memang, tahun 2022 saya rasa sebagai tahun yang sangat singkat. Rasanya baru saja berganti tahun dari 2020 ke 2021, eh tahu-tahu sudah akhir tahun saja. Dan rasanya baru saja kemarin malam tahun baru, tahu-tahu hari ini sudah masuk minggu ke-4 di bulan Januari!
Salah satu hal yang membuat saya merasa setahun ini sangat cepat berlalu adalah urusan les Bahasa Belanda. Saya memulai les bahasa ini akhir tahun 2020. Setelah belasan tahun tidak pernah mengikuti kegiatan apapun yang sifatnya formal, saya pun memulai kursus dengan perasaan dag-dig-dug.
Sejarah membuktikan kalau daya tahan saya mengikuti sesuatu itu sangat kecil. Entah apa saja alasannya, sering sekali kegiatan yang saya ikuti akhirnya terpaksa saya drop. Entah saya yang sakit, atau urusan anak-anak dan kewajiban yang lain membuat saya sering tidak bisa menyelesaikan sesuatu yang saya mulai.
Karena itu saya memulai kursus kemarin dengan perasaan yang cukup pesimis. Belum lagi urusan level yang terasa ‘ketinggian’. Yang tadinya bisa Bahasa Belanda dengan jurus belajar sendiri, tahu-tahu harus berhadapan dengan berbagai aturan gramatika yang bikin pusing.
Tapi ternyata akhirnya semua itu selesai juga. Akhir November 2022, saya berhasil mengikuti ujian level 2F yang diadakan oleh sekolah bahasa tempat saya belajar. Beberapa minggu kemudian saya mendapatkan hasilnya: geslaagd! Lolos semua untuk ujian: luisteren (mendengar), schrijven (menulis), lezen (membaca), spreken & bespreken (presentasi & percakapan).
Level Bahasa Belanda untuk orang lokal vs pendatang
Table of Contents
Di Belanda (dan di Eropa pada umumnya), ada sebuah sistem yang khusus digunakan untuk menilai berapa tinggi level kemampuan berbahasa seseorang. Ada dua macam level kemampuan bahasa: kemampuan Bahasa Belanda untuk orang lokal (Bahasa Belanda sebagai bahasa pertama), alias Nederlands als eerste taal, disingkat NT1 – ini adalah ukuran kemampuan bahasa orang-orang yang lahir dan bersekolah di Belanda, yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pertamanya.
Yang kedua adalah kemampuan bahasa untuk orang asing (Bahasa Belanda sebagai bahasa kedua) alias Nederlands als de tweede taal, disingkat NT2. Ini adalah level kemampuan bahasa para pendatang, yang lahir di negara lain, datang dan tinggal, bersekolah atau bekerja di Belanda.
Kemampuan berbahasa penduduk lokal NT 1 dibagi dalam 1F, 2F, 3F, dan 4F. Sedangkan NT2 berjenjang dari level A0, A1, A2, B1, B2, C1, dan C2. Kriteria kemampuan bahasa antara NT1 dan NT2 tidaklah persis sama. Orang-orang yang bicara Bahasa Belanda sebagai bahasa pertama ‘otomatis’ memiliki perbendaharaan kata yang jauh lebih banyak dari orang yang memiliki kemampuan bahasa NT2. Misalnya mereka kenal kata-kata yang hanya dipakai di dalam cerita anak, dan kata-kata yang tidak dipakai sehari-hari.
Meskipun demikian level yang ada di NT1 bisa ‘disetarakan’ dengan level NT2 sebagai berikut:
- Instroomniveau > A1: level melek aksara
- 1F > A2: level lulusan Sekolah Dasar
- 2F > B1: level lulusan Sekolah Menengah VMBO (sekolah dengan basis praktek, seperti STM)
- 3F > B2: level lulusan Sekolah Menengah Atas HAVO (lulusan havo boleh melanjutkan ke politeknik D4)
- 4F > C1: level lulusan Sekolah Menengah Atas VWO (lulusan VWO boleh masuk universitas untuk kemudian menjadi peneliti, dokter, insinyur, dan lain sebagainya).
Staatsexamen
Level yang saya ikuti di sekolah bahasa sepanjang tahun lalu adalah level 2F: yaitu level bahasa yang diharapkan dikuasai oleh orang-orang menjalani pendidikan basis praktek, level D1 sampai D3 kalau dibandingkan dengan sistem di Indonesia).
Entah kenapa Gemeente (pemerintah daerah) memberikan kami level 2F, padahal peserta lesnya adalah orang-orang yang lahir di negara lain, orang-orang yang seharusnya menjalani pendidikan bahasa NT2 – Bahasa Belanda sebagai bahasa kedua.
Dan meskipun kata internet (hehe) level 2F ini hanya setara dengan level B1, tapi dosen kami memberikan pelajaran dengan memakai buku dan materi level B2. Bingung kan? 😆
Dan ujian akhir dari level 2F yang diadakan oleh sekolah bahasa setelah satu tahun les juga adalah ujian dalam level 2F. Dan setelah lulus, saya pun memperoleh sertifikat level 2F dari sekolah bahasa tersebut.
Karena tidak imbangnya penyetaraan beberapa level ini (2F dibilang setara dengan B1, padahal kami belajar pakai materi B2), dosen saya menyarankan murid-muridnya untuk ‘membuktikan’ bahwa kami memang sebenarnya sudah menguasai Bahasa Belanda sebagai bahasa kedua level B2 dengan cara mengikuti Staatsexamen alias Ujian Negara.
Artinya, dengan mengikuti Staatsexamen Bahasa Belanda NT2, kemampuan saya berbahasa akan diakui oleh negara, dengan cara mengikuti ujian yang dilangsungkan oleh negara dan dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh negara (bila lulus 😅).
Diploma (ijasah) Staatsexamen ini bernilai lebih tinggi dibandingkan ijazah yang dikeluarkan oleh sebuah sekolah atau kursus bahasa biasa. Ijazah Staatsexamen bisa digunakan untuk melamar pekerjaan, mendaftar ke sekolah (misalnya kuliah lagi), dan juga untuk kepentingan administrasi pemerintah (misalnya untuk lulus program integrasi).
Bila saya ingin ikut program integrasi dengan tujuan menjadi Permanent Resident atau bahkan menjadi Warga Negara Belanda, saya perlu lulus Staatsexamen minimal level B1. Artinya orang-orang yang mau menjadi PR atau penduduk diharapkan cukup bagus Bahasa Belandanya sehingga bisa cas cis cus dengan tetangga. 🤪
Bila saya ingin kuliah lagi di program yang menggunakan Bahasa Belanda, saya perlu lulus Staatsexamen level B2. Bahkan kalau saya ingin bekerja atau kuliah di bidang yang sifatnya research base, level bahasa Belanda saya perlu sampai C1 atau C2. (Tapi tidak ada staatsexamen level C1 dan C2, jadi minimal ada ijazah B2 yang dikeluarkan oleh negara).
Untuk alasan-alasan di ataslah, akhirnya saya nekat mendaftar ikut Staatsexamen – karena saya kebetulan memang perlu ijazahnya untuk mengurus surat ijin tinggal sebagai Permanent Residence tahun ini, dan juga kalau ada kesempatan saya bisa menggunakan ijazahnya untuk sekolah lagi. Plus, biar punya closure kalau yaaaaaaaa, level 2F yang saya jalani di sekolah kemarin beneran setara dengan B2 lho! 😅
Hampir tidak jadi tapi akhirnya selesai juga
Tadinya saya berniat untuk ikut staatsexamen bersama seorang teman les, supaya ada teman sama-sama ke Amsterdam. Alkisah staatsexamen ini dijadwalkan beberapa kali setahun dan diadakan di beberapa kota besar di Belanda. Sebenarnya ujian ini juga diadakan di kota tempat saya tinggal, tapi entah kenapa waktu saya mendaftar, Utrecht tidak termasuk di dalam pilihan lokasi.
Terpaksa saya memilih Amsterdam, karena kota ini paling dekat dari rumah kami. Secara jarak sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya 40 kilometer saja dan bisa ditempuh 40 menit dengan mobil. Tapi saya tidak suka dan tidak punya pengalaman menyetir ke Amsterdam yang terkenal ‘parah’ lalu-lintasnya. Itulah mengapa saya mengajak seorang teman untuk bisa berangkat bareng dari Utrecht dengan kereta.
Sayangnya, sang teman saya tidak jadi ikut staatsexamen. Karena dia belum lulus ujian akhir di tempat les November lalu dan harus melakukan herexamens, dia memutuskan untuk tidak jadi ikut staatsexamen. Jadilah saya harus pergi sendirian ke Amsterdam.
Setelah saya resmi menjadi pegawai McDonald’s, urusan belajar menjelang ujian pun jadi terbengkalai. Plus tidak punya teman mau ujian, motivasi belajar pun semakin terus. Semua itu masih ditambah kami sekeluarga kena Corona persis di minggu Natal! Hampir dua minggu saya benar-benar lemas dan sulit bernafas. Boro-boro mau belajar, yang ada adalah berbagai skenario di kepala bagaimana caranya membatalkan ujian ini.
Staatsexamen yang harus saya jalani terdiri dari 4 bagian: mendengar, membaca, menulis dan bicara. Untuk masing-masing bagian kita harus membayar 50 Euro – jadi total saya membayar 200 Euro untuk ujian ini. Karena itu Pak Suami meyakinkan saya untuk tetap pergi ujian meskipun nafas masih agak megap-megap dan otak berkabut rasanya, nggak bisa mikir.
Bolak-balik saya test antigen untuk meyakinkan kalau saya sudah negatif (supaya aman dan tidak menularkan orang lain) – sekalian juga berharap saya masih positif (supaya bisa batal ikut ujian dan uangnya tidak hangus). Akhirnya saya pergi juga, diantar oleh Pak Suami tercinta yang mengambil cuti sakit (judulnya masih Corona, padahal dah sembuh ihihi) di dua hari pertama. Dua hari berikutnya saya sudah cukup pede untuk menyetir sendiri.
Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali
Sebenarnya keputusan saya untuk mengambil ujian ini tergolong sangat terlambat. Rata-rata teman dan kenalan saya sudah menyelesaikan pelajaran Bahasa Belandanya sampai tahap ini di tahun ke 3 sampai ke 5 mereka tinggal di Belanda. Tidak seperti saya yang baru mulai belajar setelah tinggal 11 tahun.
Ada rasa penyesalan yang sangat besar mengapa saya lambat sekali memutuskan untuk serius belajar bahasa Belanda. I’ve missed so many chances, opportunities di luar sana karena tidak menguasai bahasanya.
Tapi di saat yang sama saya pun sadar dengan keterbatasan diri sendiri karena kondisi keluarga dan juga kesehatan pribadi. Yes I’ve missed a lot. Yes, I did it too late compared to the others. Tapi toh yang penting, masih ada keinginan untuk maju, untuk belajar lagi.
Tanggal 7 Februari nanti hasil ujiannya akan keluar. Entahlah saya lulus atau tidak. Semoga lulus ya. Dan semoga semangat belajarnya tidak hilang dan bisa dilanjutkan untuk belajar hal yang baru lagi, sambil terus mengasah kemampuan bahasa yang sudah ada.
Yuk, diri sendiri, semangat!🦾