Bicara tentang Pengalaman di Luar Nalar – sesuai dengan salah satu dari tiga tema yang disediakan di dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan November ini, saya jadi berpikir bahwa sebenarnya hidup itu sendiri sesungguhnya adalah sebuah pengalaman di luar nalar.
Coba teman-teman pikirkan: Mengapa kita hidup? Mengapa kita dipilih untuk hidup? Apakah kita harus hidup? Untuk apa kita hidup? Semua pertanyaan ini – dan banyak pertanyaan lainnya tentang kehidupan kita – merupakan hal-hal yang sesungguhnya melampaui batas nalar seorang manusia.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata ‘nalar’ sendiri memiliki pengertian: kemampuan berpikir logis, kekuatan/jangkauan pikiran. Coba tanyakan dirimu sendiri semua pertanyaan di atas; adakah kamu memiliki jawabannya?
Living in a borrowed time
Table of Contents
Pertama kalinya saya membaca frase ini adalah saat saya menonton sebuah video singkat tentang Julie Yip-Williams, seorang perempuan kebangsaan Amerika yang lahir dari sebuah keluarga beretnis Cina di Vietnam.
Julie lahir sebagai Diep Ly Thanh pada tanggal 6 Januari 1976 di Tam Ky, sebuah kota di Vietnam Selatan yang juga banyak terpengaruh oleh perang Vietnam yang berlangsung selama lebih dari 20 tahun (1955 – 1975). (Nama keluarga Yip di dalam bahasa Cina ekuivalen dengan nama keluarga Diep dalam bahasa Vietnam.)
Julie lahir dengan mata yang buta karena kondisi katarak bawaan (congenital cataracts). Kecewa dengan keadaan cucunya yang buta, nenek Julie memerintahkan anak dan menantunya untuk membawa Julie kepada seorang dokter herbal dengan sebuah instruksi: bunuh anak ini dengan ramuanmu. Waktu itu Julie masih berusia dua bulan.
Tetapi sang dokter (atau dukun?) menolak untuk melakukan permintaan itu dan Julie pun dibawa pulang ke rumah, kepada neneknya yang marah karena keinginannya tidak dipenuhi.
“She would have found another way to kill me,” begitu Julie menulis tentang neneknya di dalam blognya: julieyipwilliams.wordpress.com. Sampai akhirnya nenek buyut dari Yip turun tangan untuk menghentikan usaha jahat menantunya dan memerintahkan supaya Julie tidak diganggu lagi. Katanya sang buyut: “begitulah dia lahir, begitulah dia akan hidup.”
Pada waktu Julie berusia 3 tahun, keluarga besarnya memutuskan untuk mengungsi ke Hong Kong dengan sebuah kapal nelayan. Mereka harus berlayar sebulan lamanya dengan sangat sedikit persediaan makanan dan air minum. Seperti ‘manusia perahu’ lainnya, mereka mencoba peruntungan baru setelah mengalami perang Vietnam yang panjang.
Julie menulis di dalam blognya, “Kami beruntung karena kapal kami tidak tenggelam seperti banyak kapal yang lain”. “Kami beruntung karena kami tidak sampai harus melakukan tindakan kanibalisme seperti para pengungsi yang lain.”
Setelah beberapa bulan tinggal di kamp pengungsi, Julie dan keluarganya terbang ke San Fransisco untuk kemudian tinggal di Los Angeles. Di sanalah Julie mendapatkan kesempatan untuk dioperasi sehingga penglihatannya bisa sedikit diperbaiki. Meskipun demikian Julie tetap menyandang status sebagai orang buta. Dia harus memakai kacamata sangat tebal, harus menggunakan kaca pembesar untuk membaca tulisan yang kecil dan tidak boleh menyetir mobil.
Meskipun demikian, against all odds, Julie berhasil menyelesaikan sekolahnya dengan prestasi yang sangat membanggakan. Dia meraih gelar sarjana dari jurusan Bahasa Inggris dan Studi Asia dari Williams College di Massachusetts dan kemudian lulus dari Harvard Law School. 😲
Julie yang dilahirkan buta, harus mengungsi dan lalu dibesarkan di dalam keluarga imigran yang sederhana (ayahnya bekerja di toko sayur dan ibunya bekerja di salon manikur) berhasil menuliskan garis sukses sesuai definisi manusia: lulus dari Harvard, bekerja sebagai pengacara, menikah dengan pengacara lainnya dan memiliki dua orang putri yang cantik dan sehat sempurna.
Third time’s a charm
Tetapi hidup itu bukan hidup namanya kalau semua berlangsung sesuai nalar manusia. Kehidupan Julie yang terlihat sudah sempurna tiba-tiba dirusak oleh berita: Julie menderita kanker usus. Julie berusia 37 tahun ketika ia menerima diagnosa tersebut. Setahun setelah diagnosanya keluar, Julie menulis tentang perjalanannya melawan kanker di dalam sebuah blog yang kemudian disadur menjadi sebuah buku berjudul The Unwinding of the Miracle: ‘A Memoir of Life, Death and Everything That Comes After.’
Julie meninggal dunia 5 tahun setelah dia berjuang dengan penyakitnya, meninggalkan suami dan kedua anak perempuannya yang berumur 8 dan 6 tahun pada saat dia meninggal dunia.
Blognya yang berisi catatan perjuangannya melawan kanker merupakan sumber inspirasi dan kekuatan bagi banyak orang – untuk suami dan anak-anaknya, dan juga untuk orang lain yang menderita penyakit yang sama atau orang-orang yang mungkin juga mengalami kesulitan hidup dan sedang berjuang untuk bisa mengatasinya.
Blognya berisi instruksi untuk anak-anaknya; siapa dokter gigi mereka, kapan mereka harus membayar uang sekolah. Tetapi bukan itu saja, Julie juga menuliskan perasaannya yang jujur (and yet inspiring) tentang kenyataan hidup yang mereka hadapi.
“You will be deprived of a mother,” she wrote. “As your mother, I wish I could protect you from the pain. But also as your mother, I want you to feel the pain, to live it, embrace it, and then learn from it. Be stronger people because of it, for you will know that you carry my strength within you. Be more compassionate people because of it; empathize with those who suffer in their own ways.”
Julie tidak memenangkan pertarungannya yang terakhir. Meskipun dia berhasil menang di dalam berbagai pertarungan hidup selama 42 tahun sebelumnya, dia harus mengaku kalah dan menerima nasibnya.
Setelah berkali-kali ‘curang’ menghindari kematian, Julie meninggal dengan tenang. Hidupnya mungkin terlihat singkat, tapi sesungguhnya dia berhasil memakai waktu pinjaman selama lebih dari 40 tahun lamanya – secara LUAR BIASA!
Hidup adalah misteri Ilahi
Kehidupan Julie (dan kehidupan banyak orang, bahkan kehidupan kita masing-masing) merupakan bukti nyata bahwa sesungguhnya hidup kita adalah sebuah misteri yang terlalu besar untuk dimengerti hanya sekedar dari nalar manusia. Tuhan yang menciptakan kita, Dia yang menenun kita di dalam kandungan ibu kita – Dia yang merancang dan menentukan segala jalan kehidupan kita sesuai dengan rencana-Nya.
Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu pun dari padanya.
Mazmur 139:13-16 TB
Ada anak yang lahir cacat dan dianggap tidak layak untuk hidup – and yet ternyata seperti Julie berhasil hidup cukup lama dan menjadi inspirasi dan sumber kekuatan bagi banyak orang. Atau ada orang yang menikah tapi tidak punya anak, punya anak tetapi tidak menikah. Atau orang cantik tapi cacat, sempurna tapi tidak tampan. Atau orang yang bodoh tapi kaya, pintar tapi tidak menawan. Atau atau-atau lainnya yang tidak akan bisa kita hitung jumlahnya.
Hidup ini tidaklah berjalan sesuai dengan buku panduan ala Instagram: perut yang rata, pinggang yang kecil dan pinggul yang melebar. Muka terawat, rambut lurus dan mengkilat, dan kuliah di Harvard. Menikah dengan Oppa Korea, ganteng, pintar dan kaya raya.
Tidak, hidup ini lebih kaya dari sekedar standar keberhasilan yang diusulkan oleh manusia dan kaumnya. Hidup ini memiliki arti yang jauh lebih dalam dari titel yang panjang, atau jumlah uang yang ada di bank. Hidup ini jauh lebih berarti dibanding berapa jumlah likes dan follower di dunia maya.
Hidup ini tidak sesempit saat kita ingin berhenti waktu menghadapi penyakit dan kemiskinan. Tidak mutung waktu menemui kegagalan. Tidak menyerah meskipun Tuhan tahu sebenarnya kita sudah terlalu lelah untuk berjuang.
Do you want to live?
Pertanyaannya: apakah kita mau hidup?
Hampir semua orang bilang mereka ingin hidup. Hampir semua berusaha untuk hidup sepanjang-panjangnya. Tidak ada yang dari kecil ingin cepat mati padahal hidupnya baik-baik saja. Orang-orang yang sakit pun berusaha untuk berobat kesana kemari untuk bisa memperpanjang usianya.
Tetapi apakah kita benar-benar sudah hidup? Apakah kita benar-benar ingin hidup? Dan apakah kita benar-benar menghidupi kehidupan ini?
Ada orang-orang yang memutuskan untuk ‘berhenti’ hidup ketika mereka memasuki usia pensiun. Atau ketika mereka patah hati. Atau ketika mereka gagal di dalam pendidikan atau pekerjaannya. Atau ketika kehidupan itu sendiri seakan mengkhianati mereka.
Tetapi ada juga orang-orang yang sebenarnya tidak benar-benar hidup meskipun mereka hidup. Mereka menghidupi kehidupan yang monoton, yang berputar dari satu rutinitas satu kepada rutinitas lainnya. Hidup hanya sekedar untuk survive, tanpa tahu sebenarnya untuk apa.
Julie menulis kepada putri-putrinya, “Rejoice in life and all of its beauty because of it; live with special zest and zeal for me.”
Kita hidup bukan untuk hidup itu sendiri. Hidup itu diberikan Tuhan kepada kita untuk kita nikmati, untuk kita jalani, supaya kita bisa bersukacita, supaya kita bisa ‘rejoice’ di dalamnya. Supaya kita bisa melihat betapa besarnya kuasa Allah yang menciptakan kita. Supaya kita bisa menyaksikan kekuatan tangan-Nya di dalam segala kesukaran kita. Supaya kita bisa memuliakan Nama-Nya yang besar lewat pengalaman-pengalaman kita.
Hidup ini memang di luar nalar kita. Tetapi ada di dalam rencana, di dalam pengetahuan dan nalar Tuhan yang pengertian-Nya yang tidak pernah salah dan di dalam perencanaan-Nya yang tidak pernah gagal.
Semoga cerita tentang Julie Yip Williams ini bisa menjadi sebuah penggugah semangat buat kita semua. Di saat kita merasa hidup ini kok tidak terasa wajar, bersyukurlah karena itu tandanya Sang Arsitek kehidupan punya rancangan yang jauh lebih besar daripada pengertian dan logika kita!
Hidup ini singkat, waktu yang kita miliki adalah pinjaman belaka. Mari kita gunakan sebaik-baiknya!
Well written. Manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Bukan lamanya waktu hidup, tapi apakah kita menjalaninya dengan sebaik -baiknya?
Seperti biasa, tulisanmu menginspirasi dan mengingatkan untuk tetap bersyukur.
Aaaa Mba Dea, bagus banget tulisannya 😭.
Ku speechless dan menangis literally. Menjadi sebuah reminder buat saya pribadi.
“Hidup ini lebih berarti dari jumlah likes dan followers di social media..” quote-nya tepat dan jitu.
Terima kasih Mba Dea 🥰
Ah, very inspiring… 😍
Sungguh di luar nalar kamu masih sempat nulis bagus begini di tengah ujian2 yang melanda 😁🤗😘
masyaAllah tabarakallah teh. aku cuma mau bilang biiznillah…..allah biiznillah….. Allah itu maha baik…..semua yang ditakdirkannya juga baik. Makasih teh buat tulisannya.
Hidup 40 tahun but very inspiring. Dituliskan di blog pula 😉 ini orangtua asuhnya ngasuhnya gimana ya, jadi kepo
teh Irene … aduh mengapa ini tulisan mengandung bawang. Keren …
Julie sebuah inspirasi. Benar adanya bahwa Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Pemurah memberikan hidup dan kehidupan kepada kita untuk dijalani dengan sebaik-baiknya. Perjalanan di dunia ini sangatlah singkat … untuk menuju perjumpaan dengan-Nya: sudahkan kita mempersiapkan bekal dengan sebaik-baiknya pula? … bismillah
Frase di awal tulisan… “sebenarnya hidup itu sendiri sesungguhnya adalah sebuah pengalaman di luar nalar.” sungguh benar adanya. Dan membaca penggalan kisah Jullie Yip ini sungguh menginspirasi. Terima kasih sudah berbagi, Teh Dea.