No Screen Time is Scream Time?

Hallo semua! Tema Tantangan Menulis KLIP minggu ini (minggu ke-23 tahun 2021) adalah “Tips mengatasi kecanduan gadget pada anak”. Mungkin ada yang penasaran; mbak, seneng amat ikutan tantangan mingguan KLIP. Iya dong! Dipikir-pikir, kalau pengurus KLIP buka tantangan menulis setiap minggunya, berarti ada minimal 50 topik diluncurkan dalam setahun yang bisa kita pakai untuk tema menulis. Wow, lima puluh kali menulis tanpa lelah berpikir harus menulis tentang apa. Baik kan, ibu2 pengurus KLIP kita?❤

Balik lagi soal tema minggu ini, buat saya tema ini sangat kontekstual dalam kehidupan sehari-hari kita. Siapa sih yang bisa hidup tanpa gadget? Selain pangan, sandang, papan, nyatanya kebutuhan utama hidup kita sudah berevolusi menjadi pangan, sandang, papan, dan wifi. Bukan hanya anak-anak kita yang kecanduan gadget – jika kita mau jujur menerawang sampai hati yang paling dalam, nyatanya hampir semua kita para ibu tidak dapat hidup tanpa gadget.

Tentu saja, sebagai orang dewasa kita sudah memiliki cukup pengertian dan kemampuan untuk mengevaluasi; seberapa kita tergantung pada sesuatu dan apa yang menjadi dampaknya. Tetapi anak-anak masih butuh dibimbing supaya dapat mengendalikan diri mereka.

Karena itulah saya mencoba berbagi kiat yang kira-kira kami praktekkan di dalam keluarga kami di sini. Sebagai bayangan untuk pembanding, saya memiliki dua anak, laki-laki berumur 9 tahun, dan perempuan umur 7 tahun. Semua yang saya bagikan di sini bisa jadi tidak applicable untuk keluarga lainnya. Tapi semoga tetap ada gunanya ya!

NKOTB

Untuk para ibu berusia lawas seperti saya, pasti pernah dengar boyband New Kids on The Block alias NKOTB. Para pembaca yang masih belia tidak perlu sedih kalau tidak kenal NKOTB. Karena saya tidak mau membahas mereka, hanya mau meminjam nama mereka saja untuk mempermudah menyingkat point-point berikut: Niat, Keterlibatan, Otoritas, Timing, Belajar (Bersama).

Niat

Semua berawal dari niat. Begitu juga dalam menanggapi masalah gadget ini, hal pertama yang harus kita miliki adalah niat dalam melakukan tindakannya. Tidak dipungkiri, gadget adalah penolong utama dalam menjadi orangtua. Dikala kita sedang bete, capek, sibuk, atau sakit, gadget memberi anak keasyikan dan kesibukan sehingga kita bisa punya waktu untuk diri kita sendiri atau menyelesaikan pekerjaan.

Tapi kita juga harus jujur mengakui, gadget ini juga punya potensi besar untuk menimbulkan masalah. Si sulung saya sangat emosional dan sensitif dibandingkan adiknya. Setiap kali dia terlalu banyak main game, dia jadi cepat marah. Screen time yang tadinya tampak innocent dan indah, bila dibiarkan terlalu lama sering sekali menjadi scream time. Menyadari hal ini, saya berembuk dengan suami untuk bisa bersama-sama memberikan batas yang jelas untuk anak.

Termasuk dalam kategori NIAT ini, kita sebagai orangtua juga perlu memberikan contoh untuk anak-anak. Apakah mereka juga selalu melihat kita tanpa henti dengan gadget di tangan kita? Seperti peribahasa “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, anak-anak melihat kepada kita, dan meniru segala tindakan kita. Jadi, kalau kita mau anak-anak baca buku lebih banyak daripada bermain gadget, itu artinya kita harus lebih sering kelihatan baca buku dibanding baca Facebook.

NIAT yang bulat juga menjadi modal untuk konsisten dalam melakukan penertiban gadget. Tanpa niat kita tidak bisa konsisten – dan tanpa konsistensi sudah hampir pasti misi ini gagal sebelum launching.

Mungkin anda tertawa membaca ini, tapi saya menyarankan kita semua berdoa sebelum mulai misi ini agar niat nya bulat sempurna.

Keterlibatan

Sebenarnya, alasan awal anak senang menghabiskan waktu dengan memakai gadget hanya satu: mereka ingin main dengan kita orang tua tapi tidak bisa. Hampir semua anak lebih suka main bersama seseorang dibanding main sendirian. Karena itu, salah satu cara untuk membantu anak melepaskan gadgetnya adalah dengan memperbesar keterlibatan kita di dalam keseharian mereka.

Mana ada sih orang tua yang tidak terlibat? Wong mereka dibesarkan oleh kita, dibiayai oleh kita, dikasih makan oleh kita. Iya sih, tapi maksud saya di sini adalah benar-benar spending time together, masuk ke dalam dunia mereka. Bukan hanya memberi instruksi lalu lari. 

Hal-hal yang biasa kami lakukan di sini untuk mengalihkan perhatian anak-anak dari gadget adalah mengajak bermain keluar – ke museum, ke taman atau membawa berenang. Sejak corona menancapkan kukunya, kami hanya bisa beraktivitas di rumah atau di luar (asal outdoor). Terkadang saya memaksa anak-anak bangkit dan ikut saya jalan ke hutan di sebelah rumah, atau bermain bersama di rumah: puzzle, lego, dan sebagainya.

Jurus andalan saya kalau bermain pun tidak tampak menarik adalah menyuruh mereka bekerja. Dengan iming-iming 10 atau 25 Euro sen setiap pekerjaan, anak-anak membantu di dapur, memotong sayur kecil-kecil atau mencuci beras. Melipat baju dalam dan kaus kaki, vacuum lantai dan menjemur baju juga menjadi pilihan untuk mengajak berhenti main handphone. Tentunya mereka tadinya malas dan tidak antusias, tapi asal saya ikut bekerja dengan mereka, biasanya mereka segera lupa dengan urusan gadgetnya.

Anak-anak juga senang kalau saya ajak baca buku bersama. Kami meninggalkan semua handphone, masuk kamar dan duduk di tempat tidur dengan 2 atau 3 pilihan buku dari mereka.

Otoritas

Otoritas hanya bisa ditegakkan setelah kita memberikan waktu dan hati terlibat dengan anak-anak kita. Otoritas tanpa keterlibatan adalah seperti disiplin tanpa cinta. Anak-anak perlu tahu kalau kita mengatur pemakaian gadget untuk kebaikan mereka dan karena kita mengasihi mereka. Karena itu saya taruh point otoritas setelah keterlibatan.

Sebenarnya, mana ada sih anak yang bisa mulai main gadget kalau tidak diberikan oleh orangtuanya? Pasti dong, awalnya orangtua yang secara inisiatif memberikan gadget untuk dimainkan anak dengan tujuan supaya mereka senang, atau bisa tenang dan lain-lain. Dengan logika yang sama, harus kita juga orangtua yang mengambil atau menahan pemakaian gadget pada anak.

Di rumah kami, tidak ada gadget milik anak. Semua gadget adalah milik mama papa. Tidak ada ‘handphone abang’, atau ‘tablet adek’. Dengan begini, anak-anak harus meminta izin kalau mau memakai gadget, “Ma, boleh aku pinjam handphone mama?”

Aturan lainnya adalah tidak ada gadget selama perjalanan. Anak-anak hanya boleh baca buku selama di mobil. Atau tidak boleh pakai gadget selama menunggu makanan di restaurant. Dan tidak ada gadget di meja makan.

We zijn de baas – we are the boss, begitu selalu ucap saya pada anak-anak saya. Sambil memberi pengertian kenapa mereka harus menurut pada kami orangtua yang bertanggung jawab untuk membesarkan dan mendidik mereka, anak-anak belajar untuk ikut aturan, termasuk soal gadget.

Timing

Di dalam prakteknya, otoritas kami sebagai orangtua diwujudkan dalam bentuk memberikan batas waktu untuk anak-anak bermain gadget. Misalnya mereka hanya boleh main game di hari Sabtu dan Minggu.

Di rumah kami anak-anak masih boleh menonton Youtube di televisi. Biasanya pulang sekolah mereka nonton sebentar, atau di saat makan siang mereka boleh makan roti di ruang tengah sambil menonton. Si sulung juga suka pakai handphone saya untuk melihat tutorial piano. Untuk hal-hal itu kami tidak terlalu kaku. Metode yang saya pakai adalah memakai TIMER untuk membatasi pemakaian gadget non game ini. Misalnya saya bilang, “OK, kamu boleh nonton 30 menit. Mama pasang timer di dapur ya.” Lalu 5 menit sebelum timer berbunyi saya sudah memberikan peringatan supaya mereka tidak protes kalau disuruh berhenti.

Belajar (bersama)

Ingin sekali saya bercerita bahwa keluarga kami adalah keluarga pembaca buku, anti gadget, dengan anak-anak yang patuh dan tertib pada mama dan papanya. Tetapi dalam kenyataannya, seperti dalam perihal lainnya, urusan menertibkan gadget ini adalah proses yang naik turun dan jatuh bangun di dalam keluarga kami.

“We speak of educating our children. Do we know that our children also educate us?” ujar Lydia Sigourney, seorang penulis dari Amerika. Tidak orangtua yang begitu lahir langsung jadi orangtua. Anak harus belajar untuk menjadi anak, dan orangtua perlu belajar untuk menjadi orangtua. Tidak perlu terlalu resah dan gelisah kalau tidak bisa langsung dalam sehari membuat anak-anak tertib dalam memakai gadget. Kalau metode A gagal, besok dicoba lagi. Kalau terus gagal, coba metode B, dan seterusnya.

Kita bisa juga bersama-sama dengan anak merumuskan bagaimana dan berapa lama waktu yang ideal untuk menggunakan gadget. Dengan melibatkan anak-anak, proyek tertib pakai gadget bisa menjadi proyek bersama dimana baik orangtua dan anak-anak sama-sama belajar mengatur diri. Tentu saja sambil menekankan bahwa otoritas tetap ada di tangan orangtua ya. Tapi intinya, proses ini adalah proses belajar bersama.

Kembali kita perlu membulatkan niat dan tekad, jangan menyerah demi kebaikan anak-anak tersayang. Salam semangat untuk semua ibu yang berjuang  ❤


5 Thoughts on “No Screen Time is Scream Time?

  1. Bisa aja bikin singkatan NKOTB nya, jadi lebih gampang diingat juga. Semoga berhasil ya dengan usaha membatasi screen ke anak. Aku sih masih…. jatuh bangun dalam hal ini, hehhe…

  2. Jleb nyes banget baca ini. Anakku gak pakai gadget, dan kalau pakai hp ku aku tekankan dia pinjam. Cuma masalah dia nonton di tv skrg sepertinya harus lebih dibatasi. Mungkin hrs diberlakukan timer lagi nih

  3. wkwkwk seru deh singkatanyya NKOTB, jadi gampang ingetnya (ketahuan juga jadi umur berapa hhi).
    aku juga kemarin di usia anak 20 bulan baru serius no gadget di rumah mba karena anak menunjukkan speech delay. Alhamdulillah 2 bulan setelah no gadget, langsung kekejar target jumlah kosakata sesuai milestone usianya. baca tulisan mba jadi ingat masa-masa mulai disipilinin ga pakai gadget, dan semua poin yang mba share relatable banget :’)

  4. Huaa tertohok banget aku baca ini, Teh. Screen time TV masih belum terkontrol nih karena akunya terlalu nyaman bisa ngapa-ngapain pas dia nonton kartun. Huhu. Hatur nuhun pengingat dan tipsnya yaa Teh.
    “Tidak orangtua yang begitu lahir langsung jadi orangtua. Anak harus belajar untuk menjadi anak, dan orangtua perlu belajar untuk menjadi orangtua.” Kalimat ini ngena banget juga sih buatku perihal keterlibatan dan otoritas, hak dan kewajiban orang tua dan anak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *