Hari ini saya ingin menulis tentang pembentukan karakter anak. Salah satu karakter anak menurut saya sangat penting adalah kemampuan untuk tanggap akan situasi di sekitarnya, serta kesigapan untuk mengulurkan tangan dan memberikan pertolongan bagi yang membutuhkan.
Si dia yang ringan tangan dan cekatan
Table of Contents
Tidak bisa saya lupakan, suatu malam di kampus tercinta di Bandung. Kami baru saja selesai mengadakan suatu acara di gedung jurusan di kampus saya. Setelah semua selesai, semua orang berdiri dan bersiap untuk pulang. Sebagian masih berdiri di ruangan dan mengobrol, dan sebagian kecil mulai menggulung tikar dan menyapu ruangan.
Setahu saya tidak ada pengurus atau panitia dalam acara ini. Perhatian saya tertuju pada seorang teman pria, sebut saja B. B segera dengan sigap ikut menggulung tikar dan memindah-mindahkan barang-barang ke tempatnya semula. Sudah lama saya perhatikan si B ini, di setiap acara – baik dia adalah anggota panitia atau bukan, B selalu sigap membantu siapapun yang sedang bekerja.
B tidak pernah terlalu banyak omong, tapi dalam kekalemannya, dia selalu ‘reliable’, dapat diandalkan. Di hari-hari terakhir sebelum sidang akhir saya, B pun datang ke rumah dan ikut begadang menyelesaikan maket saya. Padahal dia bukan maketornya lho.
Jujur hati saya meleleh melihat pria macam si B ini. Di dalam hati saya bergumam, ingin rasanya memiliki pendamping yang ringan tangan (bukan ringan tangan untuk memukul ya, hehehe) dan tidak segan membantu siapa yang memerlukan.
Manfaat anak yang tanggap
Selepas saya lulus, saya bekerja di sebuah konsultan kecil milik seorang dosen. Karyawannya hanya dua, saya dan si Y, seorang anak perempuan pejabat BUMN di Bandung. Suatu hari sewaktu kami berdiskusi, ibu dosen berkata, “Ada pensil yang bisa saya pakai untuk sketsa?”
Si bodoh dan si bungsu yang manja (yaitu saya) menjawab simple, “Gak ada, bu.” Sementara si P yang secara logika mestinya punya banyak dayang-dayang di rumahnya dengan sigap mencari pensil di meja yang lain dan menyerahkannya kepada si Ibu.
Dari pengalaman tersebut (dan banyak kejadian berikutnya), saya menyadari kalau saya tidak dididik untuk menjadi tanggap akan kebutuhan orang lain. Saya mulai bisa melihat pentingnya seorang anak mendapatkan pendidikan untuk bisa tanggap dalam memberikan pertolongan. Untuk melihat dirinya sebagai bagian dari sebuah pekerjaan, bukan hanya sebagai penerima, penikmat, atau penonton belaka. Anak perlu memiliki hati yang tergerak untuk ikut berperan.
Cara mendidik anak gemar menolong
Setelah menjadi orangtua, ternyata keinginan dan harapan saya memiliki pendamping yang cekatan dan anak yang turut berperan tidak langsung terwujud. Saya harus menerima kenyataan kalau ternyata jodoh yang saya dapat (bukan si B, ya) ternyata dididik di keluarga yang setali tiga uang dengan saya. Kami berdua miskin inisiatif, sebagai akibat dari orangtua yang lebih banyak menyuruh anaknya fokus di pelajaran dan tidak melibatkan di dalam pekerjaan di rumah.
Semua dimulai di rumah
Banyak orang tua berharap kalau sekolah bisa menjadi tempat anak-anak mendapatkan pendidikan, baik dalam bidang akademis, agama, dan moralitas. Orangtua sibuk mencari sekolah terbaik untuk menjamin anak mendapatkan bimbingan dan disiplin yang bisa membentuk mereka menjadi manusia dewasa yang bertanggungjawab. Tapi kita lupa: semua dimulai di rumah.
Sebagai orangtua, kita harus menjadi panutan bagi anak bagaimana kita melihat rumah sebagai tanggungjawab bersama. Ini adalah tantangan yang tidak mudah, terutama kalau kita memiliki asisten rumah tangga. Membereskan rumah? Lho, itu kan tugasnya si Mbak. Tinggal panggil saja untuk bereskan ini, ambilkan itu.
Atau si Papa yang pulang dari kantor dan melihat rumah centang perenang, semetara si Mama sedang sibuk membujuk anak biar cepat makan. Apakah si Papa akan turun tangan? Atau dia pikir semua itu kan tugasnya Mama, soalnya Mama yang di rumah?
Harus kita ingat, anak-anak melihat dan berkaca kepada kehidupan kita. Dia tidak melihat pada Mbak Siti yang rajin bekerja di dapur, lalu ingin mencontohnya. Dia akan berkaca kepada Mamanya, apakah Mama suka panggil-panggil Mbak untuk segala sesuatu. Atau apakah Papa diam saja menonton TV waktu Mama membutuhkan Papa?
Begitu juga sewaktu ada yang sakit, atau sedih dan menangis, apakah Papa dan Mama tanggap untuk menghibur? Atau diam saja tetap sibuk dalam kegiatan masing-masing.
Melibatkan anak
Rumah ini rumah kita bersama, jadi kita kerjakan semua bersama. Tidak bosan-bosan saya katakan hal ini pada anak-anak saya yang baru lulus menjadi balita. Selama mereka masih kecil memang banyak hal yang saya kerjakan sendiri. Tetapi sewaktu mereka sudah mulai bisa membantu, saya harus mulai melibatkan mereka.
Yang mereka kerjakan adalah hal-hal yang kecil seperti membereskan mainan, menyusun barang belanjaan, menyusun piring di meja makan, melipat baju dalam. Dengan melibatkan mereka saya berharap mereka semakin terampil dan semakin merasa bahwa pekerjaan adalah bagian yang normal dalam keseharian mereka.
Pujian dan dorongan
Anak-anak suka menerima pujian. Kadang kita berpikir bahwa anak itu egois dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Tetapi sebenarnya anak-anak senang dan merasa bangga bila bisa membuat orangtuanya bahagia dan bangga. Pujian dan pengakuan dari kita memberikan dorongan dan membentuk karakternya.
Dalam sebuah kuliah Coursera “Everyday Parenting: The ABCs of Child Rearing,” Dr. Alan Kazdin dari Universitas Yale membagikan sebuah metode memuji anak sebagai berikut; Bila anak anda baru saja melakukan sesuatu yang baik, berikan pujian dengan nada yang gembira, katakan dengan jelas, “Saya senang kamu bisa membereskan mainan seperti yang saya minta,” sambil melakukan kontak fisik ringan seperti menepuk bahunya. Atau ketika mereka semua ikut membantu membereskan rumah, beri pujian seperti, “Wah, karena kamu membantu, semua beres dalam waktu sangat singkat ya!”
Pujian seperti ini berlaku sebagai suatu konfirmasi bagi anak untuk melanjutkan pekerjaan baiknya. Ketika anak kita mulai berbagian dalam mengerjakan pekerjaan rumah, atau ketika si abang tanggap membantu adiknya berdiri waktu si adik baru terjatuh, pastikan bahwa kita menyaksikan kebaikannya, dan berikan dia pujian untuk perbuatannya.
Beri contoh kasus
Anak-anak masih perlu dibantu untuk bisa peka dan tanggap terhadap situasi. Kita bisa membantu mereka mengembangkan kemampuan ini dengan cara memberikan dia ‘kasus’ untuk diselesaikan. Misalnya adik mulai rewel karena kewalahan membereskan mainannya sementara si abang sudah selesai beres-beres. Encourage si abang untuk sedikit membantu si adik agar cepat selesai.
Atau Papa sedang buru-buru mau berangkat dan lupa menaruh handphonenya di mana, anak-anak yang sedang sibuk main game saya ajak untuk bersama-sama mencari handphone Papa.
Bila di sekolah atau di lingkungan di luar rumah ada kenalan yang sakit, saya sering memasak untuk mereka dan memberi tahu kepada anak apa yang sedang saya kerjakan. Bisa juga mereka diajak membuat gambar atau kartu untuk orang tersebut. Sambil saya ceritakan kenapa kita perlu membantu sesama – dan kadang menerima bantuan dari orang lain juga.
Kapankah kita perlu mulai mengajarkan prinsip ini pada anak?
Mulai sejak kecil
Sejujurnya, saya tidak suka anak-anak membantu saya bekerja. Pekerjaan malah jadi panjang! Acara masak yang seharusnya cepat menjadi molor karena dua anak kecil ini lambat sekali memotong sayurnya. Pakaian yang selalu saya jemur rapi jadi kusut dan berkerut kalau si bungsu yang bertugas menjemurnya. Ingin rasanya saya ambil alih semua, tapi saya sadar – jangan sampai seperti Mamanya yang terlambat belajar untuk tanggap, anak-anak ini perlu belajar terlibat!
Meskipun waktu yang diperlukan menjadi lebih lama, tapi dibandingkan melihat mereka sibuk main game selama saya sibuk masak, saya pikir lebih baik mereka ikut bekerja. Jadi mereka tidak berpikir bahwa itu kondisi ini adalah normal: Mama sibuk beres-beres, saya bisa main game saja. Tidaaaaak! Itulah sumber masalah di kemudian hari – orang dewasa yang tidak tanggap dengan kebutuhan sekitarnya dimulai dari anak-anak yang terima semua beres saja.
Setiap hari, dan bukan sekedar ceremony setahun sekali
Ada beberapa orangtua yang juga mencoba menumbuhkan jiwa menolong pada anak dengan misalnya merayakan hari ulang tahun di panti asuhan. Bagus-bagus saja cara begini. Tetapi sebagaimana layaknya setiap proses belajar, mengajarkan anak punya jiwa menolong itu juga harus dilakukan setiap hari. Harus diulang terus, sampai hal itu menjadi sebuah kebiasaan dan nature di dalam diri anak.
Ucapkan dan perkatakan
Seperti layaknya belajar di sekolah, perilaku juga diajarkan dengan memberikan teori, dan melakukan praktek. Kita sering bingung, harus memberi teori dari mana nih? Dan bagaimana cara menyampaikannya kepada anak?
Beri pondasi dari Kitab Suci
Prinsip-prinsip yang paling penting di dalam kehidupan, termasuk soal menolong orang lain saya dapatkan di dalam Alkitab. Meskipun anak-anak masih kecil dan belum bisa belajar sendiri, kita bisa memperkatakan pengajaran yang baik yang berasal dari Kitab Suci.
Di saat makan pagi, saya sering membacakan kitab Amsal yang isinya adalah nasehat-nasehat kehidupan. Anak-anak makan sambil mendengarkan, dan juga kadang berdiskusi tentang apa arti nasehat-nasehat tersebut dan apa aplikasinya.
Nasehat dan mengingatkan
Di dalam prakteknya, sewaktu kita sedang mendorong anak untuk ikut bekerja atau membantu, selipkan juga nasehat dan kalimat-kalimat mutiara ini. Misalnya sambil membujuk anak untuk ikut membantu, saya mengatakan, “Kalau kita mampu, kita harus kasih bantuan kepada orang yang sedang butuh, jangan ditahan-tahan.” (terjemahan bebas dari Amsal 3: 27). Kita bisa mengatakan ini sambil memberitahu ayatnya dari mana, atau ya tidak perlu mencantumkan ayatnya kalau tidak sedang ingin kelihatan berkhotbah *:D**
Selain itu, ada banyak juga peribahasa yang kita bisa perkatakan pada anak sewaktu memberi nasehat. Satu hal yang menarik di drama Korea, mereka sering juga menggunakan peribahasa dalam berbicara satu sama lain. Ini juga bisa lakukan lho di keseharian kita.
Penutup dan kesimpulan
Apa hubungannya tangkas bekerja dan suka menolong?
Hehe, tulisan ini seperti memiliki dua tema yang agak nyambung tapi tidak juga ya. Seperti tertulis di atas, menolong orang lain bukanlah perihal ceremonial, yang hanya kita lakukan kalau kita sedang bahagia, sedang merayakan sesuatu.
Tidak semua orang bisa menjadi seorang dermawan seperti Bill Gates yang menyumbangkan uangnya untuk banyak organisasi. Kebanyakan dari kita menolong orang lain tidak melalui materi, tetapi melalui perbuatan, sikap dan perkataan.
Orang yang tangkas dan sigap dan merasa dirinya adalah bagian dari sebuah komunitas, dan bahwa beban dan pekerjaan komunitas itu adalah miliknya juga – orang semacam ini tidak akan segan turun tangan dan memberikan bantuan bila diperlukan.
Sebaliknya orang dewasa yang tidak tangkas dan semasa kecilnya jarang terlibat akan segan membantu karena merasa:
- Saya tidak tahu bagaimana cara melakukannya, dan atau
- Itu bukan urusan saya, jadi saya tidak perlu ikut turun tangan.
Jadi, sangat penting untuk menggabungkan kedua hal ini dalam mengajarkan anak supaya suka menolong: mereka harus tangkas dan sigap bekerja, dan mereka punya keterlibatan dan peran di dalam lingkungan mereka. Dan sekali lagi, semua dimulai di rumah. Bila di rumah mereka sudah terbiasa ringan tangan dalam membantu, semoga ke depannya di luar mereka pun tidak segan turun tangan memberikan bantuan.
Harapan dan semangat
Tidak mudah menjadi orangtua. Jangankan mendidik anak untuk tangkas dan tanggap, saya sebagai orang dewasa pun terlambat mempelajari kemampuan ini. Tapi seperti kata pepatah, tidak ada kata terlambat untuk belajar.
Tetapi kita harus ingat, karakter yang ingin kita tanamkan kepada anak, harus lebih dahulu kita pelajari. Jangan membebankan kepada anak bahwa mereka harus sigap dan tanggap dan suka menolong, kalau kita sebagai orangtua pun masih lembam.
Meskipun tugas ini berat, kita harus terus semangat. Semangat memperbaiki diri, dan semangat menanamkan karakter yang baik pada anak *heart*