Hoi! Kamu siapa, Ba atau Bu? Sapaku kepada seorang anak laki-laki yang sedang berdiri di depan supermarket.
Anak ini adalah salah satu murid di sekolah tempat aku bekerja. Sepertinya dia sedang menunggu ibu atau ayahnya berbelanja. Dia berdiri tenang sambil memegang step-nya. Apa ya bahasa Indonesia-nya step… skuter? Otoped? Yah, pokoknya yang bentuknya seperti skateboard tapi ada stangnya gitu deh.
Aku Ba, jawabnya sopan. Kamu itu mamanya D kan?
Bukan, aku mamanya J. Kamu kenal J kan? Kamu pernah bertemu dengan anakku waktu kamu main di rumah D.
Wajar kalau si Ba salah mengenali aku. Kabarnya aku dan mamanya D terlihat serupa. Maklum, kami adalah dua-duanya orang Indonesia yang bekerja di sekolah itu. Plus kami berdua sama-sama Batak. Yah, sudahlah. Anggap saja memang bersaudara.
Oh iya, kamu mamanya J, jawabnya tertawa.
Setelah berbincang sedikit aku mengucapkan salam dan pergi masuk ke supermarket untuk berbelanja. Dia membalas salamku sopan dan melanjutkan menunggu orangtuanya dengan tenang.
Manis sekali anak ini, ucapku dalam hati. Padahal anak ini adalah salah satu anak-anak yang dicap nakal dan bermasalah oleh ibu-ibu di tempatku bekerja. Padahal anak ini adalah salah satu anak yang paling sering dibicarakan di rapat. Dan dari cara ibu-ibu ini membicarakan dia, aku membayangkan anak ini mestinya garang seperti Hulk kalau sedang marah, beringas seperti monster, dan tidak terkendali seperti Tazmanian Devil.
Memang aku juga sudah mendengar dari Kak S, ibunya D kalau Ba ini sebenarnya anaknya manis baik. Kak S pun baru-baru ini saja menyadarinya karena Ba ini sudah beberapa kali playdate dengan D di rumah mereka. Dia pun agak kaget karena ternyata Ba ini jauh dari imaginasi yang dia punya – imaginasi yang tercipta berdasarkan deskripsi ibu-ibu yang lain.
Jadi ceritanya Ba ini kembarannya Bu. Tapi tidak seperti image anak kembar yang kayaknya lucu, imut, pakai baju yang sama dan selalu nempel satu sama lain kemanapun, Ba dan Bu ini tidak seperti itu. Ibaratnya mereka itu air dan minyak, atau malah bensin dan api. Kalau sedang bersama kerjanya berantem dan bisa sampai pukul-pukulan.
Entah siapa yang salah, entah siapa yang memulai, entah siapa yang agresif – hanya rumput yang bergoyang yang tahu jawabannya. Itulah mengapa akhirnya ada keputusan untuk SELALU memisahkan mereka di jam bermain di sekolah. Untuk mengurangi kemungkinan terburuk di mana mereka akan menyakiti satu sama lain.
Sebenarnya sih keputusannya sudah bagus. Yang tidak bagus (menurut saya), adalah tendensi ibu-ibu lain yang seneeeeng banget membahas soal Ba, Bu, dan beberapa nama lain yang dianggap sebagai anak-anak paling pittig (pedes seperti cabe rawit, red.) di sekolah.
Membahas mereka tentu saja tidak salah. Tapi jangan terus-menerus. Karena lama-lama, image anak-anak ini jadi rusak juga di dalam persepsi kami masing-masing. Hal ini lah yang membuat saya merasa nggak tahaaaaaaaaaaaaan bekerja di sana dan akhirnya sebulan ini memutuskan untuk cuti besar untuk mungkin tidak akan pernah kembali lagi.
Perempuan tidak ada titiknya
Mungkin karena tempat saya bekerja ini isinya ibu-ibu semua, jadinya