Daging Giling


Ekspektasi dalam Pernikahan

Sore ini tiba-tiba saya teringat sebuah nasihat yang kami dapatkan pada sesi bimbingan pra-nikah dari gereja. Adalah sebuah program yang umum bagi pasangan yang akan menikah untuk mengikuti bimbingan pra-nikah. Biasanya program bimbingan ini berlangsung beberapa minggu lamanya. Di dalamnya kita akan diajarkan mulai dari konsep pernikahan sesuai Alkitab, sampai contoh-contoh soal yang bisa terjadi di dalam pernikahan dan bagaimana cara mengatasinya dengan baik sesuai iman dan etika Kristen.

Karena saya dan si dia terpisah beberapa samudera, kami mengikuti bimbingan pranikah di gereja masing-masing, di negara masing-masing. Hanya saya sempat ikut secara online di beberapa pembicaraan bersama pendeta dari gereja si dia di Belanda.

Waktu kami akhirnya bertemu dan hendak melangsungkan pernikahan, kami masih perlu melakukan pertemuan langsung Pak Pendeta dan majelis jemaat di mana pertunangan dan pernikahan kami akan dilangsungkan. Duh, ribet amat yak! Mungkin karena kami agak lama baru bertemu jodoh, biar yakin awet jadi kami menerima lebih banyak nasihat dibandingkan dengan pasangan lainnya, hehehe.

Back to cerita nasihat ini, salah satu momen saya dan si dia bertemu langsung dengan majelis jemaat untuk menerima nasihat pernikahan, si Bapak majelis ini tiba-tiba berkata, “Oh ya, saya juga mau memberikan nasihat ini. Jangan membuat kebiasaan yang akan membuat persoalan di kemudian hari.”

“Misalnya, ini hanya perumpamaan saja ya, istri saya biasa menghidangkan pisang goreng setiap sore kalau saya pulang kerja. Nah, kalau hal itu sudah jadi kebiasaan, nanti kalau dia tidak bikin pisang goreng lagi, saya bisa merasa terganggu dan menjadi marah. Lalu hal itu menjadi pertengkaran.”

*Errr*

Sebagai perawan berumur yang sudah merasa cukup bijaksana, saya tidak habis pikir kenapa si Bapak tiba-tiba bercerita tentang pisang goreng. Di dalam hati saya bertanya-tanya, apakah si Bapak punya kejadian traumatis di dalam keluarga karena pisang goreng ini?

Masak gak boleh sih kita memberikan yang terbaik untuk pasangan kita? Jadi kita harus yang secukup-cukupnya aja gitu? Padahal kita bisa, lalu kita tidak mau melayani dengan sepenuh hati? Begitu pikir saya waktu itu, merasa heran dan sedikit terganggu dengan teori si Bapak yang seperti kurang berdasar. Ya paling tidak, begitulah pikiran saya malam itu, sampai malam ini…

Hanya daging giling

Malam ini saya tidak tahu mau masak apa. Sejak tadi pagi, persoalan mau makan apa nanti malam sudah menjadi momok yang mengganggu. Rasa lelah setelah tiga minggu seisi rumah bergantian sakit membuat saya benar-benar tidak selera berjibaku di dapur.

Membeli makanan di luar bukan opsi yang umum buat keluarga kami. Dan idealisme saya membuat saya terbiasa memasak sendiri hampir semua masakan, jarang memakai bumbu jadi, jarang memasak makanan yang setengah jadi dan lain-lain. Teman-teman bercerita di saat mereka malas masak, asal ada telor diceplok ya sudah jadilah. Tapi bagi si dia, makanan tanpa daging itu bukan makanan. Runyam!

Untunglah di freezer saya hampir selalu ada makanan persediaan. Biasanya freezer saya penuh dengan segala masakan yang masaknya butuh waktu lama: rendang, ayam bumbu kuning, somay, dan lain sebagainya. Tinggal dipanaskan dan tralala, siap sedia. Tapi belakangan ini saya sudah agak lama tidak masak besar.

Yang ada di freezer hanyalah daging giling yang ditumis dengan berbagai macam sayuran yang dipotong kecil-kecil. Semacam tumisan yang bila diberi saus tomat yang banyak akan menjadi saus pasta – tapi tanpa saus tomat. Ini menu andalan untuk anak-anak karena rasanya cocok bagi mereka dan mudah dimakan (kecil-kecil potongannya).

Rasanya enak lho. Tapi karena sejak anak-anak balita ini jadi menu pamungkas untuk mereka, somehow si dia jadi berasumsi kalau si daging giling ini khusus untuk anak-anak saja. Kurang pantas dikonsumsi oleh Bapak Ibunya.

Tapi ya, meskipun saya yakin si dia akan bermuka kecewa ketika dia turun dari loteng tempat dia bekerja (WFH, istilah kerennya) untuk makan malam… tapi ya mau gimana lagi. Malam ini, menunya hanya daging giling. Dan somehow, saya mengerti kenapa si Bapak malam itu, di antara nyamuk-nyamuk nakal yang berambisi menghirup segenap darah manis dari lengan dan betis saya… kenapa dia tiba-tiba hampir menangis bercerita tentang pisang goreng… ya, malam ini saya paham alasannya.

Ekspektasi dalam pernikahan

Diterjemahkan secara bebas dari kamus, ekspektasi berarti: perasaan atau kepercayaan bahwa sesuatu akan dan seharusnya terjadi. Nah, dari definisinya ini saja sudah tahu kan kenapa dan bagaimana sebuah hubungan itu bisa kacau karena salah satu atau kedua pihak memiliki ekpektasi yang ternyata tidak tercapai? Karena kata-kata ‘bisa, dan seharusnya terjadi…”

Jadi kalau ternyata tidak terjadi, akan ada perasaan-perasaan teriris yang bila setiap hari ditumpuk, bisa bikin hati yang tadinya cuma tersayat jadi bocor lalu bubar grak jalan. Itulah mengapa, konon, ekspektasi yang tidak sesuai telah menjadi alasan terbesar di dalam kasus perceraian. Menurut survey yang dilakukan entah dimana, lebih dari 50% persen pernikahan berakhir karena urusan ekspektasi.

Jadi, ternyata maksud si Bapak dari gereja malam itu adalah, “Hati-hati terhadap ekpektasi berlebihan. Kalian akan kecewa bila tidak tercapai, dan itu bisa menimbulkan keretakan.”

Hati-hati terhadap ekpektasi berlebihan. Kalian akan kecewa bila tidak tercapai, dan itu bisa menimbulkan keretakan.”

si bapak dalam episode pisang goreng yang mengecewakan

Ekspektasi dalam hubungan

Di dalam hubungan dua atau tiga orang dengan posisi yang seimbang, adalah wajar dan normal untuk memiliki ekspektasi. Misalnya di antara suami istri, pasti dong kita punya ekspektasi dari calon suami/istri kita. Misalnya dulu, saya punya ekspektasi kalau suami saya nanti bisa menerima saya apa adanya, tidak merokok, dan kalau bisa ganteng, hehehe.

Hanya di dalam hubungan antara Bunda Teresa dengan para pengemis di jalanan di Kalkuta – mungkin tidak ada ekpektasi di dalam hati sang Bunda tentang apa yang dia harapkan akan didapatkan dari orang-orang yang menderita yang ditolongnya.

Tapi selama hubungan itu masih relatif seimbang sifatnya, pasti akan selalu ada ekspektasi. Bahkan antara orangtua dan anak, ada ekspektasi yang ingin dan perlu dipenuhi oleh kedua pihak. Antara boss dan karyawan, antara guru dan murid, antara rakyat dan presiden… semua orang punya ekspektasi.

Persoalannya, bagaimana cara menjaga ekspektasi tetap wajar dan normal?

Ekspektasi ala drakor dan Facebook

Selama seorang wanita masih single dan belum menikah, selama itulah dia membangun list harapan, mimpi dan ekspektasinya tentang pria yang akan menjadi pasangannya. Searching for Mr. Right – menjadi sebuah quest yang maha panjang. Dan semakin panjang penantian, bisa-bisa semakin panjang list ekspektasinya 😀

Punya ekspektasi itu wajar, harus, dan normal. Yang bikin itu bermasalah adalah ketika kita salah mencari referensi di dalam membuat ekspektasi… Sebagai cewek normal yang suka cerita-cerita cinta, tentu saja saya pun tidak lepas dari pengaruh drama-drama.

Untungnya saya baru kena racun drakor setelah menikah, tetapi tetap saja, roman-roman picisan tentang Natal yang magis ala Hallmark movies – tiba-tiba ada cowok yang mapan, jutawan, kekar dan berparas rupawan (dan anehnya masih jomblo – that should have been a yellow light!) kempes ban mobilnya persis di depan rumah saya yang ada di pedalaman Bekasi dan pas tidak ada bengkel yang bisa dipanggil, dan tidak ada bala bantuan lainnya.

Setelah dengan terpaksa membiarkan si cowok ini menginap di rumah saya di mana entah kenapa saya sendirian (orangtua saya sedang ada kenduri pernikahan keluarga di kota lain, dan karena saya malu sudah tua masih jomblo saya memutuskan tidak ikut serta – kisah nyata, red. Hanya bagian malu sudah tua masih jomblo dan ogah ikut ke pernikahan saudara saja, hehehe) si cowok ini akhirnya pun jatuh cinta kepada saya dan begitu pula sebaliknya, saya kepadanya. Meskipun sempat ada drama pertengkaran yang konyol karena tadinya saya pikir dia maling ayam yang belakangan ini sudah meresahkan warga.

Dan tentu saja, karena ternyata dia adalah seorang CEO muda dari sebuah perusahaan di bilangan perkantoran Sudirman yang mentereng, kami lantas pindah rumah ke sebuah apartemen mewah yang hanya sepeminuman teh jaraknya dari kantor beliauh. Kami menikah dan hidup bahagia selamanya, dan saya boleh menjadi sekretaris beliau, atau ya entah apa jabatan apa yang tersedia di sana.

Itu ala drama. Kalau pendidikan calon istri ala Facebook biasanya adalah foto-foto mesra suami istri dengan notes panjang-panjang. Yang judulnya kira-kira: 10 Karakter Suami Setia, atau Inilah Ciri-Ciri Suami Idaman. Isinya?

SUAMI selalu menggandeng tangan istrinya saat berjalan, jikapun satu tangan jg tak bisa menggandeng krn suatu hal, SUAMI selalu meminta istrinya yg menggandeng tangannya. Alasannya dia bertanggung jawab atas jalan istrinya supaya selalu aman.

SUAMI selalu mencium kening istrinya disaat-saat tertentu, sebelum & sepulang bekerja, sebelum dan sesudah tidur. Alasannya sebagai tanda bahwa dialah pelindung & penenang istrinya agar istrinya selalu merasa nyaman.

SUAMI tidak pernah berteriak pd istrinya, alasannya suara yang keras dari suami utk istrinya adalah cambuk yang menyakitkan.

SUAMI tdk prnah mencela dan memaki istrinya sebesar apapun kesalahan yang diperbuat alasannya makian dan celaan bukan kata yang bijak mengajarkan kebenaran.

Hal-hal indah, tapi juga bisa terlalu ideal dan menimbulkan ekspektasi yang berlebihan bila tidak diseimbangkan dengan kenyataan bahwa SUAMI juga manusia.

Ekspektasi sehat, sikap realitis dan toleransi

Sebagai manusia yang merupakan ciptaan Tuhan yang didesain menurut gambar dan rupa-Nya, kita patut dan perlu memiliki ekspektasi yang ideal di dalam menjalani hubungan. Saya pribadi mengacu kepada Alkitab, tentang bagaimana seorang istri harus bersikap. Eh, permisi, nggak salah dengar kah? Kok tentang istri, dan bukan tentang suami?

Iya, karena di dalam menge-set ekspektasi, kalau kita mau bikin list ekpektasi yang tinggi-tinggi, itu harus dimulai dari diri sendiri. Jangan terlalu mengharapkan seseorang melakukan yang sempurna, bila diri pun masih taraf coba-coba. Sama seperti kita ingin diterima apa adanya, si dia pun ingin diterima dengan sebagaimana dia. Jadi, kalau mau menuntut seseorang untuk bestandard tinggi, ayo mulai dari diri!

Punya referensi profil ideal untuk diri sendiri membuat kita terpacu untuk belajar dan memperbaiki diri. Profil ideal tentang pasangan yang diinginkan juga perlu dong. Masak kita mau menikah dengan ‘cowok pertama yang masuk ke dalam mall ini’? Kalau yang masuk Pak Satpam bagaimana? Bukan apa-apa, kalau Pak Satpam udah menikah, kan repot kalau memaksa jadi istri kedua, lol.

Cowok ideal menurut Alkitab? Buat saya ini cara paling aman untuk menciptakan ekspektasi yang realitis. Meskipun standarnya jelas tinggi, tapi minimal di dalamnya tidak perlu mencari cowok yang mapan, berprofesi sebagai CEO, tampan dan juara foto model di majalah pria Kontan.

Kenapa saya bilang menaruh Firman Tuhan sebagai referensi dalam menciptakan ekpektasi itu aman? Karena meskipun karakter suami yang digambarkan di dalam Firman itu sangat ideal (dan hampir tidak bisa dicapai selama kita masih di dunia ini), tetapi inti dari semuanya adalah kasih. Kasih kepada Tuhan, dan kasih kepada sesama.

Kasih membuat kita punya kadar toleransi yang tinggi. Kesiapan yang lebih besar untuk menerima bahwa seseorang tidak melakukan apa yang kita harapkan, atau menerima bahwa dia melakukan apa yang tidak kita inginkan. Itulah mengapa kalau kita cepat sekali kesal terhadap kelakuan seseorang, itu sign yang mudah untuk melihat bahwa toleransi kita terhadap dia itu kurang banyak – dan itu salah satu tanda kadar kasih kita kepada mereka mungkin tidak sebesar yang kita pikirkan.

Kasih yang menyempurnakan

Pada akhirnya, setinggi apapun ekspektasi yang kita miliki terhadap pasangan kita, atau sahabat, rekan, anak, dan siapa saja… cuma satu hal yang bisa mengimbanginya. Kasih kita terhadap mereka, kasih inilah yang membuat kita bisa menerima kenyataan kalau saya adalah manusia yang tidak sempurna, begitu pula dengan si dia – dia pun manusia, tidak (selalu) sempurna.

Jadi bila malam ini kami hanya makan berlauk daging giling yang bukan favorite si dia, saya harap (dan saya optimis) si dia tidak akan (terlalu) mempermasalahkannya. Alasannya? Dia mengasihi saya. Dan seperti saya kutipkan dari kata-kata beliau, “Cinta tidak butuh alasan, cinta juga tidak akan terlalu mempermasalahkan.”

Kasih menyempurnakan.

Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.

1 Korintus 13: 4 – 8

2 Thoughts on “

Daging Giling


Ekspektasi dalam Pernikahan

  1. Cerita pisang goreng itu betul banget ya Dea. Beberapa aku juga ngalamin, di rumah aku hampir tiap hari juga masak, dan sebenarnya suami juga bolak balik bilang ngga apa ngga masak kalau lagi sibuk. Tapi sebetulnya ada potensi jadi kaya pisang goreng itu.

    Setuju banget dengan bahasan soal ekspektasi, menurutku paling bahagia itu sebetulnya orang yang ngga punya ekspektasi lho, tenang dan ga stress hidupnya.
    Aku kadang nonton korean drama, tapi untung ngga jadi referensi haha. Facebook sih udah say good bye lama, ngga tahan.

    1. Hallo May, makasih udah mampir 🙂 Hehee.. iya kalau kita bisa gak punya ekspektasi malah gak stress ya. Kelebihan ekspektasi emang bakal jadi sumber masalah di kemudian hari. Aku menyoroti soal FB karena melihat aja ada teman-teman yang pasang artikel pasangan ideal itu kayak gimana… biasanya lalu istri2 nge-tag suami biar suami baca dan merubah diri kekekkekee.. tapi yaaaa.. ya itulah, ekspektasi dan toleransi harus imbang2 biar gak bikin capek diri sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *