“Itulah bapakmu! Nggak pernah mengerti perasaan Ibu! Tiap hari kerjaannya hanya baca koran, nonton berita! Ibumu nggak pernah didengar, nggak diajak bicara!”
Dinda menggigit bibirnya sambil mendengar ibunya meluapkan kemarahan. Ini kedua kali dalam minggu ini Ibu dan Bapak bertengkar hebat. Dua hari lalu, Dinda terpaksa meninggalkan kantor lebih cepat, gara-gara ibunya sudah terlalu histeris.
“Yah Ibu, trus mau gimana, masak bercerai? Ibu Bapak kan udah sepuh! Udah punya cucu! Apa kata orang, Bu? Lagian nanti Ibu kemana kalau nggak sama Bapak?” Keluh Dinda di ujung telepon.
Aku mencoba menarik nafas tapi gagal. Terlalu sesak rasanya, hatiku penuh dengan sejuta kekecewaan yang sudah bertahun-tahun kutumpuk. Aku tahu anak-anak sayang padaku, tapi mereka tidak paham bagaimana sulitnya hidup seperti ini. Aku tahu mereka punya kehidupan sendiri dan tidak bisa tiap kali diseret dalam urusanku, tapi kalau bukan mereka, siapa lagi?
“Dinda, dengar, Ibu udah nggak kuat lagi. Kalau kamu nggak jemput Ibu malam ini, Ibu mau kabur atau bunuh diri! Ibu nggak bisa lagi, Nda! Ibu dan Bapak sekarang sudah nggak tidur sekamar. Makan sendiri-sendiri. Bapakmu cuma bicara kalau minta dibikinin kopi. Kalau Ibu bilang kopinya sudah ada, nyahut pun tidak! Cuma mmmhh aja kayak sapi!”
“Ibu nggak mau bikin kalian malu, tapi Ibu sudah terlalu lama kayak gini. Tiap kali Ibu sedih, Bapakmu diam saja! Duduk dekat Ibu saja nggak mau, memangnya Ibu ini orang kusta?? Ibu capek, Nda, capek!” Lanjutku histeris.
“Sekarang Bapak di mana, Bu?” Tanya Dinda pelan.
“Di kamarnya! Dia benar-benar tidak butuh Ibu lagi! Lebih baik Ibu pergi! Pokoknya sore ini juga kamu datang, Ibu nggak mau tahu!” Seperti supir metromini yang ingin meng-impress para penumpangnya, aku pun nge-gas, lalu tiba-tiba menutup telepon.
Kulirik pintu kamar suamiku yang tertutup rapat. Hhhhhhhhhhh! Dengusku keras. Sana kamu, sana kamu nonton berita sepuasmu! Soal jenderal selingkuh kamu dengerin, istri kamu cuekin. Panas mataku menatap pintu jati itu, tapi sudah semenit berlalu, tidak ada juga gerakan dari kamar itu. Pintunya diam saja, dindingnya diam saja, seperti diamnya suamiku.
Pipiku panas dan basah oleh air mata, ulu hatiku sakit dan seperti ada bara yang menggumpal di dadaku. Oh Gusti… bisa-bisa aku pingsan kalau terus marah seperti ini. Tapi bagaimana? Bagaimana menghentikannya?
Kata Dinda rasa nggak enak yang kualami sekarang adalah efek samping menopause. Anakku Dini yang dokter juga sudah meyakinkan aku bahwa adiknya betul. “Ini wajar Bu,” kata mereka. “Semua perempuan merasakan kegelisahan yang sama. Badan jadi terasa nggak enak, Ibu jadi nggak bisa tidur, cepat kesal… semua wajar Bu, namanya juga hormon,” kata Dini kepadaku sebulan lalu.
Iya.. aku tahu ini pengaruh hormon. Meskipun aku nggak tamat kuliah, aku nggak bego-bego amat. Ada puluhan artikel di majalah Kartini yang bicara soal perempuan dan menopause. Tapi kan yang menopause itu aku, kenapa Mas Bin juga ikut berubah?? Toh dia laki-laki! Bukan menopauseku yang salah, tapi sikap dia yang membuat hubungan kami seperti kisah-kisah di Oh Mama Oh Papa!
Dengan kesal aku mengalihkan mataku dari daun pintu yang sudah membuktikan kegagahannya – dia tidak bergeming padahal sudah aku pelototi sekuat tenaga. Nggak mungkin Mas Bin nggak mendengar percakapanku dengan Dinda dari kamarnya. Suaraku yang cempring nggak mungkin luput dari kupingnya. Kecuali kalau dia memang sudah budeg!
“Arrgggggh, dasar kakek-kakek!” Pekikku kesal sambil menghentakkan kaki dan tangan keras-keras. Ya ampun… aku lupa kalau aku nggak muda lagi. Saking terlalu semangat, pergelangan kakiku jadi keceklek gara-gara terlalu semangat! Aduh Gusti, sakitnya!
“Mas Bin… Mas Bin…” panggilku lirih. Suamiku tetap diam saja. Perlahan kututup pintu kamarku, seiring dengan kututup pintu harapku. Mungkin memang sekian saja, sesudah 30 tahun bersama…
“Bu, mbok ya dipikirin lagi pelan-pelan. Nggak mungkin Bapak nggak sayang sama Ibu. Masak Ibu lupa? Selama ini bukannya Bapak yang selalu ada di samping Ibu?”
Sayup-sayup terdengar lagi suara Dini di telingaku. Aku sedang duduk di kamar tidur tamu di rumah Dinda sendirian. Hari masih subuh, aku terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Aku kangen sama Mas Bin… sudah seminggu aku mengungsi di rumah Dinda dan sudah seminggu aku tidak bertemu dengan dia.
Dulu, kalau aku terbangun di malam hari, aku selalu membangunkan Mas Bin dan minta diusap-usap olehnya. Entah di kepala atau di punggung, biar aku bisa tidur lagi. Tapi semenjak aku nggak tahan mendengar dengkurannya dan minta dia tidur di kamar lain, aku nggak bisa lagi minta dimanja olehnya. Karena dia sudah bosan mendengar keluhan dan protesku, kami bertengkar dan aku gengsi kalau mendekati dia duluan.
Tapi kan dia yang laki-laki, ujarku pada diriku sendiri. Mbok ya dia yang maju, yang memperhatikanku. Kok ya dia pasrah saja, malah seperti anak-anak kesenengan bisa nonton televisi sepuasnya di kamar tanpa ada yang membatasi! Baru saja rindu, kesalku sudah datang lagi.
Aku bangun dan pergi ke kamar mandi. Daripada maksain tidur tapi nggak bisa, ya sudahlah bangun saja. Aku mau bantu Dinda menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Dengan cepat aku mencuci mukaku dan mengganti baju. Di kamar, tiba-tiba kurasakan tanganku meraba payudaraku sendiri…
Ah, Mas Bin… air mataku menetes dan tiba-tiba aku mulai menangis keras. Hormon sialan! Bentakku pada pikiranku sendiri. Aku makin keras terisak-isak sampai Dinda mulai mengetuk pintu kamarku. “Bu, Bu, Ibu kenapa? Buka pintunya, Bu!”
Dinda masuk dan memeluk aku yang belum selesai berpakaian. “Bapakmu, Din, Bapak, Din… Ibu rindu, Ibu capek Din, Ibu nggak tahu mau apa lagi…”
Dinda melihat aku dan dari matanya aku tahu dia mengerti. Diambilnya dasterku yang jatuh di lantai dan dibantunya aku sampai aku selesai berpakaian. Dia diam sambil menunduk menatap dadaku yang rata.
“Bu, sekarang Ibu tahu kan kalau Bapak sangat sayang sama Ibu? 10 tahun lalu waktu Ibu dioperasi, Bapak nggak pernah sekalipun berpaling dan menelantarkan Ibu. Waktu itu kami masih sekolah, masih remaja, Bapak nggak pernah mengeluh, nggak pernah bersikap lain, biasa saja sampai kami bisa tetap merasa normal padahal Ibu bolak-balik masuk rumah sakit.”
Air mataku mengalir tambah deras. Gelombang emosi dari peristiwa 10 tahun lalu seperti datang kembali saat ini. Aku teringat suamiku yang waktu itu juga terlihat mengesalkan karena diam saja. Waktu aku masuk ke ruang operasi atau waktu aku menjalani kemoterapi, dia tidak banyak berkata-kata. Hanya memeluk kalau aku minta, tidak terlalu banyak bicara waktu aku menangis bilang kalau aku ketakutan.
Meskipun kesal, di saat yang sama aku tahu kalau suamiku sedang berusaha untuk tidak ikut runtuh. Dini dan Dinda masih duduk di bangku sekolah menengah. Kalau seorang dari kami sedang lemah, yang satu harus tetap kuat. Tidak bisa dua-duanya jatuh dan terjerembab, berkubang dalam tangis dan air mata.
Meskipun caranya tidak ideal, saat itu aku paham kalau suamiku hanya sedang berusaha kuat. Meskipun dari luar dia terlihat terlalu tenang sampai-sampai berkesan cuek, dia tidak pernah sekalipun tidak mendukung usaha pengobatanku. Bahkan ketika aku pulang dengan dada serata papan, dia tidak lantas celingak-celinguk melirik ibu-ibu lain yang masih punya payudara yang lengkap.
Dari jauh terdengar telepon berdering. Dinda mengusap lenganku pelan dan pamit mengangkat teleponnya. Sedetik kemudian Dinda sudah kembali ke kamarku. “Bu, Mbak Dini telepon, Bapak masuk rumah sakit. Bapak stroke ringan, Bu. Ternyata selama ini Bapak diam saja karena sudah lama merasa nggak enak dadanya, tapi nggak mau bilang sama Ibu.”
Huaaaa… tangisku turun semakin kencang. “Dinda, Ibu mau pulang, Dinda, Ibu mau sama Bapak! Ibu mau sama Bapak…”
Dinda mengambil cardigan yang tergantung di balik pintu, mengenakannya di bahuku dan membimbing aku ke mobil. Setelah memberikan instruksi pada suaminya untuk mengurus anak-anak mereka, kami berangkat ke rumah sakit.
Kugigit bibirku menahan tangis yang terus mengancam jatuh. Aku datang, Mas Bin, aku datang. Maafkan aku kalau aku marah-marah terus. Aku nggak akan pergi lagi…
Sebuah Cerita Cinta untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Agustus 2022.
aku bertanya tanya kenapa namanya mas Bin dan bukan bang Bin. Sepertinya kalau ada produsen yang baca cerita ini bisa jadi serial 100 episode dengan judul: Mas Bin, ngomong dong! heheehe
Baca ini jadi inget diri sendiri juga, kalau udah emosi suka lupa sama kebaikan-kebaikan suami huhu, memang nomor satu dalam hubungan itu komunikasi ya.
teh Irene salut … setor mepet tapi keren ceritanya.
wah … itu majalah Kartini bacaannya emak-emak tahun 80-90an ya.
Betul sekali! Blame it on the hormones! Hormon memang yang paling bertanggung jawab membuat si Ibu kesal endak jelas dengan Mas Bin ehehe.
Duh saya kasihan sekali dengan Mas Bin, sudah sabar dan cinta, tetapi karena tidak banyak bicara, si Ibu kesal ehehe. Memang laki-laki sih tidak terlalu suka ngobrol ya dibanding dengan kaum wanita.
Makasiiy Mamah Dea, ini sekaligus buat pengingat saya, nanti kalau menghadapi hal seperti ini, lebih baik diam dan sabar dulu; dan tidak berprasangka cepet-cepet. Kan jadi nyesel kalau salah analisis ehehe.
Kadang para istri memang sering sulit untuk bisa bersyukur dan melihat kelebihan pasangannya. Lihatnya kurangnya aja terus. Sampai semua itu sudah terlambat.