Setelah menjalani hampir dua tahun hidup di masa pandemi, semua orang di segala penjuru dunia melihat dokter dan perawat dengan sudut pandang yang tidak lagi sama. Para tenaga kesehatan yang berjubah dan berbaju putih ini bukan lagi menjadi orang-orang yang bekerja diam-diam. Dengan atau tanpa perlengkapan medis berlapis, mereka berubah menjadi orang-orang yang literally mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan nyawa para pasien, dan juga untuk menahan kenaikan angka infeksi.
Media pun penuh dengan potret, ilustrasi dan cerita kepahlawanan tenaga kesehatan. Profesi dokter yang lima puluh tahun belakangan ini berkesan sebagai sebuah profesi dengan prestise yang tinggi, sekarang bertransformasi menjadi tokoh pejuang yang harus bertempur ke medan perang.
Mungkin bagi para dokter dan perawat, perasaan mereka mulai dari tahun 2020 kemarin nyaris sama dengan perasaan para dokter dan perawat yang harus mengurus para prajurit yang terluka karena serangan musuh. Pergi ke rumah sakit membawa hati yang kecut karena tidak ingin ikut terluka, tetapi terikat kepada janji bahwasanya mereka sudah membaktikan hidup bagi kemanusiaan. Pulang ke rumah dengan tubuh kelelahan, dengan segala kebutuhan dan hajat yang serba ditahan. Belum lagi cemas memikirkan kemungkinan akan menularkan keluarga yang tinggal serumah.
Begitu banyak cerita yang kita dengar tentang pahlawan kesehatan ini. Dan di antara cerita-cerita keberanian mereka, terselip juga cerita duka. Tenaga kesehatan yang lantas tertular virus Corona dan harus berpulang lebih dulu ke ribaan Ilahi. Mereka yang mendahulukan kemanusiaan di atas keamanan pribadi dan perasaan keluarga. Mereka yang berani sampai mati.
Mata saya panas menahan air mata. Hampir setiap malam saya mengajak anak-anak di rumah berdoa untuk semua tenaga kesehatan, dokter dan perawat yang berjuang sampai jauh malam.
Bahkan untuk dokter dan praktek yang tidak secara langsung mengurus pasien Corona namun masih tetapi mengambil resiko untuk tetap datang ke rumah sakit supaya pelayanan kesehatan tetap berjalan – segala doa dan rasa terimakasih saya haturkan buat mereka.
Mantan calon dokter
Table of Contents
Sedari saya kecil, saya sendiri yakin sekali kalau saya akan menjadi dokter. Selama belasan tahun tidak pernah satu detik pun saya berganti cita-cita, yaitu menjadi dokter anak. Menolong anak-anak yang sakit dengan kedua tangan saya – itulah keinginan yang paling dalam.
Mungkin mimpi ini muncul karena saya sering sekali sakit dan berobat ke dokter. Dokter Antonius yang praktek di ujung jalan. Dan dokter-dokter lainnya yang namanya saya lupa atau bahkan tidak pernah tahu, ketika saya harus diopname di rumah sakit.
Sayangnya cita-cita saya berhenti di tengah jalan. Saat kami harus mengisi formulir pemilihan jurusan yang dipilih untuk UMPTN, orangtua saya meminta saya mengganti haluan. Mereka tiba-tiba punya pertimbangan bahwa sekolah dokter dan kewajiban dokter yang baru lulus untuk berbakti di daerah terpencil akan menjadi terlalu berat bagi saya.
Entah berapa ember air mata karena tiba-tiba tidak boleh lagi memilih Fakultas Kedokteran, tapi akhirnya saya pun menurut dan memilih masuk jurusan teknik di almamater ayah saya. Terbang pergi cita-cita saya berjalan mondar mandir di lorong rumah sakit mengenakan rok panjang dan jas putih (dulu mahasiswi FK wajib pakai rok kalau pergi kuliah).
Lorong rumah sakit yang panjang
Bertahun-tahun kemudian, meskipun tidak jadi dokter, sesekali saya tetap perlu pergi ke rumah sakit. Berada di rumah sakit tetap memberikan kesan yang khusus bagi saya. Mungkin di hati yang paling dalam masih ada harapan untuk tetap jadi dokter, hehe, makanya masih cukup sering harus berjalan di lorong rumah sakit yang panjang.
Dari sekian banyak pengalaman saya ke rumah sakit, saya selalu merasa berterima kasih, bersyukur, dan bahkan berhutang budi kepada semua orang yang bekerja di rumah sakit. Kepada dokter, perawat, petugas di loket pendaftaran, teknisi di ruang rontgen dan semacamnya, dan juga kepada petugas kebersihan.
Mungkin saya yang terlalu melankolis dan terbawa perasaan, tetapi rasanya selalu bersyukur atas segala pekerjaan mereka yang setiap hari bekerja keras demi kesehatan orang lain. Saat pasien sedang terbaring lemah di ruang rawat inap, tanpa menunjukkan rasa kesal atau jijik para perawat sigap membersihkan tempat tidur yang kotor dengan muntahan atau apapun yang lain yang keluar dari badan.
Lalu di pagi hari, petugas kebersihan datang mengumpulkan kain yang yang hendak dicuci. Petugas yang lain datang untuk mengepel kamar dan membersihkan kamar mandi. Petugas yang lain datang membawa sarapan dan bertanya menu apa yang dipilih untuk makan nanti siang dan malam.
Petugas kebersihan yang bekerja lebih keras di masa pandemi
Di masa pandemi seperti sekarang ini, bukan hanya dokter dan perawat yang bekerja dengan beban berlipat ganda. Petugas kebersihan pun bertaruh nyawa setiap hari mereka pergi ke rumah sakit untuk bekerja.
Rumah sakit yang sejatinya harus terjaga bersih dan higienis, harus lebih-lebih lagi dibersihkan dan disterilkan dari virus corona yang tidak kasat mata. Kegiatan membersihkan ruangan dan semua permukaan yang berpotensi menjadi tempat penyebaran virus harus dilakukan berulang-ulang, lebih sering dibandingkan dengan waktu sebelum pandemi datang.
Sekali saya menonton liputan di televisi tentang peranan petugas kebersihan di rumah sakit selama masa pandemi. Pekerjaan mereka bertambah berat, dan mereka juga mengalami resiko yang besar tertular virus Corona. Namun demikian dari beberapa pekerja yang diwawancara, mereka mengatakan kalau mereka tidak takut dan mereka akan terus bekerja untuk membantu para dokter dan perawat menjalankan pekerjaan.
Ada satu cerita yang beredar di sosial media, tentang pasien Corona yang diisolasi selama beberapa minggu. Selain dokter dan perawat yang hanya sesekali datang, hanya seorang petugas kebersihan yang berani mendekat dan menyapa dia. Lewat kata-kata semangat yang disampaikan oleh si petugas ini, si pasien yang tadinya hampir menyerah karena putus asa mulai bangkit kembali semangatnya sampai akhirnya dia pun sehat kembali.
Pahlawan tanpa jas dan tanda jasa
Bukan hanya petugas kebersihan, tetapi masih banyak petugas kesehatan yang tidak berprofesi sebagai dokter dan perawat yang juga memberikan jasanya bagi kesehatan kita. Sering kali kita hanya ingat kepada pengalaman yang buruk, misalnya di saat harus lama menunggu di loket pendaftaran, atau kamar mandi yang kurang bersih di rumah sakit, atau petugas administrasi yang kurang ramah.
Tetapi sesungguhnya masih banyak petugas yang langsung atau tidak langsung sudah membantu kita di saat kita atau anggota keluarga sedang tidak sehat dan membutuhkan bantuan mereka.
Petugas-petugas ini yang tidak menggunakan jas yang mentereng, hanya memakai seragam yang tidak terlalu menarik perhatian. Orang-orang yang mungkin gajinya tidak sebesar dokter dan perawat, yang perannya tidak terlalu dipandang. Namun bahkan harus melakukan pekerjaan yang lebih kotor, atau beresiko misalnya para petugas yang mengolah sampah medis dan juga berurusan dengan tenaga radioaktif.
Para sopir ambulan yang sibuk mondar-mandir mengangkut pasien, para petugas keamanan yang di balik maskernya yang pengap masih berusaha memberikan senyuman dan arahan. Para apoteker dan asistennya yang bekerja di balik layar mempersiapkan obat bagi para pasien yang sering mengeluh karena pelayanan mereka terlalu lambat. Petugas laboratorium yang tidak henti memeriksa sample darah dan lain-lain. Petugas yang mengurus pasien yang berpulang. Petugas administrasi yang sibuk mengolah data di ruangan yang tidak pernah kita lihat.
Terimakasih Pak, terimakasih Bu, untuk karya dan kebaikan Bapak dan Ibu semua, di mana pun kalian berada. Baik dokter ataupun perawat ataupun petugas yang tidak saya tahu jabatannya. Di Depok, Bandung, Jakarta, Singapura dan di Belanda. Buat semua petugas yang pernah mengurus nomor pasien saya. Atau nomor pasien anak-anak dan suami saya. Atau para tenaga kesehatan yang mengurus Papa dan Mama saya. Juga bapak dan ibu mertua, dan seluruh keluarga yang jauh dari kami di sini dan tidak bisa kami bantu secara langsung.
Terimakasih Pak, terimakasih Bu. Semoga Tuhan mengaruniakan kesehatan dan kekuatan, kesejahteraan dan sukacita di hati Bapak dan Ibu semua. Tuhan berkati kalian semua.
Catatan tambahan
Tulisan ini dibuat sebagai jawaban atas TTM (Tema Tantangan Menulis) periode 11 – 17 Oktober 2021 dengan tema: Terimakasih Nakes.
- Mungkin cita-cita saya akhirnya bisa diteruskan oleh si bungsu, yang sejak kecil juga sudah bulat memutuskan untuk menjadi dokter bedah (agak kerenan dikit dari cita-cita emaknya).
Sayangnya minggu ini ada ‘kinderboekenweek’ alias minggu buku anak di sekolah yang bertema: apa cita-citamu. Jadi anak-anak di sekolah seminggu penuh membicarakan jenis-jenis profesi: mulai dari dokter sampai masinis atau supir taksi.
Ndalilah si bungsu pulang membawa laporan: “Mama, aku gak jadi mau jadi dokter. Aku mau kerja di sirkus aja. Jadi trapeze artist.”
Emaknya yang udah bahagia karena anaknya mau jadi dokter jadi kaget. Dan bertanya, lho kenapa tiba-tiba mau kerja di sirkus?
“Ya, karena jadi dokter itu kurang susah. Lebih susah jadi trapeze artist. Jadi aku gak mau lagi jadi dokter.”
Oalah nduk… ya sudah. Kita lihat nanti saja ya… *jawab Emak diplomatis sambil garuk-garuk kepala, berharap dia cepat lupa cita-cita sirkusnya 😀
Sambil terharu membacanya. Tulisan Dea ini membuka mata agar we should not take semua bapak/ibu elemen kesehatan for granted. Terimakasih Bapak dan Ibu semua. Hanya Tuhan yang bisa membalas jasamu.
Ehehehe cita-cita menjadi trapeze artist di circus, kok membikin saya deg deg an.
Semoga hanya impulsif saja ya, Nak. Dan kembali ke cita cita awal, menjadi dokter bedah. Sekaligus meneruskan cita-cita masa kecil mama.
aku sedang di rumah sakit ini nemenin teteh rawat inap.
jadi melow deh baca artikel ini. terimakasih ya teh sudah mengingatkan untuk berterimakasih dan mendoakan mereka. (bapaku, ibu mertuaku, kaka dan adikku juga ada yang berprofesi dokter)
kebayang lagi kemarin malam pas di ugd ada banyak pasien yang dalam keadaan gawat dan darurat bertaruh nyawa.
salam sehat
Oh ternyata teh Dea bercita2 jd dokter. Kebetulan ibuku pensiunan (karena ikut saran nenek) tapi anak2nya ga ada yang mau ngikutin jejaknya. Waktu kecil suka diajak nemenin ke RS, jadi hapal bau ‘khas’ RS tuh
Rumah sakit tu kesannya cuma identik sama profesi dokter aja. Padahal sangat banyak ya tenaga pendukung kesehatan yang jasanya nggak bisa dilihat sebelah mata.
Kalau di rumah sakit Papaku salah satu yang berkesan bahkan satpamnya yang ramah. Bukan sekedar jagain pintu. Tapi juga kadang ikut bantu nyariin kursi roda atau bukain pintu mobil. Kadang bisa juga tempat minjem charger Hp. Benar-benar satpam serba guna. Ramah lagi. Ha…ha…
Dulu sempat pengen jadi dokter juga, tapi ga jadi karena dulu kalau di UNPAD kedokteran harus pakai rok haha.
Terimakasih sudah nulis ini Dea. Para NAKES dan volunteer sangat berjasa di situasi pandemik ini, Ada satu dua cerita yang saya dengar dari kenalan yang berprofesi dokter atau pasangannya dokter, betul-betul bikin patah hati dengarnya. Ada yang istri dan anaknya meninggal karena Covid, padahal mereka di rumah saja, jadi kemungkinan besar memang tertular dari suami yang dokter :(.
Semoga mereka semua selalu diberi kesehatan dan kekuatan.
Jadi trapeeze artist secara tidak langsung menghibur yang menambah imun loh, jadi tetep bagus juga. Pada dasarnya semua pekerjaan asal dilakukan sepenuh hati akan berhasil dan baik-baik aja. Tapi emang bapak ibu nakes dan semua staf yang ada di rumah sakit/fasilitas kesehatan tentunya saat pandemi ini yang paling banyak kerja keras dibandingkan aku yg di rumah saja ini.
Terimakasih ya teh sudah membuka mata bahwa bukan hanya dokter loh yang membuat RS atau faskes lain bisa berjalan dengan baik dan memberi pelayanan terbaik bagi orang yang sakit. Kadang kita emang suka lupa sama tenaga-tenaga lainnya, jadi kurang berterimakasih.
Btw, udah terharu baca tulisan teteh ttg nakes, eh di ujung dibuat tertawa karena plot twist anak teteh yang pengen jadi trapeze artist. Kok kepikiran ya teh? Haha..
Kalau saya waktu kecil jarang berhubungan dengan dokter, makanya enggak kepikiran sama sekali untuk punya cita-cita jadi dokter…
Baru setelah dewasa lebih sering berhubungan dan menikmati jasa dokter dan rumah sakit, baru deh ngerasa kerennya jasa para dokter, terus membatin “kenapa dulu enggak punya cita-cita jadi dokter ya”… Apalagi di masa pandemi ini, makin salut dengan jasa para dokter, perawat, dan nakes lainnya…
Ah iyaa…. petugas kebersihan di rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya kadang suka terlupakan yaa… Tertutup oleh profesi tenaga medis di masa pandemi sekarang ini. Thanks untuk reminder-nya