Hidup Bersama Rasa Takut dan Syukur

Hari saya kontrol ke rumah sakit, kontrol tiap enam bulan yang selalu membuat saya merasa gamang. Tahun ini adalah tahun ke 9 saya hidup di dalam kondisi kesehatan yang sekarang. It feels like a dream, has it been 9 years already? Just one year from now, I’ve been 10 years living with this scary illness.

Setelah 9 tahun dan countless check-up, rasa takut itu ternyata tidak pernah hilang. Sejak awal saya sudah melatih diri untuk tidak terlalu banyak memikirkan kontrol yang akan datang. Di awal, saya selalu being moody, emotional, selama at least 2 minggu sebelum kontrol. Belum lagi kalau hasil kontrolnya tidak langsung bisa dilihat dan harus menunggu hasil lab datang. Rasanya hari-hari penantian itu panjang sekali. Tapi karena waktu itu anak-anak masih balita, tidak banyak juga waktu untuk bermenung-menung. Anak-anak yang harus dirawat, rumah yang harus dibersihkan, harus masak… Kalau ada orang tanya, “how do you survive?” Saya akan menjawab, “I don’t have much time to stay in my misery. I just go on, and on, and on…”

Tahun-tahun berlalu, dan jadwal check-up masih selalu terasa mencekam. Tapi kemudian, periode uring-uringan sebelum kontrol jadi berkurang. Tadinya saya akan over-thinking, bahkan sampai mimpi buruk tentang kontrol selama 2 minggu. Lama-lama saya mulai berpikir tentang kontrol seminggu sebelum hari -H. Setelah itu hanya beberapa hari sebelum kontrol. Tidak ada banyak waktu untuk berpikir, tidak ada waktu untuk takut.

Tahun ini adalah tahun ke 5 sejak tindakan terakhir di tahun 2020. Periode terlama untuk menyandang status ‘sehat’. Mungkin orang-orang berpikir, saya sudah tidak perlu kontrol rutin lagi. I’m very lucky having a doctor who really cares about my condition. Rumah sakit yang lain biasanya akan mulai melepas pasien setelah tahun ke 2, tapi dokter Dirven mengerti rasa ragu yang saya miliki, plus rekam medis yang panjang memang membuat status sehat selalu meragukan. Jadi saya tetap diberi jadwal untuk kontrol setiap 6 bulan.

Dua tahun terakhir sejak saya jadi sekolah lagi, hari-hari menegangkan sebelum kontrol menjadi semakin singkat. Kemarin di tempat kerja, saya baru ingat lagi kalau hari ini harus ke rumah sakit. I even forgot about it! Setelah ngatur jadwal dengan Pak Suami, memastikan kalau beliau bisa mengantar ke Amsterdam, saya kembali melupakan ketegangan tentang kontrol.

Pagi ini kami ke rumah sakit. Saya lebih diam dari biasanya. Di mobil saya berusaha untuk membaca buku, trus seperti biasa jadi ngantuk karena membaca. Tidak terasa hampir sejam di mobil, kami pun tiba di rumah sakit. Pak Suami menurunkan saya di gerbang, dan saya masuk sendirian ke dalam sementara dia ke gedung parkir tidak jauh dari gedung utama. Dalam diam saya melangkah masuk, menatap wajah-wajah pasien lain yang sedang menunggu gilirannya. Kebanyakan dari mereka terlihat biasa-biasa saja, kalau orang tidak ngeh mereka sedang ada di NKI AVL, pasti tidak akan ada yang percaya kalau saya bilang mereka semua punya penyakit serius. Ada juga yang terlihat pucat, didorong di kursi roda.

Kebanyakan usianya lebih tua dari saya, biasanya saya adalah salah satu pasien termuda di rumah sakit ini, tapi mengingat kalau usia sekarang sudah hampir 10 tahun lebih tua dari saat saya mulai berobat, wajar saja kalau saya bukan lagi golongan termuda yang mengunjungi rumah sakit ini. Tidak banyak terlihat wajah-wajah Asia, lebih banyak bapak ibu bule yang datang dengan pasangan, atau anak mereka yang sudah dewasa.

Dengan tenang saya mendaftar dan langsung menuju ke tempat pengambilan darah. Biasanya saya akan memalingkan muka setiap jarum ditusuk, tapi hari ini saya menatap setiap milimeter dia menelusup ke bawah kulit. I couldn’t stop thinking, what will happen? Will my life be on hold again? Tapi semua pikiran itu saya coba tekan, sebisanya mencoba untuk tidak merasa apapun. Tidak sedih. Tidak takut.

Setelah ambil darah saya pergi ke bagian lain untuk di-usg. Entah kenapa Pak Suami tidak kunjung datang, tapi saya tidak punya waktu untuk menunggu beliau. Waktu saya dipanggil dia belum datang juga, terpaksa saya sendirian masuk ke dalam ruangan yang begitu akrab, and yet terasa selalu dingin (literally, AC nya selalu keras banget dan karena saya selalu diminta untuk buka baju, jadi ya memang selalu kedinginan).

Setelah beberapa lama menunggu, dokter pun datang dan mulai memeriksa. Setelah selesai dia minta waktu untuk membandingkan hasil hari ini dengan hasil yang lalu – not a nice thing to hear. Saya tetap diam, melawan semua rasa takut yang berusaha menguasai. Di dalam hati saya berdoa, berpikir tentang apa saja yang sudah aku lalukan selama 6 bulan terakhir, how I haven’t done my best, how I have failed and sinned, how I haven’t fulfiled my promises to God. Beberapa menit terasa sangat panjang, sampai akhirnya dokternya balik ke tempat tidur dan bilang kalau semua proses sudah selesai, hasilnya terlihat baik dan tidak ada yang mengkuatirkan.

Biasanya di dalam keadaan demikian, yang selalu saya lakukan adalah mengambil nafas panjang (setelah bermenit-menit menahan nafas karena tegang ketika sedang diperiksa), menutup muka dengan tangan dan menangis, lalu mengucapkan terimakasih kepada dokter dan perawat. Tapi hari ini, menangis lega pun tidak bisa dilakukan. Kata-kata sang dokter bahwa semua terlihat baik tertelan dengan perasaan kuatir, pertanyaan-pertanyaan apakah pemeriksaannya akurat? Apakah benar semua baik-baik saja di dalam sana? Apa lagi yang masih harus ditanyakan kepada dokter bedah saat konsultasi dua minggu berikutnya?

Dengan hormat saya mengucapkan terimakasih kepada sang dokter dan perawat, cepat-cepat pakai baju lagi dan berjalan keluar. Pak Suami sedang duduk menunggu dengan laptop terbuka – beliau tidak ambil cuti setiap kali antar aku ke rumah sakit. Yang judul sebenarnya WFH, digeser sedikit menjadi Working From Hospital. Dia menatap saya dan bertanya, “gimana sayang?”

Saya masih seperti orang berjalan sambil tidur, duduk di depannya, dan mulai bercerita tentang sang dokter yang bertanya kenapa ada order khusus untuk dokter tertentu yang harus melakukan tindakan, kenapa nggak boleh dokter yang mana saja?

Pak Suami memotong cerita saya, dan bertanya lagi, “Ceritanya nanti saja, hasilnya gimana??”

Mengapa tidak bisa bahagia

Kami beranjak pulang ke rumah dan sepanjang perjalanan menuju ke mobil, saya terus bertanya kepada diriku sendiri, “Mengapa aku tidak bisa bahagia?” Why can’t I be spontenous and joyfully embracing the good news? Why can’t I joyfully shouting I’m happy?”

Sebelum keluar dari rumah sakit, aku berhenti di “Muur van Gedachten” – tembok di hal utama rumah sakit di mana kita bisa meninggalkan memo untuk pasien yang lain, untuk saling menyemangati. Biasanya saya selalu meninggalkan memo syukur di sana setelah selesai pemeriksaan, sambil membaca pesan-pesan yang ditinggalkan oleh pasien atau keluarga pasien yang lain.

Sambil menulis, saya menyadari bahwa rasa takut itu masih ada. Rasa takut itu membuat saya tidak bisa lepas, bebas, seperti lagunya Iwa K. Rasa takut bahwa something bad will happen again, tidak pernah benar-benar meninggalkan hati ini. And somehow I realized, that I will never lose this fear. This fear will always stay. Tidak akan ada perasaan benar-benar yakin bahwa semua hal yang pernah saya alami sudah berlalu. Kenyataan kalau the worst is yet to come is real.

Tapi di saat yang sama, saya juga tahu, bahwa kalaupun saya harus hidup bersama rasa takut ini, dan membawanya kemanapun saya pergi, hidup ini nggak necessarily misserable. I still have hope, and I still have the joy of knowing that I have SO MUCH to be grateful for! Bersyukur meskipun hidup tidak sepenuhnya (pasti) selalu indah dan tak ada masalah membuat hidup itu sendiri jadi less menakutkan.

Saya tahu kalau saya besok pasti akan kembali ke diri yang biasa lagi. Sibuk kuliah, mengerjakan tugas-tugas, seminggu liburan musim semi lalu mulai kerja lagi. Saya tahu kalau saya pasti akan lupa lagi dengan jadwal kontrol, terlalu sibuk untuk merasa ini itu dan akan semangat lagi.

Bersyukur membuat hidup lebih bearable

Bersyukur membuat hidup kita bisa dihidupi, apapun keadaannya. Sering sekali kita hanya berfokus kepada apa yang tidak kita miliki, kepada hal-hal yang bikin kita resah karena kita tidak mau mati penasaran. Saya ingat dulu semasa remaja aku dan teman-teman sering bercanda, “Nyetirnya jangan kenceng-kenceng dong. Gue belum mau mati, belum kawin.” Pikiran semacam inilah yang bikin kita takut sekali mati penasaran: gimana kalau aku mati sebelum aku kaya/bahagia/dibahagiakan anak/sukses… dan lain sebagainya, isi sendiri dengan apa yang pembaca anggap penting.

Lucunya orang-orang yang mikir kayak gitu, biasanya justru kondisinya bisa dibilang baik-baik saja. Well, pastilah semua orang punya masalah, ya sakit, ya nggak punya uang, ya lemah badan, ya gak harmonis hubungannya dengan sesama, dan lain sebagainya. Tapi percayalah, sebagai orang yang sudah diberikan kepercayaan untuk mengalami hari-hari yang mungkin akan segera berakhir, yang saya pikirkan selain tentu saja anak-anak masih kecil, adalah bahwa saya belum melakukan yang terbaik untuk memuliakan Tuhan. Bahwa saya belum menggunakan hidup saya sebaik-baiknya untuk menjadi seseorang yang berguna. Bahwa ternyata saya belum mencapai standar hidup yang ideal bukan menjadi pikiran yang utama.

Saya ingat, di saat-saat yang paling berat, yang saya pikirkan di pagi hari setelah saya bangun adalah, “Terimakasih Tuhan, aku masih diberikan satu hari lagi.” Dan saat saya di tempat tidur di malam hari, saya kembali menggumam, “Terimakasih Tuhan, satu hari sudah lewat dan Tuhan kuatkan aku melaluinya.” Begitu tiap hari sampai keadaan lebih menjadi lebih stabil. Dan rasa syukur untuk waktu yang masih saya miliki itulah yang membuat saya sekarang berani melangkah untuk sekolah lagi, untuk keluar dari rasa takut dan menghadapi hidup, dengan harapan bisa membuat hidup beberapa orang yang saya sentuh menjadi sedikit lebih berarti.

Gelang dari seorang anak perempuan

Ada yang berbeda di “Tembok Pemikiran” di rumah sakit hari ini. Di sepanjang tembok diletakkan belasan gelang-gelang. Ternyata gelang-gelang ini adalah gelang buatan seorang anak perempuan yang ayah juga pasien di rumah sakit yang saya kunjungi. Anak perempuan ini bukan hanya punya ayah yang sakit serius, adiknya pun lahir dengan kondisi yang kritis dan harus dirawat di NICU berbulan-bulan.

Namun di dalam semua kesulitan dan ketidakpastian yang dialami oleh keluarga ini, gadis kecil ini masih meluangkan waktunya untuk membuat gelang – sebuah kado kecil untuk pasien-pasien dengan harapan bisa membangkitkan semangat mereka. Setiap sang ayah harus check up ke rumah sakit, mereka meletakkan gelang-gelang ini di “tembok pemikiran”. Sampai hari ini sudah lebih 2000 gelang yang dia sumbangkan ke rumah sakit, dan pasien yang berkunjung ke rumah sakit boleh mengambil gelang ini untuk menambah semangat mereka.

Sumber: Facebook NKI AVL

Konon, gelang-gelang ini sejatinya bertuliskan ‘HERO’ – sebuah gelar kehormatan untuk orang-orang yang berjuang untuk sembuh. Hari ini tidak menemukan gelang dengan tulisan hero, tapi saya memilih gelang yang dibuat dengan manik-manik smiley. Sebuah pengingat untuk tetap tersenyum, meskipun rasa takut itu masih ada dan akan terus dibawa, tapi hidup ini juga penuh dengan berkat dan kebaikan Tuhan, penuh dengan alasan untuk merasa bersyukur dan bersukacita.

Thank you Djuna, untuk reminder yang sederhana tapi sangat berarti ini. I’m grateful for today, I’m grateful for my life, I’m grateful for every extra days given to me. To God be the glory!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *