“Meneer Maclaine Pont! Meneer Pont! Apakah Anda sudah selesai?”
Henri Maclaine Pont mengangkat pandangannya dari buku sketsa di tangannya. Tuan Tjokro sudah datang.
“Kalau sudah, kita bisa kembali ke hotel. Besok pagi-pagi sekali Anda harus ke Batavia.” lanjut Tuan Tjokro.
Henri mengangguk sambil menggumamkan sesuatu. Hari ini adalah hari terakhir dia berada di Bandoeng. Besok dia berangkat ke Batavia lalu hari Minggu terbang kembali ke Belanda. Lebih dari setengah abad sudah dia habiskan di Hindia Belanda. Akankah dia mampu melupakannya? Hindia Belanda yang dia cinta, yang menahan separuh dari hatinya.
Henri Maclaine Pont
Ini hari terakhirku di Bandung. Dua hari ini aku habiskan untuk mengunjungi Institut Teknologi Bandung, yang dulu dikenal sebagaiTechnische School te Bandoeng. Ini adalah proyek paling besar yang pernah kukerjakan. Hati, pikiran, seluruh jiwaku tercurah ke dalamnya.
Waktu itu aku masih sangat muda, belum lagi sepuluh tahun bekerja sebagai arsitek dan sudah dipercaya untuk merancang kampus yang akan menjadi lembaga pendidikan tinggi pertama di seluruh Hindia Belanda.
Aku sendiri lahir di Batavia dan tinggal di sana sampai beranjak remaja. Saat aku berumur 10 tahun, orangtuaku memutuskan kembali ke Belanda. Entah mengapa, mungkin mempertimbangkan pendidikan anak-anaknya.
Di sana aku bersekolah lalu lanjut kuliah di T. U. Delft jurusan Ilmu Bangunan. Suatu hal yang tidak diterima oleh ayahku, seorang pengacara. Dia pun tidak mengerti keinginanku untuk kembali ke Indonesia setelah aku selesai kuliah. “Buat apa ke sana? Kamu gila, meninggalkan karirmu di sini! Kamu sudah bekerja dengan arsitek besar seperti Posthumus Meyjes! Apalagi yang dicari??”
Aku mengerti penolakannya. Ayahku sempat menjadi direktur pabrik gula di Jawa Timur dan tinggal puluhan tahun di Hindia Belanda. Dia tahu banyak tentang kehidupan orang Belanda di sana dengan segala gejolaknya.
Tapi tekadku sudah bulat! Aku masih ingat setiap detil tentang Indonesia, keindahan alamnya, terutama rumah-rumah penduduk kampung yang pernah aku lihat di Jawa. Bagiku semuanya adalah misteri yang menanti untuk diungkap. Hatiku sudah tertambat di tanah kelahiranku. Aku memutuskan kembali ke sana!
Bersama istriku, Leonora Hermine Gerlings – eh, maksudku Mevrouw Pont, kami berangkat ke Indonesia. Tiga minggu lebih kami berlayar mengarungi samudera. Tapi aku dan Noor – panggilan kesayangannya – tetap optimis dan tak sabar segera sampai ke tanah yang kami rindukan.
Noor lahir di Belanda tetapi sempat lama tinggal di Indonesia. Dia pulang ke Belanda hanya untuk menikah denganku. Orangtuanya masih tinggal di Semarang dan ke sanalah kami pergi. Aku yakin ayahnya yang adalah insinyur sipil akan membantuku mencari pekerjaan.
Ah, Noor. Entah sampai kapan aku akan terus mengingat dirinya. Sudah duabelas tahun kami bercerai, tapi kenangan akan dia tetapi dekat, lekat, dan terkadang membuatku sesak dengan air mata.
“Kamu harus pilih, aku dan anak-anak kita atau Hindia Belanda!” jeritnya di rumah kami di Den Haag.
“Noor, kamu tahu aku tidak bisa memilih!” jawabku putus asa. “Aku mencintai kamu, mencintai gadis-gadis kita. Tapi aku tidak mampu meninggalkan Hindia Belanda! Kamu tahu betapa aku mencintai pekerjaanku, betapa aku mencintai Hindia Belanda dengan alam dan budayanya.”
“Kamu pasti punya simpanan di sana!” tuduh Noor. “Itulah mengapa kamu selalu ingin kembali ke sana!” isak Noor, menelungkupkan wajahnya ke bantal.
“Tidak ada, Noor. Tidak pernah ada perempuan lain yang mengisi hatiku selain kamu,” gumamku sambil melangkah pelan menyusuri Boulevard kampus ITB. Dua hari ini kuhabiskan meneliti setiap meter kampus untuk terakhir kalinya. Sudah banyak yang berubah selama dua puluh tahun ini.
Kawasan kampus yang dulu kumulai sebagai lahan kosong mulai penuh dengan gedung kuliah dan laboratorium. Secara umum mereka masih mengikuti Master Plan yang kubuat, tapi kulihat beberapa perubahan.
Aku tersenyum mengingat Noortje kecil yang antusias menarik tanganku ketika istriku Noor dan dua anak kami mengunjungiku di Hindia Belanda. “Papa, lihat! Gunung! Gunung!” sahutnya antusias. Aku tertawa. “Ya Noortje, di Belanda kita tidak punya gunung. Indah sekali ya?” jawabku, membimbing tangannya di sepanjang Boulevard. Sengaja aku mendesain sebuah sumbu lurus membentuk vista, membingkai indahnya Gunung Tangkuban Perahu.
“Mengapa atapnya lucu sekali, Papa? Mengapa tinggi sekali plafond-nya?” tanya Noortje lagi waktu kami masuk ke Aula besar di sebelah Barat. “Di sini udaranya lembab, Noortje. Papa buat plafond tinggi dan jendela besar supaya angin bisa mudah berputar. Dan atap yang lucu itu Papa buat seperti rumah-rumah di Jawa.”
Noor istriku tidak pernah mengerti ambisiku memadukan arsitektur Eropa dan Indonesia. Aku tidak pernah mengerti bagaimana para inlander yang tidak berpendidikan mampu merancang rumah adat mereka dengan begitu rupa sehingga bisa menyesuaikan dengan iklim dan alamnya. Bagiku ide-ide mereka jenius! Noor tidak mengerti kecintaanku terhadap segala keajaiban yang kutemui di sini.
Tapi tentu saja aku mengerti Noor dan menghargai keputusannya untuk kembali ke Belanda. Sejak orangtuanya memutuskan kembali ke sana, kami sendirian di sini dan tidak mudah membesarkan anak-anak tanpa keluarga. Belum lagi gejolak perjuangan kaum pribumi membuat situasi kami sering tidak aman.
Aku mengerti kenapa Noor memilih tinggal di Belanda supaya anak-anak mendapat pendidikan di sana. Aku mengerti dukanya ketika putri pertama kami meninggal dunia dan aku, suaminya yang katanya mencintai dia tidak ada di sana untuk menggenggam tangannya. “Aku tahu Noor, aku tahu. Tapi sungguh, tidak ada lagi selain kamu di sini.” gumamku lirih.
Aku meneruskan langkahku. Teringat percakapan dua bulan lalu; Profesor Soerjohadikoesoemo dengan berat menjelaskan kalau posisi Guru Besar yang beberapa tahun lalu ditawarkan kepadaku sudah diisi orang. “Sudah ada orang lain mendahului Anda,” jelasnya. “Dia seorang putra bangsa Indonesia, jadi lebih pantas menjadi Guru Besar di Fakultas Ilmu Bangunan.”
Apa yang bisa aku katakan? He made a good point! Sesudah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, orang Belanda seperti aku dilihat hanya sebagai penjajah dan dipandang sebelah mata. Tidak ada yang percaya bila kukatakan bahwa aku lebih mencintai Indonesia dibanding Tuan Guru Besar yang sekarang. Tidak ada yang mengerti bahkan setelah aku dua tahun disiksa pemerintah Jepang, hatiku masih ingin kubaktikan kepada Hindia Belanda. Ya, mereka tidak akan paham.
“Meneer Maclaine Pont, sudah siap untuk pulang?” tanya Tuan Tjokro lagi. Aku mengemas buku sketsaku, menyimpan pensilku dengan rapi di saku.
“Aku siap,” gumamku. Aku siap pulang. Mungkin ini saatnya membangun negeriku yang hancur setelah perang dengan Jerman. Mungkin ada kesempatan bagiku untuk memulai kembali dengan Noor dan anak-anak kami.
Aku menatap kampus ITB untuk terakhir kalinya. Di depan gerbang ada kain bertuliskan: ‘Selamat Datang Putra Putri Terbaik Bangsa.’
“Ya, Henri, tugasmu sudah selesai. Mungkin akan ada Henri lain yang lahir dari kampus ini 100 tahun lagi. Selamat tinggal Bandung, selamat tinggal Indonesia. Inilah terakhir kalinya aku melihatmu, hatiku kutinggal di sini bersamamu.”
Aku meluruskan kain celanaku dan mengikuti Tuan Tjokro yang sudah menunggu. Selamat tinggal.
Epilog
“Lagi ngapain, Sayang?”
“Hoi! Kok bengong! Ditanya nggak jawab!” ujar suamiku membuyarkan lamunan. Aku sedang duduk sendirian di dekat Student Centre, memandang Aula Barat yang penuh dengan bunga Agustus yang bermekaran.
“Hah? Oh, eh, nggak…” jawabku kaget. “Aku lagi ngebayangin kehidupan orang Belanda dulu di sini sebelum kemerdekaan. Kamu ingat aku pernah cerita tentang arsitek yang merancang ITB?”
“Iya, trus?” tanya suamiku.
“Ya, aku lagi bayangin aja perasaan dia kira-kira gimana pas melihat hasil karyanya.”
Suamiku diam tidak menanggapi.
“Sayang,” lanjutku tiba-tiba, “Kita punya anak lagi yuk? Nanti kita kasih nama Henri, biar dia bisa melanjutkan cita-cita Henri Maclaine Pont jadi guru besar di ITB.”
“Hah? Setua ini punya anak lagi?” suamiku mendelik. “Udah, si Abang aja disuruh masuk arsitek, kuliah di sini.”
“Ah, dia mah nggak bisa gambar! Gak ada harapan!” jawabku.
Adiknya kalau gitu.” usulnya.
“Dia sudah bulat mau kedokteran. Biarin ajalah jangan masuk ITB. Ntar kalau diganggu balik lagi pingin jadi trapeze artist.” balasku.
“Ya udah, si Abang ke Elektro T. U. Delft aja. Ntar kalau dah pinter balik ke Indonesia jadi dosen. Sapatau bisa jadi guru besar, memenuhi cita-cita Meneer Henri-mu.” putus suamiku.
Aku tertawa. “Mana anak-anak?” tanyaku.
“Di luar, mau naik kuda.” jawabnya.
“Tanpa kamu? Emang mereka bisa nawar??” sergahku cemas.
“Ah, bisalah. Udah aku kasih uang dua lembar 100 ribu.” lanjut suamiku enteng.
“Lah, kalau nanti diculik sama tukang kudanya gimana? Ayo ah kita cari mereka!” aku menarik tangan suamiku mengajak keluar kampus.
“Gapapa itu, sekalian mereka ngelancarin bahasa Indonesia.” jawab suamiku.
“Ah dasar kamu bapak kurang perhatian!” ujarku kesal sambil memeluknya dari belakang.
“Eh, jangan peluk-peluk. Ini bukan di Eropa! Ntar ditangkap satpam!” jawabnya tertawa.
Bergandengan tangan kami melangkah ke Jalan Ganesha. Dalam hati aku bergumam, “Bedankt Meneer Maclaine Pont. Karyamu telah menjadi rumah bagi banyak anak bangsa untuk mendapat pendidikan terbaik. Juga menjadi tempat yang tak terlupakan bagiku dan suamiku, dan bagi ribuan pasangan mamah papah gajah yang bertemu di kampus indah ini.”
Kami berjalan mencari anak-anak. Selamat tinggal kampusku yang penuh kenangan. Selamat tinggal Bandung tercinta. Sampai jumpa lagi.
Catatan
Cerita ini bukan kisah nyata, namun Henri Maclaine Pont adalah sosok yang real. Dia adalah arsitek kampus ITB. Nama istri dan nama lainnya adalah nama sesungguhnya, tetapi bumbu percintaan dan percakapan dengan rektor ITB adalah rekaan belaka. Tulisan ini ditulis untuk memenuhi Tantangan Ngeblog Mamah Gajah Ngeblog bulan Maret 2022 bertema: Cerita Fiksi dengan Unsur ITB.
Gambar-gambar diambil dari colonialarchitecture.eu dan digitalcollections.universiteitleiden.nl yang memberikan hak guna bagi gambar-gambar dari website mereka.
Keren abis ceritanya. Jadi melihat Pak Pont dan ITB dari sudut yang berbeda. Jangan lupa, foto-nya dikasih asal sumbernya.
Hehe makasih Mbak Shanty udah mampir. Sumber foto udah aku cantumin di catatan di bawahnya, cuma aku emang kemarin nggak sempat sertakan link masing-masing foto. Lieurr kekeke
Heu… Kok deja vu ya, soal anak2 naik kuda di itb? 😂
Keren, dip! Sukak foto2nya juga 😍👍
teh Dea ya aammmpuuun … salut risetnya dan foto-fotonya keren banget.
anakku senengnya main sama kucing ITB yang endut2 he3 …
Sukak dengan fiksinya mbak Dea, sambil membayangkan kampus jaman baheula, yang ternyata tidak banyak berubah ya, dan jadi ciri khas itebe banget
Gambar dengan caption Koridor ITB – ada tangganya- rasanya ingat, koridor dari Aula Barat ITB menuju Lab Fisika, arah ke utara…..
Mudah2an tidak salah. Saya rutin ke tempat itu tahun 1965an untuk kuliah fisika dasar dan praktik fisika….!
Deaaaa, aku terharu membaca kisah Bapak Henri Maclaine Pont ini. Beliau ingin mengabdi dan berkarya untuk Hindia Belanda, tetapi karena keadaan menjadikannya tidak mudah diterima banyak kalangan.
Memang arsitektur bangunan ITB itu memukau ya, pertama kali melihatnya langsung menganggapnya sebagai bangunan most extraordinary yang pernah saya lihat secara langsung. Dan bisa awet ya Dea, apalagi yang tembok tumpukan batu kali dan kayu-kayuan di beberapa gedung, sampai sekarang kok masih berdiri kokoh.
Kenapa ya saya bacanya merindiiiing…
Liat liat fotonya juga merinding, betapa megahnya bangunan ITB itu, dan dibangun penuh filosofi…
Keren banget teh ceritanya
Foto-fotonya memanjakan mata sekali, kak Dea! 😍
Terlepas dari ceritanya fiksi, tapi tetap bisa belajar sejarah ITB. Mengingatkan kembali masa-masa jadi maba anak daerah, baru pertama kali ke Pulau Jawa langsung dibuat terkagum-kagum sm arsitektur ITB yang unik dan banyak bangunan simetrisnya.
Fiksi sejaraah! Keren Teteh. Salam kenal Teh ❤️
Baru kali ini liat foto-foto laboratorium ITB masa lalu….
Aku masih lebih suka sama bangunan lama ITB dibanding bangunan baru, gimana ya…dingin, sejuk, kokoh dan pantulan suaranya oke banget….
Menarik sekali. Seolah ditarik ke masa lalu dan ikut menikmati masa itu, komplit dengan galaunya rasa hati Meneer Pont.
Waw teeh.. ngarsitek sekaliih.. saya berpikir ini bukan fiksi loh.
Btw noortje pas nanya2 papanya umur berapa? Keren banget udah tau istilah plafond.. pasti dia jadi drafter papanya yaa. Qiqiqiqi..
Keren teh..
sempat bingung dengan si aku itu siapa, ternyata ada 2 aku. tambahlag 1 anak lagi biar bisa kasih nama Henri #eh
kalapun aku nambah anak, namanya udah ada, dan bukan Henri. #eh