Merasa Cukup, Menahan Diri dan Membayar Harga

Di bulan Agustus ini, dalam rangka memperingati hari kemerdekaan RI, kami para Mamah MGN ditantang untuk merumuskan sebuah konsep kemerdekaan. Bertema ‘Budayakan hidup tanpa bajakan’, saya berharap bisa berbagi pemikiran di dalam usaha untuk merdeka dari kebutuhan untuk memakai produk bajakan.

Bagi saya tema ini sulit untuk dieksekusi – bahkan cenderung depressing. Butuh kejujuran pada diri sendiri untuk bisa membuat tulisan ini. Saya butuh jujur kepada diri sendiri untuk masuk ke dalam inti yang paling dalam tentang apa itu membajak, dan mengapa saya melakukannya.

Tulisan ini adalah renungan pribadi saya, yang semoga bisa tetap dinikmati lengkap dengan tikungan-tikungannya yang tajam.

Arti membajak yang sesungguhnya

Pirate (verb) atau membajak di dalam bahasa Inggris memiliki setidaknya dua arti: 1. rob or plunder (a ship), 2. Use or reproduce (another’s work) for profit without permission, usually in contravention or copyright.

Dari dua arti di atas ini, kita bisa menyimpulkan kalau membajak itu sama dengan mencuri, atau merebut milik orang lain. Wah, mengerikan ya. Kalau pakai kata ‘bajakan’, rasanya tidak terlalu nyesss. Tapi kalau pakai istilah ‘curian’, aduh seram banget.

Membajak itu sama dengan mencuri lho. Serem ya! (Image courtesy: Wikihow)

Coba bandingkan: “aku kemarin ketemu buku pdf gratis di blablabla.com”, dengan “kamu tahu gak, dompet ini aku curi di factory outlet lho.” Terdengar beda, tapi sebenarnya sama saja artinya, bukan?

Toko serba ada

Kita hidup di dalam peradaban di mana kita memiliki banyak pilihan. Semua mudah didapat, atau bahkan (bila tahu caranya) bisa diperoleh dengan cuma-cuma. Internet menawarkan kita akses ke jutaan sumber informasi, hiburan, dan data. Bagaikan toko serba ada, kita tidak perlu lagi menyebrang benua untuk memperoleh sesuatu. Tinggal click and download, atau click and pay, apa yang kita inginkan bisa menjadi milik kita.

1 miliar result untuk mencari free ebook, wow!

Seperti seseorang yang pergi ke ‘dollar store’; toko yang menjual segala rupa dengan harga satu dollar saja, kita dihadapkan kepada banyak tawaran, dan juga godaan untuk membeli atau mengambil sesuatu yang bahkan sebenarnya tidak kita perlukan.

Tetapi tentu saja, siapa yang banyak berbelanja, harus banyak membayar. Di sinilah muncul sebuah pertanyaan: untuk apa bayar penuh harga, kalau bisa membeli dengan lebih murah? Atau: untuk apa membayar, bila bisa gratis?

Mengapa perlu mencuri

Mengapa orang perlu mencuri? Mengapa kita merasa perlu mencuri?

Sebagian orang mencuri karena kebutuhan. Mencuri untuk survival – kalau tidak mencuri mungkin saya mati kelaparan. Beberapa pencurian (yang berupa pembajakan) terjadi karena tidak ada pilihan. Seorang mahasiswa yang perlu belajar dari textbook yang harganya ratusan ribu rupiah atau jutaan – terkadang hanya punya satu pilihan: beli versi fotokopi-an.

Mencuri untuk survival tetap tidak dibenarkan, tapi toh kadang kenyataan hidup memaksa orang melakukannya. Puji Tuhan, saat ini saya tidak perlu mencuri untuk bisa makan. Saya hidup dalam kecukupan – bahkan lebih dari sekedar cukup, meskipun belum sampai taraf kemewahan.

Namun, sering saya merasa perlu “mencuri”. Untuk saya, godaan terbesar untuk dilakukan adalah dalam hal mencari produk bajakan adalah: nonton drakor gratis, cari ebook gratis, dan cari partitur piano gratis di internet.

Kindle book yang harganya berkisar 10 sampai 15 Euro, atau buku piano yang satunya berharga 20 Euro lalu bisa diunduh di blablabla.com secara gratis – wow, mana tahan! Pasti dong jangan dilewatkan.

Mengeluarkan 20 Euro satu kali itu yaaaaa tidak terlalu masalah. Tapi kalau mau membeli 10 buku dan harus mengeluarkan 150 Euro? Ya itu terasa berat juga dong. Di situlah saya terkadang merasa perlu mencari versi bajakannya.

Jangan mencuri

Semua hal ini tampak sepele dan bahkan innocent, sampai suatu sore saya dipaksa untuk mempertimbangkan hal ini sewaktu sedang lari sore ditemani sebuah khotbah dengan judul “Jangan Mencuri”. 

Perintah ke 8 dari Hukum Taurat: Jangan mencuri! (Image courtesy: learnreligions.com)

Sang pendeta menjelaskan kalau mencuri itu tidak terbatas pada pencurian yang obvious seperti orang mencuri ayam atau merampok rumah orang. Menggunakan produk bajakan, bermalas-malasan (mencuri waktu), dan memakai sumber daya alam secara tidak bijaksana juga sebenarnya adalah bentuk pencurian. Alasannya? Karena kita memakai barang yang sebenarnya merupakan hak orang lain tanpa izin untuk kepentingan diri sendiri.

Rasanya tuing tuing banget mendengar khotbahnya. Lari sore seketika berubah menjadi ajang menginterogasi diri tentang apa sih sebenarnya yang mendorong saya merasa perlu mencari buku piano bajakan. Jawabannya jelas karena buku piano itu mahal. Tapi toh saya sebenarnya bisa menyisihkan uang untuk membelinya?

Merasa perlu mencuri karena kuatir

Dari perenungan saya, saya mencoba membuat urutan seluruh alasan kenapa saya merasa perlu menggunakan produk bajakan:

  1. Saya sering merasa perlu mencari versi gratisan karena merasa sayang mengeluarkan uang dengan jumlah cukup besar.
  2. Saya harus mengeluarkan uang banyak karena saya mau membeli banyak buku. Saya merasa tidak cukup dengan buku-buku yang saya punya saat ini. Tidak puas dengan koleksi partitur piano di rumah.
  3. Saya ingin membeli lebih karena kuatir kekurangan. Saya merasa sayang mengeluarkan uang untuk membeli lebih karena merasa kuatir mungkin di masa depan tabungan saya tidak akan cukup untuk membayar keperluan keluarga.

Apa alasan sebenarnya di balik kekuatiran kita? Kuatir timbul ketika ada rasa kurang percaya. Saya kuatir untuk membiarkan anak-anak bermain di luar tanpa pengawasan karena saya belum percaya mereka bisa menjaga diri sendiri dengan baik. Sama seperti itu, sebenarnya di saat saya kuatir tabungan saya berkurang karena harus mengeluarkan uang banyak untuk membeli buku dengan harga asli – saya sebenarnya sedang kurang percaya bahwa Tuhan sanggup memelihara hidup saya.

Kuatir timbul ketika ada rasa kurang percaya

Tuing tuing untuk kedua kalinya. Inilah alasan dasar kenapa saya selama ini (belum lama sih, baru setahun terakhir kepikiran untuk melakukannya) mencari buku piano gratisan. First, saya tidak merasa cukup dengan apa yang saya punya. Second, karena saya tidak percaya bahwa Tuhan bisa memelihara kehidupan saya meskipun saya harus mengeluarkan uang beberapa ratus Euro untuk membeli buku-buku yang saya inginkan.

Berbalik arah

Sejak sore itu saya gelisah. Koleksi download buku-buku piano di Google Drive tidak terasa lagi sebagai harta karun. Rasanya mereka seperti jari-jari yang menunjuk kepada saya dan berkata, “Hellow mevrouw, you’re actually stealing someone’s property.”

Saya seperti dipaksa untuk berpikir dan memutuskan, apa prinsip saya dalam soal memakai barang bajakan ini. Berikut adalah langkah-langkah yang akhirnya saya ambil untuk mendisiplin diri saya ‘berhenti mencuri’:

Merasa cukup

Langkah pertama yang harus dilakukan untuk berhenti berbelanja (yang membutuhkan uang) ataupun mencari barang gratisan adalah mengevaluasi sebenarnya berapa besar kebutuhan kita akan barang tersebut.

Orang yang suka membaca buku seakan tidak pernah puas untuk membeli buku. Setiap ada pameran buku, sekaligus 20 buku diborong. Padahal pertanyaannya, apakah benar dibaca atau sekedar hanya untuk pemanis lemari di ujung kamar?

Pernah ada yang bertanya seperti apa koleksi kain saya yang katanya 2000 meter. Ini yang sudah disusun, yang belum disusun dan masih di dalam boxes mungkin ada 3 atau 4 kali lipat lebih banyak dari ini. Kenapa begitu banyak? Karena ternyata saya susah merasa cukup.

Setiap saya browsing partitur piano, rasanya ingin dan ingin punya lebih banyak lagi. Padahal dengan koleksi buku piano yang saya punya sekarang, kalau semua lagu dilatih sampai bisa dimainkan secara sempurna, mungkin butuh 20 tahun untuk bisa menguasai semua lagunya.

Merasa cukup itu adalah sebuah usaha sadar untuk menaruh batas pada keinginan kita, mengakui keterbatasan kita dalam mengkonsumsi sesuatu, dan juga sebagai bentuk rasa syukur kita untuk anugerah Tuhan yang diberikan sesuai dengan ukuran-Nya pada kita sampai saat ini.

Menahan diri

Setelah merasa cukup, kita bisa maju kepada langkah selanjutnya: menahan diri. Untuk para pecinta KonMari, saya rasa salah satu rahasia yang bisa membuat rumah tetap rapi adalah kemampuan untuk menahan diri dari membeli barang-barang yang ternyata tidak akan dipakai dan hanya akan memenuhi ruangan.

Menahan diri adalah bentuk kedisiplinan, kesadaran bahwa tidak semua perlu untuk dimiliki – seperti kata pepatah: Cinta tidak selalu harus memiliki, hihihihi. Menahan diri juga adalah bentuk penghargaan kepada orang lain dan kepada bumi: bahwa ada hak-hak yang menjadi milik orang lain. 

Bila kita mengikuti impulse kita untuk membeli barang yang pada akhirnya harus kita buang karena rumah menjadi terlalu penuh, secara tidak sadar kita sedang merusak bumi dan merebut hak anak-anak kita untuk hidup di bumi yang tidak penuh sampah.

Membayar harga

Orang yang sudah bekerja keras semestinya tahu bagaimana menghargai hasil karya orang lain – yang dikerjakan dengan kerja keras. Membayar harga dengan semestinya adalah bentuk penghargaan kita terhadap si pembuat karya tersebut.

Ketika kita menjadi segan untuk membayar harga, kita sedang menyampaikan pesan: your work isn’t worth the price. Your work is not good enough to the point I have to pay for that.

Kalau saya merenungkan hal ini, lucu rasanya kalau saya tidak segan membayar 20 Euro untuk setengah jam les piano (segan sih, tapi gak bisa gak bayar karena orangnya ada di depan mata). Tetapi di saat yang sama saya segan membayar 20 Euro untuk sebuah buku piano yang isinya berbelas-belas lagu yang bahkan satu bulan belum tuntas dimainkan. Tidak segan untuk mencari gratisannya, karena saya tidak kenal siapa penulisnya, dan orangnya tidak ada di depan mata.

Membayar guru piano “tidak susah” karena orangnya ada di depan mata. Kenapa lalu membayar buku piano rasanya tidak rela?

Kita membayar sesuatu karena itu adalah sebuah hak yang harus diterima si pembuat karya – baik dia di depan mata kita atau tidak.

Beberapa tips praktis untuk ‘berhemat’ meskipun tidak membajak

Setelah berbagi beberapa prinsip di atas, saya ingin juga berbagi tips yang sifatnya practical untuk tetap bisa menikmati hidup, tanpa merasa perlu mencuri.

  1. Suka menonton drama Korea? Sepupu saya secara lengkap menuliskan bagaimana cara bisa tetap menonton drakor secara legal di sini.
  2. Berburu di toko barang bekas, atau website 2nd hand seperti Ebay, Facebook Marketplace dan semacamnya. Suka barang bermerek, pakaian, buku, dan lain-lain tapi gak mau bayar penuh? Cari versi 2nd hand-nya. Banyak orang yang sudah selesai membaca buku dan tidak perlu lagi menyimpannya di rumah, lalu menjualnya dengan harga miring, atau bahkan gratis. Rajin-rajin saja jalan-jalan atau melihat-lihat website. Banyak harta karun yang tersimpan di sana.
  3. Ebook gratis yang legal. Beberapa website menyediakan ebook gratis secara legal, seperti Project Gutenberg, Internet Archive, Ipusnas (Perpustakaan Nasional Indonesia). Atau Amazon juga selalu punya koleksi kindle books gratis.
  4. Membaca sample buku sebelum membeli. Nah ini tips yang tidak 100 persen jujur *tutup mata*. Amazon atau Google Play Books biasanya memberikan sample gratis buku-buku yang mereka jual, supaya kita bisa membaca sedikit sebelum membeli. Tetapi tidak semua buku ada sample-nya, atau misalnya buku piano terkadang tidak bisa dilihat sama sekali isinya seperti apa. Karena saya belum sekelas Elon Musk yang mengedipkan mata saja sudah bertambah tabungannya di bank, saya tidak bisa sekena hati membeli buku yang belum saya tahu apa isinya. Yang biasa saya lakukan adalah buku yang saya temukan di blablabla.com saya unduh, saya baca satu dua bab untuk menentukan bukunya worth buying atau tidak. Terutama untuk buku piano, untuk bisa melihat apakah isinya sesuai dengan kebutuhan saya atau tidak. Kalau ternyata tidak sesuai ya tidak dibeli versi aslinya, versi bajakannya pun di-bye bye aja. Kalau ternyata memang sesuai kebutuhan ya cari versi aslinya dan bayar harganya – versi bajakannya dihapus dari storage.

Penutup

Sekali lagi ini bukan tulisan yang gampang ditulis dan enak dibaca. Jujur itu sulit, terutama ketika tidak ada yang melihat. Tetapi semoga sekelumit tulisan ini bisa menjadi sedikit inspirasi untuk teman-teman semua yang juga sedang merenungkan tema budayakan hidup tanpa bajakan ini.

Beratnya perkataan Bapak Proklamator kita! (Gambar didapat dari Google Search, pencipta asli tidak diketahui)

Selamat merayakan hari Kemerdekaan RI yang ke-76! Semoga dengan bertambah usia negara kita, bertambah kesadaran kita untuk melindungi hak sesama kita dengan cara menghindari memakai produk bajakan.

5 Thoughts on “Merasa Cukup, Menahan Diri dan Membayar Harga

  1. Wow….kainnya banyak banyak banget Ren. Tapi bener banget sih, sesuatu yang terlalu murah itu bikin kita kurang menghargai. Dari keterbatasan, kadang malah lebih banyak dapat manfaatnya.

  2. Menahan diri ini paling susah ya. Saya nggak gampang tergoda gratisan sih thus alhamdulillah sering terhindar dari barang bajakan. Cuma urusan belanja saya masih suka nggak tahan. Terus barang lain yang dibeli mungkin juga jiplakan sih…saking sudah susahnya ngetrace produk melanggar copy right atau tidak 🙈 Nuhun ya teteh sharingnyaa.

Leave a Reply to Footnote Maker Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *