Pulang (kampung) adalah salah satu tradisi paling kental di Indonesia. Pulang kampung alias mudik banyak dilakukan menjelang masa Lebaran. Untuk yang beragama Kristen, biasanya pulang kampung dilakukan di masa Natal. Orang Batak biasanya menjadikan Tahun Baru alasan utama untuk pulang kampung.
Pulang kampung dilihat kebanyakan orang sebagai sebuah kewajiban. Apapun kondisinya, punya rejeki atau tidak, naik kereta, pesawat, bahkan becak, semua dijalani asal bisa merayakan hari raya bersama keluarga besar. Buat orang Batak, pulang kampung itu sendiri mengandung kebanggaan. ‘Kampung’di sini berarti di desa mana ayah mereka dilahirkan. Misalnya Pak Suami, selalu bangga mengenang ‘Marihat’ (sebuah desa di Sumatera Utara) sebagai kampungnya. Kampung dilihat sebagai muasal identitas seseorang, pemberi warna dalam karakter dan kepribadian. Di kampung inilah kepribadian sang Bapak diasah, untuk kemudian ditransfer kepada anak-anaknya.
Kampung siapa?
Table of Contents
Yang menjadi dilema adalah, ketika seseorang mengatakan ‘pulang kampung’, kampung siapakah yang dimaksud? Buat Pak Suami, Marihat adalah kampungnya, karena di situ Bapaknya berasal. Buat Papa saya, Saribu Dolok adalah kampungnya karena di situlah bapaknya berasal. Tapi ayah saya tidak besar di sana. Beliau besar di Pematang Siantar. Seperti juga Pak Suami tidak pernah tinggal di Marihat, dia lahir di Medan dan besar di Jakarta.
Pertanyaannya, kalau saya mau pulang kampung – ke kampung di mana Papa saya berasal dan dibesarkan, apakah saya harus pergi ke tempat dia besar, atau ke tempat yang dia sebut sebagai kampung? Kalau anak saya pulang kampung, apakah dia harus ke Jakarta, atau Marihat, di mana sekarang sudah tidak keluarga lagi?
Pergeseran tradisi
Tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan April adalah “Tradisi Lokal yang Masih Dilestarikan”. Mungkin maksudnya adalah tradisi lokal seperti pulang kampung, sungkeman di Hari Raya, upacara adat dan lain sebagainya?
Mengapa saya memberi tanda tanya di kalimat terakhir? Karena untuk si perantau yang sudah jauh dari ‘kampung’, melestarikan tradisi adalah sesuatu yang membuat hati ini bertanya-tanya.
Tradisi adalah kebiasaan yang dilakukan turun-temurun, dengan makna dan arti mendalam, yang mengikat beberapa individu dalam sebuah persatuan (sumber: kamus besar DIP). Artinya tradisi kalau dilakukan oleh satu orang saja, dan tanpa makna, tidak bisa disebut tradisi. Saya selalu scrolling handphone sebelum tidur – apakah itu tradisi? Tentu tidak. Itu namanya kebiasaan, tepatnya kebiasaan buruk.
Tradisi membutuhkan sekelompok orang untuk melakukannya. Misalnya tradisi memberi ayam yang diatur yang dilakukan suku Batak Simalungun untuk memberi berkat pada salah satu anggota keluarga (saat kelahiran, pernikahan, kelulusan, dan sebagainya) – harus ada minimal dua orang yang terlibat supaya tradisi ini bisa berjalan.
Masalahnya, ketika nasib membawa kita keluar dari ‘kampung’, melaksanakan tradisi yang secara turun-temurun dilakukan oleh orang-orang ‘sekampung’ kita menjadi sesuatu yang tidak bisa dilakukan lagi. Atau katakanlah, susah dilakukan.
Begitu juga ketika kita menikah dengan orang di luar ‘kampung’ kita. Meskipun saya menikah dengan sesama orang Batak, tapi Pak Suami datang dari suku Batak Toba, dan saya datang dari suku Batak Simalungun. Kalau kami mau melakukan tradisi Batak Toba, saya membutuhkan keluarga Pak Suami untuk ikut melakukannya. Begitu juga dengan beliau, kalau beliau turut dalam acara keluarga besar saya, barulah dia bisa mengalami dan menjalani beberapa tradisi Batak Simalungun.
Dan karena kami tinggal merantau, perpaduan dua orang yang Bataknya nggak persis sama, dan langkanya perkumpulan orang Batak di tempat kami tinggal membuat menjalankan tradisi tradisional mustahil dilakukan. Atau katakanlah, susah dilakukan.
Tradisi keluarga
Buat saya secara pribadi, tradisi tradisional sudah terganti dengan tradisi keluarga. Tradisi yang Pak Suami dan saya, beserta anak-anak ciptakan untuk memberi sebuah arti untuk persatuan keluarga kami.
Mungkin tradisi pertama kami adalah memberi kartu ulang tahun. Dimulai dari seorang pemuda yang kesengsem dengan seorang gadis remaja penggemar gajah. Di ulangtahunnya, si gadis menerima kartu bergambar gajah dari sang pemuda, Tiga belas tahun kemudian, sang gadis kembali menerima kartu gajah di hari ulangtahunnya, kali ini dengan janji untuk bersama selamanya.
Kartu ulang tahun menjadi sesuatu yang spesial untuk kami. Kado tentu saja sangat dihargai, tapi kartu ulangtahun harus ada! Setiap anggota keluarga akan menulis sesuatu di kartu tersebut, yang dibacakan setelah acara meniup lilin. Hal sederhana, tapi membuat kami sangat istimewa bila menerimanya.
Atau tradisi lain yang diadopsi dari tradisi Belanda, misalnya sarapan Paskah, yang dipromosikan oleh setiap supermarket dengan hidangan yang terlihat sangat menggiurkan (padahal rasanya ya kalah jauh dari bubur ayam). Tahun ini si Bungsu memohon supaya kami pun memulai tradisi ‘Paasontbijt’ atau sarapan Paskah di rumah, ‘Nanti aku yang siapin semuanya, Mama nggak usah reptot. Temani aku belanja, berapa budget-nya, dan bangunkan aku setengah jam sebelum waktu sarapan.’
To my very surprise, she really did it! Di pagi hari Paskah, saya turun menemukan hidangan lengkap di meja makan! Ada bermacam-macam roti dan isiannya, salad, dan jus jeruk. Bahkan piring-piring kotor sudah dicuci dan dapur dirapikan!

Saking inginnya si Bungsu supaya kami bisa memiliki kebersamaan yang hangat, bisa merasakan spesialnya hari Paskah sebagai keluarga, dia rela bangun pagi dan mengambil peran untuk menginisiasi sebuah tradisi baru. Katanya, ‘Mulai sekarang, kita selalu sarapan Paskah setiap tahun, ya!’
Pulang kampung
Hari ini saya tiba di Jakarta. Bukan karena saya sedang pulang kampung. Lebaran sudah berlalu, dan Tahun Baru masih lama. Saya pulang karena Papa sudah dua bulan keluar masuk rumah sakit.
Dengan hati patah saya meninggalkan tempat yang saya panggil rumah, 16 jam duduk di bangku pesawat, menuju sebuah tempat yang dulu saya panggil rumah. Where is home, is it in The Netherlands, or is it here in Indonesia? Because I whispered ‘I’m home’ when I landed in Jakarta, but I felt so alone travelling without my husband and my children. I want to be there for them, but I want to be here for my parents. My heart breaks to see my daughter, but my heart ached looking at my Mom struggling alone.
Pulang kali ini bisa disebut sebagai pulang kampung – pulang ke tempat saya dibesarkan, tapi tidak dilakukan sebagai sebuah tradisi. Namun, saya pulang untuk memberi makna, untuk berbagi beban dan memberi rasa kebersamaan untuk keluarga yang tinggal di Indonesia, untuk berbagi cinta dan kasih sayang.
Sebagai seorang individu dan orangtua, saya gagal melestarikan tradisi tradisional. Hidup memaksa saya mengubah tradisi, menggesernya kepada bentuk yang berbeda, tapi dengan makna yang sama: mari saling mengasihi sesama❤️.
Semoga Papanya cepat sembuh ya…
Samma…aku juga engga merasa punya kampung. Bandung udah jadi rumahku…
I feel you. Semangat yaaa 🤗❤️
Semoga lekas sembuh Papanya teh Dea. Iya sih pergi tanpa anak dan suami kok rasanya kaya ada yang hilang
Semoga papa nya lekas sehat.
Yah, terkadang (atau mungkin sering) kita harus mengubah kebiasaan karena kondisi kita yang berbeda dengan orang lain.
Tak apa, setiap orang punya ujiannya masing-masing.
Sabar ya.
Wah Mba Dea, luar biasa sekali si Bungsu 🥰
Sungguh manis melihat semangatnya untuk memulai tradisi baru seperti Paasontbijt.
***
Semoga Papa cepat sembuh, Mba Dea. 🤲🏻
Baca paragraf akhir jadi terharu.
Pulang menemui orang tua itu selalu ada rasa yang tak bisa diukur dengan kata.
Semoga ayah lekas pulih kembali ya teh Dea. Big hug …