Hampir setahun saya bergabung di Kelas Literasi Ibu Profesional yang disingkat KLIP.
Lucu ya, bagi saya nama KLIP ini saja sudah membingungkan. Ibu Profesional itu apa toh? Kelas literasi itu apa toh? Dan saking lugu-nya (lucu dan gagu), kata ‘literasi’ sendiri baru saya tahu artinya ketika saya masuk KLIP dan berbincang-bincang dengan teman-teman di WA Group – nya. Tentu saja saya pernah mendengar kata literasi. Saya ini hanya gagu, bukan dungu. Tapi terus terang, apa sih literasi itu tidak terlalu jelas. Pokoknya ada deh soal baca dan tulis, tapi jelasnya… entah apa.
Saya masuk ke KLIP yang arti namanya belum sepenuhnya dipahami pada bulan Februari tahun ini (2021). Setelah si Sep, orang yang paling mengganggu tidak bisa dibungkam desakannya, akhirnya saya mendaftarkan diri. Meskipun prosesnya lagi-lagi bertanya sama si Sep yang ternyata adalah salah satu ketua kelas alias bagian dari kepengurusan dari KLIP! Oalah, ternyata si Sep ini punya pesan sponspor, pantesan aja kamu giat ber-iklan, Sep. Sep, oh Sep.
Sep oh Sep
Table of Contents
Tapi jujurly, (mirip yah sama nama website saya: notingly :D), saya berminat masuk KLIP bukan karena si Sep ini jago akting (baca: jago iklan, red.). Tapi lebih karena si Sep ini sudah setahun belakangan berubah kelakuannya. Tadinya kami adalah duo-pemalas. IMHO, Sep lebih malas dari saya. Tapi kok belakangan si Sep ini seperti berganti warna. Kerjanya nulisssssssssssss terus. Saban hari saya dihujani link tulisan beliau – yang mau tidak mau harus saya buka dan yah, agak-agak komentari dong. Gimana kalau si Sep ngecek statistik blognya dan nggak menemukan negara Belanda di salah satu peta pembaca-nya? Kan enggak enak jiwa…
Jadilah saya dipaksa/terpaksa membaca tulisan-tulisan si Sep. Sampai saya menyimpulkan, si Sep sudah berubah! Dia tidak lagi malas!
Karena saya merasa agak tertinggal – malas itu enak kalau ada teman. Lihat saja pemuda-pemuda tak tangguh yang kurang kerjaan dan suka jongkok-jongkok dari pagi sampai malam di pinggir jalan. Males rame-rame itu asyik! Tapi malas sendirian itu kurang greget gimana gitu… coba aja kamu yang membaca tulisan ini jongkok sendirian di depan rumah. Aneh kan?
Menyambung kalimat di atas yang masih menggantung, karena saya merasa tertinggal, dan jemu didesak, akhirnya saya pun mencoba mendaftar ke KLIP. Proses pendaftarannya untuk orang yang anti media sosial dan agak anti teknologi (dalam persoalan mengisi formulir dan semacamnya) dan anti kekerasan (siapa tahu ada yang nanya) itu sulit. –> baca: proses pendaftaran menjadi anggota KLIP bagi saya agak sulit.
Harus jadi anggota FB group-nya dulu (buru-buru mengaktifkan FB account kosong yang biasanya cuma dipake buat trade barang-barang di game online), harus ngisi formulir di website KLIP.web.id, harus ngarang nama palsu karena nggak mau diketahui… gitu deh. Untungnya ada si Sep yang karena (ternyata) dia udah jadi pengurus, jadi sudah hapal seluk beluk labirin yang misterius ini. Emang yah, meskipun Korupsi, Kolusi dan Nepotisme terus berusaha dikikis dari permukaan, tapi yang namanya punya ‘orang dalam’ itu bedah, sodarah-sodarah.
Singkat cerita, saya sudah masuk ke dalam KLIP. Yang penting kamu mulai nulis dan setoran, sabda Sep. Untungnya, kira-kira enam bulan sebelumnya saya sudah punya blog baru yang agak-agak anonim. Itupun gara-gara Sep. Jadi si Sep ini sudah jauh-jauh hari mengkondisikan sampai saya siap ditarik masuk KLIP. Luar biasa kamu, Sep.
Begitu saya masuk KLIP dan rajin setoran, tiba-tiba saya mendapatkan undangan untuk masuk ke Whatsapp Group KLIP. Waduh, saya terus terang minder nggak tahu mau ngomong apa. Apalagi dengan niat untuk stay hidden, tidak diketahui, tidak dikenal, dan tidak dianggap (haha). Tapi ya namanya udah punya jiwa seorang pembicara, lama-lama nggak betah juga diam terus. Entah gimana caranya saya mulai membuka suara.
Dan dalam sekejap mata, sosok saya yang berlindung di balik nama pena langsung terbuka rahasianya. Dibukakan oleh sepupu lain yang mainstreamnya emang cerita-cerita detektif dan pembunuhan. Dan si sepupu ini, bersama beberapa perempuan satu almamater saya – adalah downlinenya si Sep! Jadi, jebakan ini ternyata bukan hanya untuk saya saja. Luar biasa kamu, Sep.
*Ini sebenarnya lagi cerita tentang siapa sih, Sep, atau saya, atau tentang KLIP?
Ramah Tamah
Anyway, setelah mulai membuka mulut, lama-lama saya makin berani untuk mengambil bagian di dalam organisasi berbasis dunia maya ini. Saya ingat pertama kali saya ikut acara zoom Klub Buku KLIP. Sambil mengasuh anak-anak yang bermain ke taman bermain di dekat rumah, saya ikutan zoom. Perasaan malu, minder, belum mandi dan tidak dandan, dan harus bertemu dengan orang-orang yang belum pernah saya kenal.
Duh, gimana kalau mereka tidak suka bentuk hidung saya? Atau tahi lalat yang bertengger di atas bibir saya? Bagaimana kalau mereka tidak suka suara saya yang agak nge-bass dan sumbang? Bagaimana ini, dan bagaimana itu? Apalagi mereka berbicara tentang buku. Sementara satu-satunya buku yang saya sering baca dan jadikan acuan hanyalah FaceBOOK semata. Bagaimana kalau saya ketahuan oon-nya?
Tapi ternyata, sama ramahnya teman-teman KLIP ini di dalam pembicaraan kami di WAG, mereka sama ramahnya juga ketika kami bertemu muka melalui sambungan mobile data. Yang namanya mbak Elsa, mbak Erna, dan mbak-mbak lainnya yang jujurly, masih sulit untuk saya notingly siapa saja dan apa saja bedanya (maaf mbak, saya memang tidak mudah mengingat wajah dan nama. Jangankan nama mbak, kadang-kadang saya lupa nama suami saya :D) – mereka antusias dan ramah sekali menyapa saya yang sedang meringkuk (bukan karena takut) di bawah perosotan (karena nyari tempat berteduh dari matahari yang terlalu garang).
Tema Tantangan Menulis
Salah satu program KLIP yang merubah hidup saya adalah Tema Tantangan Menulis alias TTM. Apaan sih menulis aja ditantang segala? Sep menjelaskan kalau TTM itu memberikan ide untuk orang-orang yang ikut KLIP tapi sering galau mau nulis soal apa.
Sebenarnya sih saya jarang galau mau nulis apa. Karena biasanya saya menulis soal kegalauan saya yang tidak ada habisnya. Tapi melihat Facebook Group KLIP suka masang-masang TTM, dan ada pemenangnya segala, saya jadi penasaran dong!
Menulis dengan tema tertentu – aduhai, kayak gimana sih caranya? Selama ini saya mainstream-nya menulis soal perasaan dan curahan jiwa. Menulis soal pendidikan anak, usaha menjaga lingkungan, manfaat baca buku – aduh semua itu ada di luar kapasitas saya.
Tapi eh ternyata, setelah ikut satu dan dua TTM, saya bisa lho! Ternyata saya si ratu curhat bisa nulis dengan tema yang ditentukan. Dan ternyata, tulisan saya lumayan juga, sampai-sampai satu dua kali menang TTM dan juga menang lomba blog di komunitas blogger almamater saya. Wah, nggak nyangka ya!
Ketua Kelas
Sayangnya, karena keseringan ikutan TTM, si Sep (lagi-lagi si Sep) jadi kepikiran untuk menjadikan saya anggota kepengurusan KLIP – jurusan TTM. Memang KLIP butuh tenaga pengurus. Mungkin seperti kata Alkitab ya, tuaian ada banyak, tetapi pekerja hanya sedikit.
Saya tentu saja tidak berminat. Buat saya, tidak pantas rasanya orang yang baru saja masuk suatu organisasi lalu lantas masuk ke dalam dewan pengurus. Kenal ‘orang dalam’ itu berguna, jadi gampang nanya-nanya. Tapi saya tidak pernah punya niat untuk mengikuti jalur KKN lalu menerima jabatan ketua kelas. Jalur kongkalikong buat jadi ketua – itu tidak boleh, kata bang Rhoma Irama.
Itulah mengapa waktu sang ketua dari segala ketua KLIP membuka pendaftaran untuk orang-orang yang ingin menjadi pengurus, saya diam saja. Ya iyalah! Baru juga datang masak mau jadi pengurus? Kan anyeeeeeeeeeeehhh!
Tapi ternyata, KLIP betul-betul butuh tenaga. Dan karena tidak ada yang mendaftar, saya pun akhirnya menyerah pada desakan si Sep. Bukan karena si Sep pintar merayu (dia mah kalau nyuruh gak pernah manis-manis rayuannya, apa adanya aja), tapi karena saya memang orangnya tidak tega-an. Kalau ada orang butuh bantuan, masak saya diam saja…
Dan jadilah saya… pengurus TTM. Yang tadinya rajin ikutan TTM, jadi rajin menghantui orang untuk ikutan TTM. Segala cara saya lakukan, mulai dari cara baik-baik, sampai metode agak mengancam (hahaha). Buat saya, saya ingin semua orang pernah merasakan ilmu yang didapat dari TTM ini.
Aside from TTM part, menjadi ketua kelas berarti menambah tiga group chatting buat saya. Dua WA group, dan satu Telegram group. Entah apa saja isinya. Tapi sama seperti saya sering mendapat ilmu lewat WA Group kelas KLIP, saya juga sering mendapat ilmu baru dari WAG Ketua Kelas KLIP. Jadi kayak double source gitu-lah.
Lewat peran saya menjadi salah satu ketua kelas (baca: pengurus, red.) KLIP, saya terpaksa belajar banyak hal. Mulai dari menggunakan aplikasi Canva untuk membuat poster dan semacamnya, menggunakan Google Docs dan Google Sheets, dan semua hal yang ya dan amin sudah saya lupakan. Kalau ingat saya dulu sempat jadi ekpatriat bekerja sebagai perancang (bukan busana) di negara lain, kok bisa ya sampai sudah tidak tahu apa-apa lagi soal ini dan itu.
Tapi berkat tanggung jawab baru ini, saya terpaksa belajar kembali.
Belajar kembali
Namanya belajar kembali, ya jadi kembali belajar. Belajar satu hal bikin kamu pingin belajar hal lain. Bertemu dengan teman-teman yang sudah jadi penulis, ingin menjadi penulis, mencoba menjadi penulis, suka membaca tulisan penulis – tidak membuat saya menjadi ingin menjadi penulis. (Ini sengaja ditulis muter-muter begini, biar asyik kayak jalan di lorong-lorong departemen store). Saya tetap tidak punya ambisi untuk menjadi seorang penulis, but yet, saya belajar banyak hal dari teman-teman ini.
Apa yang namanya antologi, apa yang namanya diksi, PUEBI, menulis menggunakan kerangka, SEO blog, wordpress blog (yang membuat saya tiga kali pindah alamat website!), dan masih banyak lagi. Tadinya pengetahuan literasi saya hanya serasa kerupuk terasi, tetapi sekarang lumayan bertambah sampai-sampai saya pun ingin menjadi penggiat literasi.
KLIP juga mengajarkan saya apa artinya konsistensi. Dan hal terakhir yang ingin saya ceritakan adalah KLIP membuat saya terbiasa mengarang bebas – seperti malam ini. Apapun, tuliskanlah! Hempaskan saja gelas-gelas itu ke lantai – asal kamu bisa menulis lebih dari 500 kata sehari dan setoran, aku tidak takut bila harus membersihkan serpihan-serpihannya!
Akhir kata
Akhir kata, tiada gading yang tidak retak, dan tiada persahabatan tanpa air mata. Tidak ada tawa tanpa ringisan, dan tidak ada suka tanpa nestapa. KLIP bukanlah sebuah komunitas yang sempurna, karena saya pun bukan manusia tanpa cacat cela.
Tapi saya bersyukur kepada hadirat-Nya, kalau hampir setahun ini, Tuhan sudah membukakan jalan bagi saya untuk berkembang dan bertumbuh, melalui sebuah komunitas yang begitu bersemangat untuk memajukan literasi perempuan Indonesia.
Terimakasih KLIP, terimakasih para ketua kelas yang tanpa pamrih memperhatikan anggota-anggotanya. Terimakasih Sep sudah membawaku ke sini.
Semoga kebaikan kalian mendapatkan limpahan balasan dari Surga. Dan semoga saya juga bisa memberikan sebuah sumbangsih bagi para anggota yang lain, meskipun tidak banyak, tapi semoga bisa memberkati sesama. Amin.
mana link skripsinyaaa
Kerennnnn… Semoga saya tahun ini ikutan ga malas menulis..