Bisa bermain piano adalah mimpi saya sejak saya kecil. Ada seorang tetangga yang bisa main piano dengan sangat baik sejak dia masih muda. Dia hanya empat tahun usianya di atas saya, tapi buat saya yang masih kelas 2 atau 3 SD sudah terlihat seperti seorang maestro.
Sayangnya kondisi finansial keluarga tidak mengizinkan saya untuk les musik. Membeli piano bagaikan membeli mobil rasanya – bahkan untuk diangankan saja terasa terlalu mahal. Harga lesnya juga tidak terjangkau.
Sang tetangga dengan baik hatinya memberikan keyboard miliknya (yang sebenarnya cukup canggih) kepada saya waktu saya mungkin SMP, tapi yaโฆ tidak ada yang mengajari dan sebenarnya saya tidak punya bakat musik jadinya si keyboard itu menganggur begitu saja.
Sewaktu saya lulus kuliah dan mulai bekerja saya pun berusaha mewujudkan mimpi masa kecil saya. Saya membeli piano elektrik dengan merek Casio dengan bantuan mencicil ke seorang teman yang membantu membelikan dengan kartu kreditnya. Kemudian ikut les kepada salah satu teman gereja.
Tidak lama kemudian saya pindah ke Singapura. Piano saya terlalu berat untuk dibawa. Akhirnya di sana saya membeli lagi sebuah piano elektrik merk Yahama dengan model portable dan tidak semahal si Casio yang di rumah.
Mengembalikan mimpi masa kecil
Table of Contents
Si piano ini saya bawa ke Belanda dengan tujuan belajar sendiri. Tapi tetap saja, 9 tahun kemudian, kemampuan saya tidak kunjung maju. Meskipun sudah bisa baca not balok dan bermain beberapa lagu singkat tapi terasa mandek dan tidak semangat untuk lanjut.
Dua tahun lalu seorang teman expat meninggalkan Belanda dan meninggalkan pianonya untuk saya beli. Akhirnya punya piano akustik! Wow, meskipun piano ini sudah sama umurnya dengan saya (salah satu hal yang membuat saya agak sentimentil), tetapi mengetuk tuts piano akustik dan mendengar suaranya sama sekali berbeda dengan bermain di piano listrik!
Tiba-tiba saja saya jadi semangat latihan. Kemampuan saya banyak meningkat dalam tahun itu. Ternyata jiwa saya merindukan bermain piano ‘beneranโ, seperti yang diimpikan sejak kecil.
Si sulung berkenalan dengan piano
Butuh waktu yang lama untuk kami menemukan apa minat anak sulung kami. Lima tahun lalu dia didiagnosa berada dalam spektrum autisme. Biasanya anak dengan autisme menunjukkan bakat khusus di suatu bidang – tetapi tidak dengan si sulung. Dia terlihat tidak berminat dengan apapun juga di dunia ini!
Kalau adiknya suka main Lego dan Playmobil, si sulung benar-benar tidak peduli apapun. Dia cuma lari dan loncat saja di rumah tiada henti sampai badannya kurus kering meskipun sudah banyak diberikan asupan makanan.
Sampai tahun lalu kami memutuskan untuk mengirim dia ke les piano. Kenapa piano? Karena sudah ada alatnya di rumah ๐ Tidak perlu beli lagi. Sambil berharap semoga dia bisa cukup tenang, dan cukup โpintarโ untuk menangkap instruksi dari si guru karena di tahun-tahun sebelumnya dia sering menemukan kesulitan untuk fokus kalau sedang belajar.
Alasan lain memberikan les musik adalah saya mengamati si sulung ini sangat baik pendengarannya. Sewaktu kecil dia suka menangis mendengar suara sirine di kejauhan. Saking jauhnya sampai tidak ada yang bisa mendengar! Sampai saya harus betul-betul mendengarkan baru tahu iya benar ada suara sirine entah berapa kilometer jauhnya dari kami. Atau di mobil dia suka menangis bilang dia tidak suka mendengarkan suara alat musik tertentu dari lagu yang kami pasang. Hal-hal yang tidak ditangkap kuping kami yang tidak sensitif bisa menjadi persoalan buat anak ini.
Karena saya emak yang pelit, jadi saya memastikan kalau si sulung selalu siap sebelum dia les. Saya mengajari dia di rumah dengan pengetahuan saya yang terbatas. Saya membantu dia membaca not di bukunya, atau menjaga dia supaya tetap duduk di depan piano selama at least 15 menit. Membayangkan belasan euro menguap sia-sia setiap dia les dan tidak latihan di rumah membuat saya tidak mau rugi!
Menggapai mimpi emak
Akhirnya setelah beberapa bulan si sulung les, saya berdiskusi plus minta ijin suami untuk ikut les. Ini keputusan yang sulit karena les untuk orang dewasa bahkan lebih mahal lagi harganya dari les anak-anak. Kira-kira 500 ribu rupiah untuk setengah jam sahaja!
Paksu pun mendukung dan saya mencari guru les untuk saya sendiri. Berbeda dengan si sulung yang pergi ke gedung teater di kota kami yang juga menyediakan les musik, saya memilih seorang murid conservatorium (sekolah tinggi musik) supaya harganya lebih ekonomis dari guru profesional.
Pertimbangan saya selain harga, adalah juga saya minder untuk ujug-ujug datang ke guru profesional dan bilang kalau saya mau belajar piano klasik padahal belum tahu apa-apa. Pencarian saya pun berhenti pada seorang mahasiswi asal Indonesia dari conservatorium di kota kami.
Selain harganya belum semahal guru profesional, les bisa diadakan di rumah, dan jadwalnya jauh lebih fleksibel dari guru profesional yang harus dibayar langsung setahun ๐ถ๐ถ (glek glek) dan kalau kita tidak bisa datang ya jamnya hilang.
Tapi jangan salah lho, biarpun guru saya masih masih mahasiswi, doi sangat mumpuni! Dan karena dia orang Indonesia kami jadi lebih mudah berkomunikasi. Dia pun tidak se-streng mevrouw Belanda yang kebanyakan suka kaku sifatnya kalau sudah tua.
Selama kurang dari setahun belajar bersama si guru ini, saya semakin maju. Meskipun butuh disiplin kuat untuk bisa belajar mandiri (kan gak mau rugi, kalau mau ketemu guru harus latihan dulu dong biar lancar lagunya), tetapi saya makin menikmati (belajar) bermain piano.
Si sulung yang termotivasi
Entah kenapa melihat saya semakin sering bermain piano, si sulung menjadi agak โpanas hati’. Dia menjadi tertarik dengan lagu-lagu yang saya mainkan dan mencoba memainkannya sendiri.
Ajaibnya, ternyata dia lebih jago dari saya! Berbeda dengan emaknya yang kaku dan terpaku pada buku, kepekaan pendengaran si sulung menjadi modal utamanya untuk mencari nada sendiri. Waktu emaknya butuh 2 bulan untuk belajar Fur Elise (dan sampai sekarang belum lancar juga, haha), dia butuh dua minggu saja untuk mengingatnya.
Dan setiap kali saya belajar dia menjadi semakin terpacu untuk mencoba. Setiap dia bengong nggak tahu mau ngapain, dia selalu lari ke pianonya. Akhirnya kemampuannya pun maju cukup cepat. Di akhir tahun ajaran yang lalu si sulung diperbolehkan ikut konser sekolah musiknya. Dia memainkan The Blue Danube dari Johann Strauss. Lagi-lagi lagu yang sedang dipelajari emaknya, karena sebenarnya buku les dia belum sampai situ ๐
Meskipun dia tidak bisa dibilang seorang jenius dalam bermusik, tapi saya sangat bahagia – sangat-sangat bahagia dengan fakta bahwa si sulung menemukan passionnya! Sangat-sangat bahagia dia tidak terlalu lari-lari tidak ada juntrungannya seperti tahun-tahun sebelumnya.
Si bungsu dalam pencarian
Tahun ini adalah giliran si bungsu pergi ke sekolah musik. Meski setahun belakangan ada dua orang sibuk bermain piano di rumah, tidak terlihat si bungsu ikut bergairah. Selama ini kami sudah memasukkan dia ke les musical, juga di sekolah musik abangnya. Di les musical ini dia belajar bernyanyi dan menari. Di akhir tahun mereka selalu mengadakan satu show musical yang cukup besar.
Di salah satu konser sekolah musik yang kami hadiri dua tahun lalu, si bungsu sudah menyatakan keinginan hatinya untuk bermain flute. Bukan tanpa alasan juga sih dia bilang begitu. Sejak umur 3 tahun dia sudah pintar meniup balon sampai besar. Daaaanโฆ dia sudah bisa bersiul! Beneran anak emaknya, hehehe.
Jadi saya menyimpulkan, kalau abangnya bagus pendengarannya, si bungsu ini kuat paru-parunya (terbukti kalau nangis juga kenceng banget hihihi) dan punya keahlian mengontrol tiupannya.
Tapi karena Corona merebak sejak awal 2020, tahun lalu kami tidak mengizinkan si bungsu mulai les flute. Kegiatan tiup meniup di saat virus corona mencengkram seluruh dunia dengan bahayanya membuat les flute tampak mematikan!
Pertengahan tahun ini corona tampaknya mulai terkendali di Belanda dengan digalakkannya vaksinasi. Kami pun mengizinkan si bungsu untuk mengambil les flute di tahun ajaran baru ini. Tapi ternyata, tiba-tiba si bungsu bilang kalau dia tidak mau lagi bermain flute! Dia memilih untuk terus ikut musical saja. Atau kalau les, dia mau les biola!
Waduh, kok begitu? Saya pribadi lebih ingin si bungsu punya kemampuan bermain alat musik daripada terus ikut musical sampai dia besar. Dan rasanya sayang sekali kalau bakat tiup-meniupnya tidak digunakan.
Untung saja bulan ini ada open house di sekolah musik ini. Kami orangtua dan para anak yang masih kebingungan memilih les apa yang diinginkan bisa datang untuk mencari lebih banyak informasi. Guru akan menjelaskan dan memberikan demonstrasi, lalu si anak juga boleh mencoba alat musik yang diinginkan.
Kami sempat membawa si bungsu mencoba flute, biola dan saxophone (kemauan bapaknya) di hari Sabtu lalu. Dan untuk lebih jelas lagi, minggu ini si bungsu boleh les percobaan untuk biola dan flute, masing-masing 30 menit.
Akhirnya diputuskan – flute untuk si bungsu
Setelah open house si bungsu masih ngotot dia akan bermain biola saja. Kebetulan gurunya juga lembut sekali, membuat saya ikutan kepingin dia bermain biola. Tapi saya masih penasaran dengan flutenya, jadi saya bujuk dia memutuskan setelah dua les percobaan.
Hari Selasa kemarin si bungsu mencoba biola. Not bad, kata gurunya. Ada harapan untuk diajarkan karena tubuhnya masih lentur dan mudah diajari posisi yang benar memegang biola dan busurnya.
Tapi toh saya merasa kurang optimis. Tidak seperti piano yang jelas tuts-nya, biola ini butuh sangat banyak latihan untuk mengeluarkan satu nada dengan tepat. Dan karena saya tidak tahu apa-apa, gimana cara membantu si bungsu belajar di rumah? Kalau lama-lama dia jadi tidak sabar dan give up di tengah jalan kan sayang banget!
Tadi sore saya mengantar dia les percobaan flute. Kali ini tampaknya hatinya lebih terkait. Dengan senyum lebar setelah 45 menit mencoba, si bungsu berbisik lirih kalau dia sekarang lebih condong kepada flute dibandingkan biola. Cara si guru memikat calon muridnya dengan mempercayakan satu flute miliknya untuk kami bawa pulang selama weekend membuat si bungsu melayang ke awan-awan.
Money money money
Balik lagi ke soal biaya, memilih alat musik baru itu berarti adalah biaya tambahan. Sama seperti perjalanan si emak yang begitu berliku sampai bisa punya piano beneran, membeli sebuah flute atau biola juga bukan persoalan gampang.
Kepada kedua guru saya sempat bertanya berapa harga alat musik yang ‘standardโ untuk bisa dipakai dengan baik. Satu guru berkata, yaaaโฆ sekitar 500 Euro. Satu lagi berkata, sekitar 900 Euro. Berkunang-kunang mata saya ๐ฅบ sambil membatin kalau saya harus siap siaga menyuruh si bungsu rajin berlatih supaya euro euro ini tidak terbuang percuma.๐ธ๐ธ๐ธ
Untunglah sang guru berkata bahwa ada yayasan dimana kami bisa menyewa alat musik untuk di tahun-tahun pertama. Jadi kami tidak perlu langsung berinvestasi membeli alat musik baru sampai anaknya yakin mau terus mendalami alat musik pilihannya. Kabarnya untuk tahun pertama alat musik ini bisa disewa dengan harga kurang dari 100 Euro saja.
Penutup
Buat saya pribadi, bisa bermain alat musik memiliki sebuah keuntungan tersendiri. Saya membayangkan anak-anak saya di masa depan bisa bermain musik untuk melepas penat dan stress mereka. Mereka juga bisa menghibur anggota keluarga yang lain dengan musik, dan juga melayani di gereja.
Bisa mengirimkan anak-anak ke sekolah musik adalah anugerah yang sangat luar biasa. Dulu mamanya tidak kesampaian les piano karena masalah dana, dan sekarang anak-anak bisa diusahakan untuk belajar alat musik sejak mereka masih begitu muda – semua hanya kebaikan Tuhan belaka.๐
Semoga anak-anak yang masih belia ini bisa terus semangat dan serius berlatih, memanfaatkan kesempatan yang ada, untuk kemudian memuliakan Tuhan dengan talenta mereka. Amin.
Wah musik nih buat yang buta not dan buta nada macam aku, kayaknya udah susah aja. Ditambah, minatku terhadap musik juga kurang, hihiihi. Salut buat keluarganya Mbak Irene, kecil-kecil dah pada jago aja.
Ahhaha.. itulah 9 tahun pertama cuma belajar gimana cara baca not baloknya aja mbak.. aku pun buta dan belajar sedikit-sedikit sampe mabok ๐
Namun demi obsesi masa kecil jadi diteruskan jga hehe.
Makasih dah mampir mbak Rani ๐
Seru banget lika-liku perjalanannya teh ๐
Aku pernah coba les biola dan piano, tapi sebenarnya dari dulu pingin cobain flute.. Yah, gitu deh… Ga berani minta ke mama.. Krn udah ada piano dan biola di rumah. Bener.. ngeri lihat harganya. ๐
Les2 musik gini sayangnya harus keluar uang dulu baru bisa tahu kita minat apa engga, berbakat atau engga mainin alat musik itu kan ya.. ๐ (kecuali kalau nemu orang yg mau pinjemin gratis)
Dulu yg les musik itu aku dan adikku. Kami main krn mama kami yg ngebet pengen anaknya bisa main alat musik. Sekarang… Keduanya nganggur teh di rumah ๐ mungkin dulu kami main alat2 musik itu memang sekadar buat memenuhi hasrat mama, ya .. ๐
Semoga anak2 semangat terus mengembangkan skill musiknya ya, teh
Wah Deaaa, Dea adalah seorang ibu yang total dalam mendampingi putra putrinya mencari passion-nya dalam bermusik. Sampai ikut nyemplung belajarnya ehehe. Saya ikut seneeng banget saat akhirnya si sulung menemukan sesuatu untuk difokuskan, bermain piano.
— Anak dengan spektrum autis bisa sangat unggul ketika fokus terhadap sesuatu. Sepupu saya yang autis juga demikian, Dea.–
Si bungsu pun akhirnya juga sudah memutuskan ya, mau mendalami alat musik flute. ๐
Keep up the good work ya buat dearest putra putrinya Dea. ๐
***
Aamiin, semoga harapan Dea untuk anak-anak tercapai.
Salut sama teh Dea atas kegihihannya terhadap piano, dan ikut aenang akhirnya bisa punya piano akustik.
Cerita tentang perjalanan les musik anak anak juga inspiratif sekali.
Sekarang apakah si sulung udah lebih jago main pianonya daripada mamanya?
Terus flute buat si bungsu jadi beli atau nyewa?
Aku dulu pas kecil juga pemah pengen bisa main piano, pas setelah punya anak baru les, tapi ternyata aku lebih suka di depan komputer daripada main musik. jadi ya… gitulah, mungkin semangatnya udah lewat hehehe…
Wah si bungsu jadi belajar flute ya Dea, gimana sekarang ? Semoga semangat terus ya, seneng dengerin suara flute tu, menenangkan.
Cici waktu di sekolah bisa milih alat musik lain dia milih flute juga, katanya asik tapi susah, dan aku baru tahu kalau niup flute beda dengan recorder haha.