Pengalaman Terkena Corona di Belanda

Setelah dua tahun lebih Pandemi Corona melanda dunia, akhirnya keluarga kami resmi mendapatkan pengalaman terjangkit virus Corona. Well, sebenarnya cuma saya sih yang resmi terkena Corona. Cuma saya yang melalui test PCR dan mendapatkan hasil positif. Suami dan anak-anak tidak pergi ditest karena ketika hasil test saya keluar, suami saya sudah mulai meriang dan tidak ada dari kami yang punya tenaga untuk membawa anak-anak test.

Saya pun tidak mengisolasi diri. Hanya dua malam saya tidur sendirian tanpa suami dan anak-anak. Tapi sisanya saya tidak terlalu mengurung diri di kamar. Ya mau gimana lagi? Bagaimana emak mau mengurus diri kalau emak yang harus mengurus semua orang? Hari kedua, suami saya sudah mulai menunjukkan gejala tidak enak badan. Hari ketiga anak perempuan saya mulai batuk. Ya sudah, secara tidak resmi kami menganggap kalau semua kami positif Corona dan harus isolasi mandiri.

Belanda tanpa aturan Covid

Sejak akhir Februari 2022 kemarin, Belanda secara resmi membebaskan seluruh aturan Covid yang selama ini berlaku. Tidak ada lagi keharusan menjaga jarak minimal 1,5 meter dengan orang lain. Penggunaan masker tidak lagi diwajibkan kecuali di dalam kendaraan umum. Restoran, bioskop, gedung teater, museum dan seluruh fasilitas umum sudah kembali normal setelah beberapa kali harus tutup selama dua tahun terakhir. Bahkan kita tidak perlu lagi menunjukkan bukti vaksinasi bila hendak memasuki fasilitas umum.

Berbeda dengan Indonesia, Belanda melakukan pencegahan terhadap penyebaran Covid dengan cara beberapa kali memberlakukan total lockdown terhadap fasilitas umum kecuali toko yang menjual kebutuhan dasar dan sekolah. Ada sempat dua atau tiga kali sekolah ditutup dan anak-anak harus belajar di rumah, tapi secara umum, anak-anak sekolah dasar di sini bisa pergi ke sekolah dan tidak perlu sekolah daring sepanjang yang harus dilakukan anak-anak di Indonesia.

Asumsi pemerintah Belanda adalah anak-anak di bawah usia 12 tahun lebih kuat terhadap virus Corona. Meskipun varian Omicron yang muncul belakangan ini malah banyak menyerang anak-anak. Untungnya meskipun penyebarannya sangat cepat, sepertinya memang virus Corona versi terakhir ini tidak terlalu parah dampaknya kepada penderita.

Dengan perhitungan bahwa anak-anak tidak terlalu menderita bila terkena Covid dan bisa belajar langsung di sekolah sangatlah penting bagi pendidikan dan kesehatan mental mereka, maka yang selama ini harus terpaksa menjadi terbatas adalah fasilitas-fasilitas lainnya. Nggak heran, setelah peraturan Covid diangkat, rasanya ya semua seperti ‘merdeka’! Semua orang bebas kesana kemari tanpa dibatasi apa-apa lagi.

Liburan musim semi

Minggu lalu anak-anak libur sekolah selama seminggu dalam rangka menyambut musim semi. Nama liburannya: krokusvakantie. Krokus sendiri adalah nama bunga kecil yang sering tumbuh di pinggir-pinggir jalan, menandai musim semi sudah tiba.

Cantik ya 🥰
Kalau bunga krokus sudah muncul artinya musim semi datang.

Yah, namanya liburan, pastinya nggak sah dong ya kalau nggak kemana-mana. Sebenarnya keluarga kami termasuk ketat untuk urusan menjaga diri selama pandemi ini. Kami jarang sekali ke tempat umum. Yah, sekali-kali masih lah, tapi masih jauh lebih jarang dibanding orang-orang di sini yang sudah menganggap Covid seakan tidak ada lagi.

Tapi rasanya sedih juga kalau anak-anak nggak dibawa pergi. Selama dua tahun ini kami tidak berlibur kemana-mana. Makanya kami pikir ya sudahlah, toh angka infeksi Corona memang sudah menurun (padahal masih ribuan tiap hari, menurun dari tadinya hampir 20.000 sehari, LOL), dan peraturan memang sudah dilonggarkan. Masak mau mengurung diri di rumah.

Hari Rabu minggu lalu Pak Suami pun mengambil cuti dan kami berjalan-jalan ke Amsterdam, mengunjungi museum Rijkmuseum lalu makan bakmi kuah di Chinese resto kesayangan kami, New King di Chinatown-nya Amsterdam. Karena parkir di Amsterdam luar biasa muahal, kami pun parkir di pinggir kota dan naik tram selama mondar-mandir di dalam kota. Meskipun Amsterdam belum sepenuh dua tahun lalu sewaktu rasanya semua turis dari segala penjuru dunia numplek di kota ini, tapi ya hari itu semua sudah cukup penuh sesak dengan orang lah.

Begitu juga ketika hari Jumatnya kami ke Den Haag ke museum Museon dan hari Sabtu ke museum Spoorwegmuseum di Utrecht. Semua tempat penuh dengan manusia. Tadinya saya masih pakai masker, tapi karena lihat Pak Suami pun nggak pakai masker lagi dan sejuta orang lainnya udah bersikap biasa saja, saya pun tergoda untuk melepas masker. Sebenarnya di situ saya sudah merasakan ‘warning‘ di dalam hati; dengan berjubelnya orang-orang seperti ini, bisa-bisa kita kena Corona nih!

PCR dan antigen

Hari Minggu malam, saya mulai merasa kurang enak badan. Hari Senin pagi saya bangun dengan suara serak. Nah, bodohnya saya tidak langsung mengisolasi diri. Habisnya, selama dua tahun ini saya selalu PCR setiap kali tidak enak badan dan biasanya hasilnya selalu negatif. Jadi saya pikir ya paling-paling ini pilek biasa lah, jadilah saya tetap pergi ke sekolah untuk bekerja. Untungnya saya tetap memakai masker meskipun sudah tidak diwajibkan lagi.

Hari Senin malam perasaan saya mulai haru biru. Sebagai orang yang biasa sakit, yaah, sebenarnya sih nggak susah-susah amat gejalanya. Tapi saya tetap mencari jadual untuk PCR di hari Selasa pagi, untuk mendapat kepastian agar saya juga merasa aman bila mau pergi bekerja atau les. Jangan sampai saya tidak sadar sudah positif dan menularkan virus ini kepada orang-orang di sekitar saya.

Di sini, semua orang disarankan untuk melakukan test Antigen secara mandiri bila merasa tidak enak badan. Test Antigen ini bisa dibeli bebas di supermarket atau toko obat dengan harga kira-kira 3 Euro atau sekitar Rp. 45.000,- setiap set-nya.

Well, meski nggak mahal-mahal amat tapi bleber juga ya kantong kalau tiap ingusan harus keluar 3 Euro. Anak-anak sendiri mendapatkan beberapa set alat test Antigen secara gratis dari sekolah tiap beberapa minggu. Harapannya juga sama, kalau ada gejala pilek, batuk, sakit tenggorokan dan teman-temannya, anak-anak diharapkan test mandiri sebelum masuk ke sekolah. Test antigen untuk anak sekolah di Belanda jauh lebih santai dibandingkan negara tentangga kami Jerman yang mewajibkan anak-anak test setiap dua hari sekali sebelum mereka ke sekolah. Yaaa.. biaripun alat testnya gratis tapi ya hidungnya dong yang jadi bluber kalau seminggu tiga kali test. 😆

Saya pun tidak terlalu sukses di dalam mendidik anak-anak untuk tetap bahagia waktu ditest 😅. Akhirnya banyak deh alat test Antigen menumpuk di rumah. Saya sendiri memilih untuk langsung pergi PCR dibandingkan melakukan test Antigen mandiri dan kemudian menjadi ragu hasilnya akurat atau tidak. Soalnya, saya nggak pernah yakin dengan cara saya melakukan test Antigen. Jangan-jangan kurang dalam mengambil sample-nya dan lain-lain.

Lama-lama bisa jualan nih.

Karena alasan itulah hari Selasa kemarin saya pergi saja ke GGD untuk test PCR. GGD adalah dinas kesehatan pemerintah Belanda. Mereka menyediakan test PCR gratis untuk siapa saja yang memiliki gejala penyakit Corona, baik gejala berat maupun ringan. Test PCR ini bisa kita booking via internet atau lewat telepon.

Biasanya bila kita hari ini kita membuka website mereka, kita bisa membuat janji test untuk keesokan harinya. Hasilnya akan dikirimkan lewat email dalam waktu 36 jam. Setelah kita pergi untuk test PCR kita sudah harus mulai mengisolasi diri dan tidak pergi lagi ke tempat-tempat umum. Kita diharapkan datang ke tempat test dengan kendaraan pribadi, sepeda atau berjalan kaki. Pokoknya apa saja asal jangan dengan kendaraan umum.

Test PCR ini ekslusif diadakan terpusat oleh GGD. Hasilnya juga dikeluarkan oleh mereka. Tapi test ini tidak bisa digunakan sebagai bukti untuk bepergian, murni hanya untuk mendata berapa jumlah penduduk yang terinfeksi virus Corona saja.

Berbeda dengan di Indonesia (dari cerita keluarga yang sudah pernah positif Covid), kalau kita positif Covid di Belanda kita tidak mendapatkan obat/vitamin dari pemerintah. Hanya mendapatkan selembar email yang berisi peraturan yang harus kita ikuti selama mengisolasi diri secara mandiri di rumah. Untuk aturan apakah anggota keluarga yang lain perlu diisolasi atau tidak, bisa dicek di website pemerintah yang berisi segala kombinasi pertanyaan apakah kita perlu mengisolasi diri atau tidak.

Segala kombinasi bisa dicek di sini, apakah kita perlu isolasi, perlu test, dan sebagainya.

Untuk peraturan saat ini sebenarnya anak-anak saya tidak perlu isolasi bila mereka tidak punya gejala Corona. Saya perlu isolasi selama maksimal 10 hari sejak pertama kali merasakan gejala. Atau kalau mau keluar dari isolasi sewaktu belum genap 10 hari, saya sudah harus bebas dulu dari gejala Corona apapun selama 24 jam. Lucunya, orang yang sudah positif Corona malah tidak disarankan PCR lagi di dalam jangka waktu 8 minggu. Karena orang yang selama 8 minggu terakhir sudah pernah kena Covid, dianggap tidak akan tertular/menularkan oang lain lagi.

Haha, bingung kan? Kayaknya setiap negara beda peraturan ya. Bahkan peraturan Corona inipun berubah tiap beberapa minggu di sini. Untungnya semua informasi bisa diakses dengan mudah via internet. Dan tiap beberapa minggu ada konferensi pers yang dilakukan oleh Perdana Menteri Belanda untuk meng-update keadaan negara menyangkut Covid dan peraturan terakhir yang berlaku.

Bersyukur

Kalau ditanya bagaimana kondisinya, jawaban saya: I’ve seen much better days, but it could have been worse and I’m glad it didn’t happen. Terinfeksi virus Corona tentunya membawa ketegangan tersendiri untuk saya pribadi. Saya termasuk orang yang memiliki resiko tinggi karena kondisi kesehatan yang tidak terlalu fit. ‘Untung’nya adalah kami terkena Corona varian Omikron yang efeknya tidak terlalu berat. Yang kami alami sekarang ini jauuuuuuuh lebih ringan dibandingkan infeksi Corona yang dialami banyak orang di seluruh dunia selama dua tahun ini.

Tapi ya namanya sakit sih ya sakit aja ya. Tetap aja nggak enak. Apalagi sebagai emak-emak, ya kita yang sakit, kita juga yang ngurusin orang serumah. Eh, mungkin untuk memperindah suasana, ketika keluhan Corona sedang hot-hotnya, saya pun tepat datang bulan! Haduh, ketawa tragis deh. Gak tahu lagi yang rasanya mau patah itu tulang yang mana. 😆

‘Untung’nya (lagi), dengan kondisi fisik yang memang senantiasa naik turun seperti gelombang transversal, saya sudah terbiasa untuk beroperasi dengan 3/4 atau 4/5 ‘nyawa’. Jadi meskipun beraaaaaat dan melelahkan, saya bersyukur kalau kami sekeluarga sejauh ini dimampukan untuk melewatinya.

Kalau kita sedang melewati masa-masa yang sulit, sangat besar godaan untuk berpikir ‘Duh, hidupku berat banget ya! Kok apes banget nasibku’. Tapi dibanding berpikir seperti itu, saya mencoba untuk mengingat betapa baiknya Tuhan yang sudah memampukan saya melewati masa-masa yang berat. Meski tertatih-tatih dan tiap beberapa lama perlu berhenti dan beristirahat, tapi pasti semuanya lewat juga. Aminnn.

6 Thoughts on “Pengalaman Terkena Corona di Belanda

    1. Mudah2an si omicron ini varian terakhir yang menjadi akhir dari pandemi ya. Biar kita bisa new normal yg emang normal.

      Jadi sekarang udah boleh bebas keluar lagi belum? atau 10 harinya dihitung sejak hari PCR?

      Semoga cepat sembuh dan pulih ya, kalaupun udah sembuh, jangan maksakan diri yang capek 2 dulu, biar imunitasnya bisa pulih 100persen

  1. Saya sekeluarga tertular ketika varian Delta sedang ramai di Indo.. dan ngalamin banget seperti yang mbak Dea rasakan.jadi emak dalam kondisi sakit pun tetap harus bergerak seakan2 sehat. well semua sudah berlalu. Semoga sehat2 yaa mbak sekeluarga

  2. Maknyes deh baca bagian akhirnya, bikin adem. Kemarin pas positif juga kaya ‘sebel’ dan mengutuk diri sendiri kenapa begini kenapa begitu, tapi ya sudah kejadian juga.
    Makasih sharingnya ya Teh.
    Semoga sehat dan aman terus ya Teh di Belanda, Indonesia juga udah mulai longgar nih peraturan-peraturannya.

Leave a Reply to Laksita Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *