Ada Cinta Terselip di Dalam Tradisi

Hari itu masih pagi dan kami sudah sibuk mempersiapkan bayi-bayi untuk pergi ke Schiphol: jemput Oppung! Ini kali pertama Mama dan Papa saya datang menjenguk si Bungsu yang lahir hampir enam bulan sebelumnya. Waktu si Sulung lahir di musim panas 2012, Mama datan dan tinggal 3 bulan untuk menemani dan membantu saya melahirkan dan merawat bayi pertama.

Tapi perkiraan due date si Bungsu jatuh tanggal 24 Desember 2013! Meskipun akhirnya dia memutuskan untuk lahir nggak pas di malam Natal (senewen duluan deh, kuatir dokter dan suster punya banyak agenda di hari besar), tapi tetap saja mengundang orangtua di tengah winter is a big no no.

‘Gak usah datang Ma, nanti bukannya Mama bantuin kami malah kami yang repot mengurus Mama,’ jelas saya sebagai anak yang (sepertinya) durhaka. Eh, bukan nggak mau repot lho, tapi ya namanya winter itu ya dingin, ya licin, gak ideal dan bahaya buat orangtua yang belum pernah ngalamin winter apalagi kalau disuruh buru-buru jalan nemenin anaknya melahirkan. Plus dengan keluhan rematik, dan lain-lain, wah pening bayanginnya.

At the end kami survived melahirkan si Bungsu di akhir tahun 2013 tanpa bantuan orangtua. Sulung kami yang baru berumur 17 bulan kami titipkan ke tetangga tercinta dan ada aupair asal Indonesia yang kami pinjam untuk beberapa hari pertama kami menyesuaikan punya dua batita di rumah.

Lahiran si Bungsu yang penuh drama, namun terlewati juga. Terimakasih Tuhan 🙏

Musim semi berikutnya, kami memutuskan bahwa Oppung (baca: kakek dan nenek, red.) bisa datang. Rasanya antusias sekali menyambut kedatangan mereka! 😍 Ini juga adalah pertama kalinya Papa saya bertemu dengan si Sulung sekaligus si Bungsu. Pertama kalinya juga untuk anak-anak bertemu kakek-nenek mereka!

Manurduk Dayok ni Binatur

Kalau Oppung datang, bukan hanya kedatangan mereka yang dinantikan, tapi juga oleh-olehnya (haha). Nggak lain nggak bukan segala macam makanan dan barang-barang Indonesia yang tidak mudah didapat di sini biasanya kami import bersama kedatangan orangtua. Sebut saja coklat Beng-beng, Silverqueen (iya tahu, saya aneh masih nyari Silverqueen padahal bisa beli coklat Belgia), bumbu seperti andaliman, bunga Kincung dan asam gelugur, atau setrika dan blender merek Maspion. 🤣

Tapi yang paling diinginkan di atas semuanya itu (melebihi rasa senang saya bertemu pempek dan martabak Bangka), adalah fakta bahwa Mama akan bawa ayam diatur! Membayangkan enaknya rasa ayam itu, juga rasa haru ketika menerima berkat dari orangtua pada saat disurduk (disodorkan) ayam – wah, I’d do anything to get it right at this very moment I’m writing this! 😭

Begitu Oppung datang, langsung buru-buru Manurduk karena ayamnya sudah survived lebih dari 24 jam di dalam koper (diimport langsung dari Tante yang paling jago masak Ayam Diatur di Jakarta).

Dayok ni Binatur atau Ayam Diatur adalah makanan khas dari suku Batak Simalungun yang berasal dari kawasan Sumatera Utara (siapa tahu ada yang nggak tahu orang Batak datang dari mana, haha). Ayam Diatur ini sebenarnya adalah ayam kampung jantan yang dimasak semacam digulai lalu dipanggang kering, lalu diatur kembali saat dihidangkan – mulai dari kepala, bagian badan dan sayapnya, sampai ekornya.

Ayam Diatur ini bukan masakan yang biasa dihidangkan sehari-hari, tetapi merupakan bagian dari tradisi di mana orangtua memberikan/menyodorkan (manurduk) ayam yang sudah teratur susunannya ini kepada anaknya atau orang yang lebih muda sebagai tanda doa dan berkat bagi mereka.

Biasanya saat manurduk, sang orangtua akan berkata: “Sai andohar ma songon paratur ni Dayok Nabianur On….” yang artinya “Semoga teraturlah (hidupmu, jalanmu) seperti keteraturan dari ayam yang diatur ini….”. Di keluarga saya, kami diberikan ayam diatur misalnya pada saat mau ujian besar, atau pada saat mau menikah, mau wisuda, dan lain sebagainya.

Sebenarnya tradisi manurduk ini tidak terbatas hanya dari orangtua kepada orang muda saja, bisa juga sebaliknya. Intinya ada rasa syukur, harapan dan doa yang disampaikan kepada orang yang di-surduk. Misalnya kalau Papa saya berulangtahun, boleh anak-anak (dan pasangan mereka) manurduk ayam untuk beliau.

Berkat dan doa untuk yang disurduk

Kenapa buat saya disurduk itu rasanya spesial sekali? Karena di saat kita disurduk, ada doa dan harapan yang disampaikan oleh SETIAP orang yang ikut manurduk. Waktu Mama dan Papa datang, kami sekeluarga – saya, Pak Suami, dan dua bayi-bayi – duduk di sofa dan sambil disodorkan piring berisi ayam diatur, Mama dan Papa masing-masing akan menyampaikan doa dan harapan mereka untuk keluarga kami. Untuk saya, untuk suami, untuk Si Sulung, untuk Si Bungsu, semua diucapkan satu-satu.

Untungnya” kalau Mama Papa datang, cuma dua yang menyampaikan berkatnya. Yang ‘menantang‘ adalah proses manurduk di keluarga besar! Sejatinya keluarga Batak itu nggak cukup kalau cuma sekeluarga inti saja. Namanya keluarga itu akan termasuk sepupu langsung, sepupu kedua, ketiga (kalau mau bisa sampai kesepuluh!) haha.

Jadi dalam manurduk, misalnya katakanlah saya dan suami masuk rumah baru, terus ada keluarga besar datang menghadiri kebaktian pembukaan rumah baru, most likely kami akan menerima beberapa ayam surdukan. Misalnya satu dari pihak keluarga Papa: satu atau dua piring ayam akan disurduk untuk kami, dan belasan orang akan berdiri mengantar piring ayam itu sambil (hampir satu-satu) mengucapkan harapan dan doanya. 😅

Yang unik, orang-orang yang berdiri di belakang harus mengulurkan tangan mereka menyentuh lengan oragn-orang yang di depannya supaya berkatnya ‘nyampe’ ke depan.

Sebenarnya ini Ayam yang sama, ihihi, cuma kali ini keluarga kami manurduk Oppung sebagai ucapan syukur Oppung sudah datang, juga doa sehat-sehat dan panjang umur. Si Sulung berusaha ikut pegang piringnya juga cuma gagal. 😅

Lalu akan ada piring lain yang disurduk dari pihak keluarga Mama, atau satu piring khusus dari keluarga Tante, Oom, sepupu yang ini dan yang itu dan lain sebagainya. Jadi kebayangkan berapa banyak doa dan harapan yang harus diucapkan (dan didengarkan) sampai akhirnya kita bisa mulai makan! 😁

Tapi karena rasa enaknya Ayam Diatur ini ada di luar nalar! – semua penantian itu terasa buyar semua di saat kita boleh mulai menikmati hidangan. Kalau acaranya cukup besar, menunya bukan cuma ayam diatur saja, tapi segala rupa. Tapi adalah sebuah kewajiban untuk paling tidak menjumput (mencolek) si ayam diatur ini. Apalagi kalau kita yang disurduk, wajib memakannya!

Rindu tradisi di tanah rantau

Sebagai perantau yang jauh dari keluarga dan kerabat, urusan tradisi yang berkaitan langsung dengan adat istiadat suku adalah momen yang langka untuk dilakukan. Kalau saya tinggal di Jakarta itu lain cerita. Bisa-bisa setiap minggu ada acara keluarga. Pasti ada saja yang menikah, melahirkan, baptisan, dan lain sebagainya.

Tapi karena saya dan Pak Suami tinggal di rantau sebatang kara (duh kasian), urusan adat dan tradisi? Ya hanya kalau orangtua datang saja, atau kalau kami pulang ke Jakarta. Meskipun ada satu pengecualian di saat saya hamil anak pertama, Abang saya sempat dinas ke Eropa dan menyempatkan untuk mampir ke Belanda.

Jadinya? Jadinya saya si ibu hamil berburu ikan mas (atau ikan yang menyerupai ikan mas haha) dan masak arsik untuk pertama kalinya seumur hidup. Arsik ikan mas adalah hidangan Batak lain yang juga sering di-surduk di dalam acara adat. Karena tidak bisa masak Ayam Diatur, ya Arsik Ikan Mas jadilah.

Waktu Abang datang, harusnya sih yang diberikan itu Ayam Diatur, tapi sebagai gantinya Arsik Ikan Mas.
Diulosi (diiberikan ulos yang disampirkan di bahu sebagai tanda sayang) sebagai perwakilan dari Mama Papa. Ulos dari Abang-abang yang lain diberikan secara terlipat saja.

Dalam kesempatan itu, Abang saya mangulosi (memberikan ulos) kepada saya dan Pak Suami sebagai penerus berkat dan doa dari orangtua dan keluarga. Harapannya adalah kelahirannya bisa berjalan lancar, anak dan ibu sehat, dan lain seterusnya.

Masakan Batak ala Mamah DIP.

Supaya ada penonton selain orangtua saya yang ikut acara melalui Skype, kami mengundang beberapa teman sekelas Pak Suami yang tinggal tidak begitu jauh dari area rumah saya dan orang Batak juga. Biar rame dan makin enak makan-makannya!

Selipan cinta di dalam tradisi

Menulis dengan tema TRADISI di dalam Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog edisi Juli 2022 ini membuat saya berpikir banyak tentang apa sih arti tradisi dan apa maksud orang ketika menciptakan tradisi. Tidak bisa disangkal, waktu saya kecil (atau muda), yang namanya tradisi apalagi yang berkaitan dengan adat istiadat itu terlihat tidak menarik, merepotkan dan membosankan.

Tetapi ketika saya menikah dengan Pak Suami dan mengikuti segala tata acara adat istiadat, saya melihat bahwa sebenarnya ada banyak harapan dan doa yang diselipkan di setiap kegiatan yang diadakan. Yes, ngikutin terlalu banyak tradisi itu emang soul-and-money-consuming. Tapi kebayang kalau menikah begitu saja di gereja dan catatan sipil trus pulang ke rumah, pasti ada rasa sayang juga karena melewatkan tradisi yang sudah bergenerasi umurnya.

Tentu saja ada harga yang harus dibayar untuk bisa menciptakan atau meneruskan sebuah tradisi. Ada effort alias usaha dan niat untuk bisa konsisten melakukan hal yang sama dalam jangka waktu tahunan bahkan lintas generasi.

Sebagai sebuah kaum perantau yang lepas dari orangtua dan juga jauh dari keluarga besar dan adat istiadat, kami berusaha juga untuk menciptakan tradisi-tradisi kecil yang dilakukan secara konsisten (diusahakan konsisten!) dalam lingkup keluarga kecil kami.

Misalnya tradisi memberikan kartu gajah buat si Mamah (ini sih maunya saya, bikin repot Pak Suami yang gak romantis supaya minimal setahun sekali agak-agak usaha haha), atau memberikan kartu ucapan dengan doa dan harapan dari setiap anggota keluarga untuk yang berulangtahun.

Atau yang saya harapkan untuk menjadi sebuah tradisi di hari depan (amin, amin, amin!): saya spesial menjahit sendiri baju baptis untuk si Sulung dan si Bungsu. Harapan saya adalah baju-baju ini bisa mereka pakaikan kepada anak sampai cucu dan cicit sampai seterusnya ketika mereka dibaptis kelas. Biar kayak tradisi di Istana Buckingham getoh. Haha. 🤣

Dimulai dengan bingung si Sulung mau baptis pakai baju apa, akhirnya saya menjahit baju khusus untuk dia. Baju ini juga dipakai waktu baptisan dua orang anak milik sahabat saya Orang Belanda. Hal ini jadi semacaram ‘tradisi’ di antara kami.
Baju Baptis Si Bungsu, kainnya dibeli waktu mengunjungi Pameran Kain di kota kami. Waktu itu si Sulung masih beberapa bulan umurnya dan saya tidak tahu bahwa akan segera hamil lagi dan punya anak perempuan.

Yang jelas, di dalam setiap hal yang kami usahakan menjadi tradisi itu – baik besar maupun kecil ukurannya, ada rasa cinta, doa dan harapan yang terselip di dalamnya. Semoga anak-anak kami merasakan cinta orangtuanya dan bisa menikmati tradisi yang merupakan bagian dari struktur keluarga.

Bagaimana dengan Mamah yang lain, tradisi apa yang biasa Mamah dan keluarkan lakukan di rumah? Ceritakan di kolom komentar ya!

13 Thoughts on “Ada Cinta Terselip di Dalam Tradisi

  1. Dikau memang Batak banget ya, hahaha. Aku sudah lama nggak mengharapkan disurduk ayan ataupun diulosi. kayaknya terakhir itu pas jona pertama pulang ke Medan di surduk ikan mas.

    teorinya harusnya tradisi budaya begitu dilestarikan, tapi kalau merepotkan aku pilih skip hehehe… makanya aku ga pernah minta disurduk lagi dan lama2 ga ingat dengan kebiasaan ini.

  2. Dea, suka banget bacanya deh, aku juga suka tradisi, kalau ngga ribet haha. Tapi seperti yang Dea bilang ada rasa cinta, doa dan harapan yang terselip. Jadi kalau ngga menyusahkan aku oke oke aja dengan tradisi.

    Tapi baca ini aku jadi lapar lho, tiba-tiba pengen sambal andaliman dan ikan mas arsik haha.

  3. Menarik sekali ini. Jadi tahu bahwa ada tradisi unik ayam diatur atau ikan mas arsik ini. Kalau diulosi pernah lah dengar sekali-dua. Tapi beneran baru tahu dari postingan ini bahwa ada tradisi ayam diatur & ikan mas arsik. Selain jadi ilmu buat pembaca, ikut mengamini doa-doa baik ya biarpun momennya sudah berlalu beberapa waktu lalu.

    1. Hallo teh, iya ini tradisi Batak Simalungun, sub suku dari suku Batak. Batak Simalungun memang tidak terlalu banyak orangnya, yang lebih banyak itu orang Batak Toba. Dan masing-masing sub suku ini meskipun secara garis besar hampir sama, tapi ada detail-detail yang agak beda.

      Makasih ya teh doanya diaminkan. Sehat-sehat juga di sana 🙂

  4. ‘Ikan yang menyerupai Ikan Mas’ :)) Aku kebayang udah senang banget masih jalankan tradisi ya karena merantau. pasti kangen ada ritual begini.

  5. Baru kali ini dengar tentang tradisi ayam diatur ini, selama ini sering dengar tradisi batak hanya tradisi diulosi saja. Hehe,, maklum orang Sunda dan nggak punya kenalan dekat orang batak.
    Memang tradisi tiap suku di Indonesia ini beragam sekali ya, dan sebenarnya sarat makna dan seperti judul tulisan ini: sarat cinta. Kalau tradisi-tradisi semacam ini memang layak untuk diwariskan terus ya kak..

  6. Di keluargaku minim bgt acara2 begini, jadi selalu senang baca cerita tentang keluarga yg terus meneruskan tradisi. Memang sepintas memakan waktu dan uang ya, tp pasti lbh berkesan jg utk semuanyaa

  7. Sebagai orang yang menikah dengan orang mandailing, aku harus mengakui kalau orang batak lebih memegang teguh adat daripada orang Jawa. Waktu nikahan aku juga kena di mangulosi, mangupa-upa, dan harus manotor juga di depan tamu-tamu undangan, terus setelahnya harus ngider ke semua rumah saudara dan pulang-pulang dibekelin kain dan ayam. Seru juga sih. Hehe. Walaupun capeknyaaaa.

  8. Saya kok suka banget ya dengan kalimat penutupnya yang indah ini, terharu….,
    “Yang jelas, di dalam setiap hal yang kami usahakan menjadi tradisi itu – baik besar maupun kecil ukurannya, ada rasa cinta, doa dan harapan yang terselip di dalamnya. Semoga anak-anak kami merasakan cinta orangtuanya dan bisa menikmati tradisi yang merupakan bagian dari struktur keluarga.”

    Aamiin aamiiin 🙂

    ***
    Ehehehehe, Kakek Nenek kalau mengunjungi cucunya yang di luar negeri, pasti tidak lupa ya membawa makanan khas hometown.
    Dulu sempat ketawa saat Kakek Nenek saya mengunjungi salah satu putranya yang sedang di Jepang, ealaah isi bawaannya tuh terasi, cabe, pete, tempe bosok, wkwkwkwkwk. Kalau ingat cerita tersebut, ngakak sendiri. 🙂
    Tetapi disitulah letak kerinduannya ya. Pakde waktu itu juga sueneng banget pas akhirnya dimasakin sambel trasi oleh ibunya.

    ***
    Bertambah lagi wawasan mengenai tradisi Nusantara. Terima kasih ya Dea sudah membagikan informasi ini, tradisi keluarga Batak yang terdiri dari : Diulosi, pemberian Ayam Diatur dan atau Arsik Ikan Mas. 🙂

    ***
    Btw Dea dan Pak Suami wajahnya mirip ya ehehe 🙂

  9. Dari semua coklat emang paling pas di lidah ya Silver Queen sih…hihi…
    Aku belum pernah lho nyicipin masakan Batak, sepertinya spicy yah. Tadinya aku bingung, nama menunya Ayam Diatur, kirain typo. Ternyata memang ada step memasak yang jadi nama masakan. Btw, kok bisa selamat di imigrasi, ayamnya dibungkus apa? Untung juga selamat…hehe…
    Ada bumbu khusus untuk masak Ikan Mas Arsik itu bukan? Cuma tahu merica Andaliman. Jadi penasaran euy…

Leave a Reply to Irene Cynthia Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *