Hati Ibu, Seteguh Batu Karang (Part 1)

This evening, on a very rare occasion I watched my legs after shower (winter has made me wear long pants most of the time). I just realized that both legs are now full of blue “bruises”, those varicose veins I got from this second pregnancy. I know my legs might never be the same again. I might feel somehow hideous wearing a skirt with these blue marks everywhere.

Then I remember my mom, the one woman who bears the same blue marks on her legs. Oh I never even bothered to ask how she got those ugly marks. I thought she was just ‘tired’, but that could have been me in her belly who had made her tired and permanently bruised. And thinking of other scars that I might have left her while she raised me… I know my legs might never be the same again. I might feel somehow hideous wearing a skirt with these blue marks everywhere.

But instead of ‘blaming’ it to my baby inside, or to the lil’ cub that I often hold from the first to third floor of our house… I’ll remember my mother instead. How she has these blue ugly lines on her legs and said nothing to us, how she never complained, and how she still looks so beautiful even when she wears skirts.

I’m almost 35 weeks pregnant, tired and my legs are blue. It might be the hormones that make me feel a little blue. It’s not even mother’s day but this I would like to say to you,

Mama, I’m sorry for leaving you scars, I love you, and thank you…

My notes, 17 November 2013

Hari ini, tanggal dua puluh dua Desember adalah Hari Ibu. Rasanya pantas saya membuat sepotong tulisan tentang bagaimana peran ibu sudah mengubah kehidupan saya selama hampir sepuluh tahun belakangan ini. Yeah, I think I deserve to write this as a tribute  to myself. At least today, after what has just happened.

Waktu kecil, saya sering berpikir kalau saya ingin menjadi ibu. Selain dari rasa kagum kepada Mama saya yang tampak luar biasa, mungkin saya terpengaruh juga dengan berbagai macam idealisme yang saya dapat dari buku-buku yang saya baca. Ma di Laura Ingalls Wilder, atau Monika, ibu dari Santo Agustinus. Perempuan-perempuan yang lembut, tapi hatinya seteguh batu karang, menjadi jangkar bagi anak-anaknya.

Lucunya kalau saya sekarang berpikir tentang ide-ide saya dulu itu, saya merasa lucu. Saya yang dulu sangatlah naif dan lugu. Cerita-cerita semacam itu hanya indah diceritakan, tapi tidak mudah dan hampir tidak indah untuk dijalani. Aneh sekali membayangkan DIP tiga puluh tahun yang lalu, berani-beraninya meng-klaim kalau dia akan menjadi ibu yang baik dengan sifat-sifatnya yang menye-menye seperti itu. Andai saya bisa bertemu dengan saya versi puluhan tahun yang lalu, saya pasti berkata pada dia, “Get real, girl. You are not fit to do this job.”

Tadi siang saya membawa anak-anak ke rumah seorang teman untuk memberi makan kucing karena si teman sedang pergi liburan. Anak-anak senang sekali bermain dengan kucingnya. Saya tidak suka kucing, hehehe, tapi ya namanya ingin membantu teman plus sekalian membiarkan anak-anak menyalurkan keinginan mereka untuk punya binatang peliharaan, jadi saya tidak menolak waktu dimintai pertolongan.

Semua berjalan baik-baik saja. Ini hari kedua kami memberi makan kucing, dan kali kedua si teman pergi liburan dan meninggalkan kucingnya untuk kami urus. Jadi kami tidak terlalu asing dengan rumah itu. Tapi ya namanya bukan rumah sendiri, ya kami tidak paham semua lekuk rumahnya.

Si kucing lari ke atas dan anak-anak minta izin untuk memancing si kucing kembali ke bawah. Saya mengiyakan. Memberikan snack sebagai pancingan dan berpesan “Jangan lupa tutup semua pintu kalau ada yang terbuka, biar kucingnya nggak masuk ke dalam kamar tidur,” kata saya.

Saya masih sibuk di dapur membersihkan sesuatu ketika ada suara keras seperti barang jatuh. Aduh, pikir saya. Kan mereka cuma boleh ke atas untuk panggil kucingnya, mereka tidak boleh masuk atau pegang barang apapun, kok bisa sampai ada barang yang jatuh?

Suara keras itu masih berlanjut, duk, buk, duk buk, gedebum. Hati saya langsung beku. Si Bungsu menjerit, dan si Sulung berteriak-teriak. Hati saya berubah menjadi batu. Saya berlari ke depan dan melihat si bungsu terbaring dengan tubuh tertekuk di atas bak makanan kucing. Kepalanya terbentur pemanas ruangan. Si Sulung berusaha menarik untuk membantu sambil berteriak-teriak karena panik. Si bungsu menangis sekeras-kerasnya. Dia jatuh dari lantai dua! 12 anak tangga!

Kalau yang ada di situ adalah DIP yang dulu, pasti dia akan ikutan nangis juga. Tapi yang ada di situ adalah Mama. Sang Mama yang menahan napas dan berusaha mengangkat si Bungsu dari posisinya yang aneh, berusaha menolong tapi juga sambil mencerna segala emosi yang campur baur. My precious girl. My beautiful daughter! Lying on the floor in an acrobatic position. Did she break her neck? Is her HEAD ok? What if something worse happened? What if she was actually hurt? What is happening, actually?

She’s no longer this small, but she’s still my sweet girl. To watch her falling was so painful to me!

Saya memeluk dia, berusaha memeriksa kondisinya di antara tangisan dan jeritan, lalu memutuskan untuk membawa anak-anak keluar dari rumah itu. Di mobil saya menelepon dokter dan menjelaskan segala sesuatu. Asisten dokter menyuruh kami datang ke tempat praktek mereka. Setelah itu saya menelepon suami, menjelaskan si Bungsu jatuh, dan sekarang perlu di bawa ke dokter. Kepalanya terbentur, tangan kirinya sakit sekali. Iya, aku bawa ke dokter dulu. Ok, sampai nanti.

Sekian. Clean and cold. As cold as a stone that my daughter loves to keep in our refrigerator. Puji Tuhan di tempat yang Maha Tinggi, si Bungsu nampaknya tidak apa-apa. Dokter membolehkan saya membawa dia pulang dengan pesan untuk diawasi dan diberikan paracetamol karena pasti dia akan memar dan sakit selama beberapa hari.

Hari sudah semakin sore. Hari ini saya berencana masak mie bakso kuah untuk makan malam tapi baru setengah jadi. Saya juga perlu berbelanja karena kami tidak punya sayur, buah, telur dan tisu WC. Pulang ke rumah baru berbelanja jelas tidak praktis. Suhu hari ini sudah mencapai minus dua. Pasti tidak jadi belanja kalau saya harus mengantar mereka ke rumah dulu. Plus, saya butuh sayur untuk makan malam.

Sekaligus menghibur supaya suasana hati mereka lebih cerah, saya mengusulkan, “Anak-anak, yuk kita beli McDonalds buat kalian makan malam. Habis itu Mama belanja ya, supaya tidak capek kamu tunggu Mama di mobil saja. Nggak usah ikut turun, Mama cepat kok belanjanya.” Mereka pun setuju, gembira dengan prospek bisa makan Happy Meal. Plus setelah begitu banyak tangisan, mereka memang sudah lapar.

Kami pergi ke McDonalds, pesan lewat drive-thru, anak-anak makan di mobil dan melanjutkan ke supermarket. Di sana parkir penuh sekali, perlu memutar beberapa kali sampai dapat tempat yang kosong. Kebetulan dapat parkirnya jauh pula dari si supermarket itu.

Saya pun turun, berpesan sama anak-anak untuk hati-hati dan buru-buru menuju ke supermarket. Di sana saya dengan cepat mengambil semua barang yang saya butuhkan, mengantri di kassa, bayar dan segera kembali ke mobil.

Penasaran? Baca kelanjutannya di cerita Part 2!

12 Thoughts on “Hati Ibu, Seteguh Batu Karang (Part 1)

  1. Aku ikut berkaca2 teh bacanya. Aku jadi teringat punya tetangga yang baru bisa lepas nangis ketika anaknya keluar rumah, waktu suami & bapak anaknya meninggal.

    Ibu punya berlapis emosi ya teh, demi kestabilan keluarga 😉 virtual hug buat teh Dea dan semua Ibu yang mengalami hal yang sama

    1. Semua kita para Mamah pasti ada aja sih waktunya menegarkan hati, Teh Andina… aduh aku nggak kebayang jadi tetangganya Teh Andin.. tapi ya jadi ibu ya memang gitu, terpaksa dan dipaksa kuat demi anak-anak

  2. wow banget, kalau aku sih pas anak nabrak sofa dan gigi lepas luka berdarah, reflek pertama tentu saja nelpon pak suami yang padahal saat itu berada di benua nun jauh dari lokasi rumah hahaha…

    tapi berikutnya tentu saja mencari solusinya dengan mencari bala bantuan lainnya hahaha….
    oot. giginya akhirnya skrg mulai keliatan penggantinya datang, setelah bertahun-tahun terlihat ompong.

    Semoga O ke depannya lebih berhati-hati dan ga ada kejadian seperti ini lagi yaaaa

  3. Ya ampun teteh, bacanya bikin ikutan hariwang. Memang jadi mak mak, suka dapat kekuatan super entah darimana gitu ya. Apalagi urusan anak. Biasanya habis semua beres baru terasa energi habis. Hehe.

    Semangat teteh! Kita bisa!

  4. Duh ikutan deg-degan bacanya. Bagian terberat memang menjaga tetap logis bisa berfikir tenang saat perasaan hati kesana kemari yaa, apalagi kalau sudah terkait anak, duh acak adut.hahaha. emang ibu2 diciptakan berkekuatan super, semangat teh!

  5. Tulisan ini mengandung bawang yaaa :”)
    Relatable banget dan kagum banget sama Teteeeeh, pasti lebih tidak mudah jadi ibu sekaligus merantau jauh dari support system. Semangaat Teteeh

  6. Yah, jadi ibu memang harus bisa bersikap tenang untuk menghadapi segala peristiwa.
    Btw, saya juga gak suka kucing. Saya lebih suka burung, ikan dan kuda.
    Semoga anak-anak sehat selalu ya.

Leave a Reply to Restu Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *