Cerita Dari Seorang yang Tak Suka Traveling

Traveling – mendengar kata ini, yang langsung terpikir adalah: “gak gue bangeud!” Itu mengapa ketika MGN memilih Pengalaman Travel yang Berkesan sebagai tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Februari 2022, saya langsung menciut.

Tapi karena ingin konsisten mengerjakan tantangan, yuk mari Mamah, simak cerita berikut.

Badan Rambo kesehatan Rinto

Sejak kecil badan saya ‘besar’. Nggak besar-besar amat, tapi kurang meyakinkan dilihat sebagai orang yang gampang sakit. Kena hujan sedikit atau makan es bisa mengirim saya ke dokter. Karena bosan bayar dokter, Mamapun menjaga saya dengan sikap sifat preventif dan sedikit posesif.😅

Alhasil, yang namanya jalan-jalan – apalagi dengan teman merupakan hal asing buat saya. Kalau dulu mereka ikutan berkemah dan semacamnya, saya di rumah saja.

Pertama kali ke luar negeri

Tahun 2006, saya sempat lumpuh beberapa bulan. Tangan dan kaki tidak bisa digerakkan, lemas tak bertenaga. Hal ini terjadi ketika sedang giat bekerja di sebuah konsultan arsitektur di Jakarta Pusat. Mungkin terlalu banyak lembur plus kurang makan membuat pertahanan tubuh berkurang.

Perusahaan melepas saya dengan alasan kesehatan tidak kondusif 🥲 Tanpa pekerjaan, tanpa pesangon dan (terlihat) tanpa masa depan, saya pun memutar otak bagaimana cara untuk move on. Setelah beberapa bulan, tangan dan kaki sudah mulai bisa digerakkan – tapi di mana ada pekerjaan arsitektur yang tidak butuh begadang?

Ada seorang teman yang  baru diterima bekerja di Singapura, dari ceritanya, tampaknya atmosphere pekerjaan masih lebih manusiawi dibandingkan di Jakarta. Nekat, saya pun mengirimkan beberapa email ke sana. Tiga hari kemudian saya mendapatkan jawaban! Saya diundang untuk interview!

Dengan seluruh uang yang ada (hanya 7 juta rupiah atau setara 1000 SGD), saya berangkat. Itu adalah penerbangan saya pertama kali ke luar negeri. Karena tidak punya dana untuk bolak-balik, saya membawa satu koper besar berisi semua baju dan dokumen. Saya berniat untuk sebulan penuh tinggal di sana untuk mencari pekerjaan, dan langsung mulai kalau diterima.

Masih teringat, semua perasaan bercampur aduk menjadi satu. Dengan kaki pincang saya keluar dari pesawat menuju ruang utama Changi Airport yang besar dan megah. Di sana ada si teman yang menjemput dan membawa saya dari Changi di ujung Timur Singapura sampai ke Bukit Batok di ujung Baratnya.

Naik MRT untuk pertama kali, melihat Singapura yang bersih dan tertata rapi, dengan lampu dan apartemen yang menjulang tinggi membuat saya diam-diam menahan napas. Si teman membawa saya kepada teman lain yang kemudian menampung saya menginap di rumahnya.

Itulah pertama kali saya ‘traveling’ ke luar Indonesia – mencari kerja. Dua hari kemudian saya di-interview dan hanya satu minggu sejak meninggalkan Indonesia, saya resmi menjadi Tenaga Kerja Wanita di Singapura.

Di Singapura, yang saya ingat bukan jalan-jalannya tapi suka duka hidup sebagai TKI bersama teman-teman
Salah satu keuntungan jadi TKW: pindah rumah dibantu banyak TKI lainnya🤣

Meskipun tinggal di negara yang sering didatangi turis, saya jarang jalan-jalan. Pergi berfoto dengan Merlion atau Little India hanya saya lakukan waktu orangtua akhirnya datang berkunjung – dua tahun kemudian! Sisanya ya kantor – rumah – gereja. Selain menghemat tenaga juga menghemat uang, karena semua aduhai harganya! Plus, memang suka di rumah saja.

Menyeberang ke Eropa

Empat tahun merantau di Singapura, saya bertemu dengan calon suami. Lucu sebenarnya bagaimana hidup membawa saya lebih dan lebih jauh lagi dari rumah. Saya yang sangat dijaga dan agak ‘dimanjakan’ malah harus merantau jauh dari orangtua dan keluarga.

Tidak pernah terpikir saya akan tinggal di Eropa. Sewaktu kecil dan masih suka belajar, saya sempat berpikir akan melanjutkan studi sampai tingkat doktoral ke luar negeri. Tapi IP pas-pasan di ITG membuat keinginan ini buyar. 🤣 Tidak disangka, akhirnya pergi juga ke Eropa!

Cerita saya dan suami sendiri cukup ‘fairy-tale material’. Bisalah jadi sinetron berjudul: “Suamiku Ternyata Jodohku”! Seorang alumni ITG yang melanjutkan studi ke Jerman lalu bekerja di Belanda, bertemu kembali dengan cinta pertamanya setelah 13 tahun terpisah. Itulah mengapa kalau ada yang bertanya: “Bagaimana sih mendapatkan beasiswa ke Belanda?” Saya akan menjawab, “Duh nggak tahu, dulu ke sini bukan jalur beasiswa tapi jalur cinta!”

Maastricht, kota magis yang penuh dengan kenangan

Pertama kali beremail dengan Pak Suami, beliau bercerita kalau beliau tinggal di Maastricht. Segera saya meng-goggle dan menemukan bahwa Maastricht ini bukan kota biasa!

Kami menikah hanya enam bulan setelah bertemu. Dengan proses cepat dan mendadak, kami menghabiskan semua tabungan untuk mengadakan pesta adat yang ‘proper’. Maklum orang Batak, satu anak paling tua, satu lagi anak perempuan semata wayang. Dan keduanya telat menikah.😅

Lagi-lagi dengan dana terbatas, saya ‘traveling’ ke Belanda. Tapi yaaaa.. Waktu itu semua indah saja! Namanya pengantin baru, meski makan satu piring berdua dan tidur menggelar kasur di lantai, semua terasa kayak surga! Hihihi.

Karena sudah pernah tinggal di Singapura, memasuki Belanda tidak mengejutkan lagi. Kebersihan, keteraturan, tampak serupa dengan negeri Singa. Bedanya adalah cuaca – kami menikah di bulan Januari, saya berangkat ke Belanda di bulan terdingin dalam tahun itu!

Butuh 3,5 jam perjalanan dari Schiphol di tengah Belanda ke kota Maastricht yang ada di Selatan. Kota ini sangat dekat ke perbatasan menuju Jerman dan Belgia. Berbeda dengan kota Belanda lainnya, Maastricht memiliki aura ‘magis’ karena banyaknya bangunan peninggalan abad pertengahan.

Stasiun kota Maastricht indah sekali! Pak Suami membiarkan saya menganga-nganga sebentar mencerap detail  bangunan yang sudah lebih dari 100 tahun itu. Perlahan kami berjalan ke luar – “Di situ tempat aku biasa beli kebab,” jelas suami sambil menunjuk kios di luar stasiun. Haha, detail penting ya itu!

Interior Maastricht Centraal. Foto: wikipedia

Pak Suami membawa saya berjalan kaki dari Centraal Station menuju rumah sewanya. Berjalan cepat menarik koper yang berat di udara dingin yang menusuk, saya berusaha merekam suasana malam yang penuh kelip cahaya di dalam ingatan.

Jalan-jalan di pusat kota Maastricht bukan terbuat dari aspal, tapi dari batu-batu besar. Rumah pertama kami terletak di bagian kota tua, yang penuh dengan bangunan berumur ratusan tahun. Maastricht adalah salah satu kota tertua di Belanda, resmi dicatat berdiri sejak tahun 1204 tapi sudah tercatat namanya di sejarah sejak tahun 500 Masehi.

Pemandangan keluar jendela kamar di pagi pertama di Belanda. Magical banget🥰
Jendela kecil di kanan atas, tempat dadah-dadah dengan PakSu kalau dia mau berangkat kerja

Saya dan suami sering berjalan berdua menyusuri sungai Maas, melawan angin musim dingin untuk berjalan ke pasar yang hanya ada di hari Jumat. TInggal di kota yang indah tapi sunyi bisa juga membuat seseorang kesepian, apalagi bila belum ada teman dan tiba-tiba berubah status dari pekerja metropolitan menjadi ibu rumah tangga.

Sungai Maas, mengalir dari Perancis ke Belgia dan berujung di Belanda

Untungnya suami mendukung hobi saya untuk menjahit. Tempat yang kami kunjungi di minggu pertama adalah toko mesin jahit! Dan Maastricht memiliki pasar kain dengan koleksi yang membuat mata berbinar. 😍

Orang mah minta kemana, si eneng minta ke toko mesin jahit 😂
Carnaval – festival tahunan yang dirayakan besar-besaran di bagian Selatan Belanda, terutama Maastricht
Dikunjungi teman sealmamater dari berbagai penjuru Belanda
Gereja yang dijadikan toko buku
Vrijthof, Maatricht tempat Maestro Andre Rieu tiap tahun konser

Hari Minggu biasa kami isi dengan berjalan kaki ke gereja, sebuah gereja internasional yang menggunakan ruang serbaguna sebuah gereja tua. Selesai gereja kami berjalan ke pusat kota, membeli waffle khas Belgia – satu dibagi dua, membeli es krim – lagi-lagi satu berdua. Menikmati bulan madu sebagai pengantin baru dengan dompet tipis tapi hati penuh dengan bunga. 🥰

Traveling sebagai keluarga

Kami pindah ke Utrecht 10 tahun lalu, dan sejak itu tinggal di rumah yang sama sampai sekarang. Rumah perumnas ala Belanda yang kalau sekilas ya nggak ada magish-magish-nya tapi toh tetap indah juga buat saya.

Suasana hijau di belakang rumah, terkadang ada kawanan domba
Kadang ya ‘traveling’ ke belakang rumah saja. Jalan sore di saat salju tebal sambil membayangkan lagi ke Swiss (belum pernah ke sana) 😅

Lebih dari 10 tahun menikah saya tetap kurang menikmati yang namanya traveling. Apalagi waktu anak-anak masih balita. Duh rasanya rempong banget! Tapi ya sebagai ibu, otomatis ada saatnya akhirnya kami pergi juga untuk jalan-jalan sekeluarga.

Nevertheless, saya bersyukur mendapatkan kesempatan untuk menyusuri jalan yang panjang sampai hari ini. ‘Traveling’ yang bukan traveling, sudah membentuk saya menjadi manusia yang lebih tangguh dibanding saya versi yang lalu.

Pada akhirnya, di mana pun kita tinggal, kemanapun kita melangkah, semua hanya bermakna kalau kita mensyukurinya dan mengambil pelajaran darinya. Sampai ketemu lagi teman-teman, terimakasih MGN yang memaksa saya mengingat Maastricht yang penuh dengan kenangan. 🥰

Coming Soon
Apa pendapat Mamah tentang postingan ini?
Apa pendapat Mamah tentang postingan ini?
Apa pendapat Mamah tentang postingan ini?

17 Thoughts on “Cerita Dari Seorang yang Tak Suka Traveling

  1. Wuiiihhh saya ternganga melihat foto-fotonya, Dea. Indaah ya, kayak saat masiy kecil, dan mimpi jalan-jalan ke Eropa, kurang lebih miriip dengan foto-foto Dea, ehehe. 🙂

    Saya baru mengetahui kondisi Dea saat pernah lumpuh ketika bekerja di Jakarta. Syukurlah sudah sembuh ya Dea, dan sudah tahu penyebabnya, jadi dapat dihindari untuk tidak terkena penyakit tersebut lagi. Sehat walafiat selalu Dea.. 🙂

    Maastricht, meskipun kotanya sunyi dan Dea belum punya teman, tapi pastilah menyenangkan ya, karena kotanya indah dan masih dalam status ‘pengantin baru’ ihihihiiy, pastilah indah ehehehe 🙂

    Toko untuk jahit menjahitnya pun, aku sukaaaa, bener-bener serasa yang ada di mimpi. 🙂

    Dan, sangat setuju sekali, semua akan bermakna kalau kita mampu bersyukur. 🙂

    1. Uril udah pernah ke Eropa? Aku jujur malah nggak mimpi ke Eropa kekeke.. nggak kebayang soalnya nggak akan ada dananya sampe ke sana 🙈 kalau aku yang kunikmati di sini sih bersih dan fasilitas umumnya baik. Plus orang di sini nggak terlalu neko2 jadi mau kita banyak uang kek dikit uang kek nggak terlalu diomongin tetangga hihihi. Makasih ya Uril udah mampir 😘

    1. Hehehe udah pernah bbrp kali aku singgung mbak di postingan2 sebelumnya 😁 Tapi jujur karena liat tiap hari jadinya agak ilang juga sih ke-magisannya. Kadang terlalu fokus sama kesusahan hidup jadi suka lupa melihat keindahan yang sebenarnya ada di depan mata 😔

  2. Aku baca cerita Dea ke Singapura jadi ingat ceritanya Merry Riana. Semoga Dea selalu sehat sekarang ya.

    Selalu ngakak kalau Dea bilang ke Eropa jalur cinta haha, dulu aku pengen banget S2 ke Belanda, tujuannya biar bisa jalan-jalan, dah hampir hampir banget berangkat tapi ga jadi. Akhirnya ke Eropa jalur pegawai wkwk, alias dibayarin kantor.

    1. Funny how destiny brings us ya mba Dea. Padahal ga suka traveling eh malah berjalan jauh banget sampai ke Eropa dan tinggal di sana. Pake jalur cinta pula hahaha.. gemes banget bacanya.

      Btw aku kaget baca cerita tentang lumpuhnya. Kok bisa sampai begitu ya? Apakah akan ada sesi cerita lain di blog tentang ini? Jadi inget waktu masih kerja di konsultan juga..

      1. Dulu kan suka begadang2 gitu Teh, tapi dari dulu emang aku emang ya gak gitu tangguh sih badannya. Pas dibawa ke rumah sakit katanya mungkin aku kena virus yang menyerang receptor di syaraf gitu. Jadi harusnya kan si receptor itu mengirimkan sinyal dari otak untuk menggerakkan otot, tapi si receptor itu rusak jadi dia OON gitu. Sekitar begitulah penjelasannya.

        Jadi otak udah nyuruh kita gerak tapi ototnya diam aja. Setelah bbrp bulan lama2 ototnya bisa dipake lagi, tapi efeknya bertahun2 juga. Kalau aku capek suka jadi agak error lagi.

    2. Hehe iya May… semangat terus siapa tahu nanti ambil double master di sini, atau bahkan PhD? huhuy 🥳 Emang ya tau2 kita ada aja ya jalannya untuk melakukan sesuatu,. Semua itu kebaikan Tuhan semua. Makasih ya dah mampir 🥰

    1. Iya Teh.. skrg jadi tahu deh kalau dosen2 suka menggambarkan ini itu kayak apa. Meski di dalam Eropanya sendiri aku belum terlalu banyak explore, soalnya ya itu nggak suka traveling 😆

      Aku malah terinspirasi Teh Dewi nih yang udah kemana-mana di Indonesia. Semoga kalau mudik ke Indonesia bisa agak jalan2 kemana gitu biar lebih banyak tahu. Makasih ya teh dah mampir ke sini 🥰

  3. Waah seru banget sempat tinggal di Maastricht. Waktu jalan2 ke Eropa, Maastricht salah satu kota favorit saya dan suami karena indah dan memang kami tidak terlalu suka kota besar yang sibuk. Tapi beruntung juga sih ke sana pas ada Carnaval. Setelah baca tulisan Teteh jadi tahu banyak banget yang belum sempat kami sambangi huhu.

    1. Hallo Teh! Waah.. pernah ke Maastricht juga ya? Iya aku beruntung banget pas pindah ke sini langsung tinggal di Maatsricht. Jadi beneran ngerasa tinggal di Eropa karena suasananya emang bangunan2 kayak yang selalu digambarkan orang hehehe. Pas pindah ke Utrecht ya berasa kayak kota besar aja nggak terlalu gimana banget hehehe…

      semoga lain waktu bisa jalan-jalan lagi ya teh ke Eropa, biar yang masih kelewatan bisa dikunjungi 😀

  4. Halo kak, seru banget ceritanya! Semoga sehat selalu ya (sedih pas baca sempat sakit).

    Eropa tuh, emang bagus banget tempatnyaaa. Aku pernah ke sana, cuma sekitar dua bulan. Sayangnya, dulu aku belum enjoy travelling jadi blm bisa menikmati. Skrg baru nyesel, pingin ke sana lagi :’)

    Btw, tos dulu kak, sesama anak yg dulu sangat diproteksi ortu, gilirannya udah nikah malah tinggal jauh banget dari ortu wkwkwk

  5. Jadi sebenarnya cerita ini bukan cerita perjalanan ke luar negeri, tapi perjalanan menyusuri kehidupan yang membawa sampai bertemu dengan bapak gajah ya, hehehe.

Leave a Reply to Irene Cynthia Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *