Bulan lalu, waktu kami ke sekolah membicarakan rapor si Sulung, kami berdiskusi tentang ke SMP/SMA apa si Sulung bisa pergi dengan nilainya sekarang. Ceritanya sistem sekolah menengah dan tinggi Belanda berbeda dengan Indonesia. Sekolah menengah dan tinggi sudah ditentukan (diarahkan) sejak di bangku SD.
Misalnya, kalau nilai mereka bagus, mereka bisa masuk VWO (level SMP/SMA) dan lanjut ke universitas. Kalau nilainya di bawah standar, bisa ke sekolah menengah VMBO dan lanjut ke politeknik D1 sampai D3.
Sambil membahas hal itu, kami juga membahas sebenarnya apa minat dan potensi dan cita-cita si Sulung.
Cita-citanya apa?
Table of Contents
Di tengah percakapan, tiba-tiba Juf Claudia – guru si Sulung menatap kami bertanya, “Kalau kalian, apa cita-citanya?” Pandangannya tajam, menusuk sampai ke kalbu.
Pak Suami menjawab, “Ya, kalau saya dulu memang sudah ingin jadi insinyur telkom.” Saya yang somehow tahu ke mana arah pertanyaan sang Juf pun terdiam. “Bukan,” lanjut Juf. “maksud saya, apa cita-citamu sekarang.”
Mantan calon dokter
Saya pernah bercita-cita menjadi dokter. Sejak kecil sampai dewasa, saya selalu ingin jadi dokter. Mungkin semuanya timbul karena saya langganan diopname. Rasanya senang aja mencium bau rumah sakit 😆, belajar nama dan istilah yang asing di telinga, dan meneliti bagaimana badan kita bekerja.
Itulah mengapa waktu satu bulan terakhir ini saya mudik ke Indonesia dan mengantar Mama bolak-balik cek-up di RSUI (Rumah Sakit Universitas Indonesia), hati saya bagai ditusuk sembilu.
Dokter-dokter yang menangani Mama adalah epitome sosok perempuan impian: cantik, berdandan sederhana and yet elegant, sekaligus memancarkan kepintaran. Sempat saya menyampaikan sambil bercanda kepada mereka rasa kagum (dan rasa iri) yang saya punya.
Tapi namanya hidup, tidak selalu berjalan sesuai angan. Meskipun minimal, ternyata saya end up jadi menantu seorang dokter anak 😁, dan tak pernah jauh dari rumah sakit untuk tiap tahun kontrol kesehatan secara berkala 😁.
Sudah tua, masihkah bisa punya cita-cita?
Entah mengapa, pertanyaan dari Juf si Sulung itu seperti menjadi tema bulan Juli. Selain Juf Claudia, saya menerima beberapa pertanyaan serupa dari beberapa orang di dalam momen yang berbeda.
Seakan semesta pun tahu betapa saya sedang bergumul beberapa tahun ini, mempertanyakan saya ini mau jadi apa? Setelah anak-anak semakin besar, kesehatan semakin baik, kesempatan dan waktu makin tersedia, peran apa yang ingin saya ambil di dalam sisa kehidupan saya?
Setelah dua tahun lalu saya mulai mengikuti beberapa komunitas menulis, kembali belajar bahasa Belanda dan mulai aktif bekerja di luar rumah, saya semakin yakin kalau sebenarnya saya masih punya potensi untuk belajar. Saya masih punya ‘otak’, yang selama ini seperti terlupakan karena terlalu lama fokus pada setrika dan cucian 😝.
Dan karena di Belanda kesempatan untuk kembali ke sekolah sebenarnya itu sangat terbuka, sekarang pertanyaan yang tersisa adalah: saya mau jadi apa?
Karena usia saya tidak muda lagi, anak-anak masih butuh bimbingan ibunya, ada keluarga yang perlu diurus, dan kenyataan kalau di sini kami kami tidak punya support system seperti di Indonesia – semua faktor-faktor ini menjadi pertimbangan saya untuk memilih jenis profesi yang akan dipilih dan dijalani.
Selama dua tahun ini saya sudah mencoba beberapa pekerjaan part time seperti menjadi volunteer di sekolah dan menjadi pelayan restoran. Meskipun gajinya tidak banyak, tapi ada perasaan senang karena bisa keluar rumah dan mencoba hal-hal baru.
Tapi saya sadar kalau saya tidak bisa sampai tua bekerja fisik di seperti ini. Selain itu keinginan saya untuk belajar seperti meronta-ronta. I want something more than this. I want to learn and use other than my muscles alone!
Setelah meneliti, menimbang, mendoakan, mendiskusikan dengan Pak Suami, orang tua dan banyak teman-teman, akhirnya saya memilih untuk menjadi guru. Kenyataan kalau ada shortage of teachers di Belanda (sampai-sampai banyak sekolah dasar ditutup karena kekurangan pengajar) membuat saya berpikir mungkin di sinilah saya bisa melayani sesama.
Mungkin di sinilah potensi dan kemampuan saya bisa dipakai untuk menolong orang lain. Pengalaman saya membesarkan anak yang sempat mendapatkan cap ‘terlambat’, juga pengamatan terhadap teman-teman anak-anak di sekolah yang tidak semuanya memiliki orangtua yang bisa mendukung mereka dalam bidang akademis membuat saya ingin bergerak.
Kekaguman saya terhadap guru-guru di Sekolah Panda – sekolah anak-anak, sebuah SD di tengah lingkungan pengungsi yang kebanyakan berasal dari Timur Tengah, yang banyak muridnya datang dari keluarga penuh dengan trauma, bahkan tuna aksara latin – and yet para guru terus semangat membaktikan diri menolong anak-anak yang sering dicap tidak punya harapan lagi.
Kerinduan untuk melayani anak-anak ini adalah dasar saya memilih profesi baru yang akan saya mulai pelajari di tahun ajaran yang baru ini. “Mulailah pelayanan dari kebutuhan sesamamu,” itu khotbah yang pernah saya dengar.
Cita-cita versi realistis
Faktor lain yang membuat saya memilih profesi guru adalah perhitungan realistis tersangkut dengan jam dan waktu bekerja. Menjadi guru, saya bisa mulai jam 8 pagi dan selesai jam 4 sore. Saya bisa pulang lebih cepat dari pegawai kantoran biasa dan masih punya waktu menemani anak-anak di rumah atau mengantar mereka ke kegiatan luar sekolah.
Selain itu, jadual guru sama dengan jadual murid. Saat murid-murid mendapatkan libur musim semi/panas/gugur dan musim dingin, guru dapat libur juga. Jadi saya tidak perlu pusing mencari tempat penitipan anak – dilema umum yang dialami ibu yang bekerja di luar rumah.
Saya juga bercita-cita untuk bekerja part time, dua/tiga hari seminggu. Karena adanya kebutuhan guru yang besar, kemungkinan lamaran kita diterima sangat besar. Bahkan kalau kita minta untuk bekerja paruh waktu saja.
Jadi memang pilihan profesi ini bukan saja sebuah kerinduan yang idealis, tapi juga realistis, mengikuti kondisi keluarga.
Penutup
Seperti pertanyaan Juf Claudia, kita masih bisa punya cita-cita sekarang, meskipun usia sudah tidak muda. Selama masih ada waktu, kesempatan, masih ada jalan, kita masih bisa kok memilih sebuah tujuan dan mencoba menggapainya.
Tahun ajaran yang baru (minggu depan, huhuy!) saya akan masuk sekolah lagi. Dimulai dari Sekolah Asisten Guru (setingkat D3) dan akan lanjut ke Sekolah Guru (setingkat D4), saya akan berjibaku selama kurang lebih 4 tahun. Tiga hari kuliah praktek dan satu hari ke kampus untuk kuliah. Detailnya di post berikutnya ya!
Bisa nggak ya? Sanggup gak ya? Ah, jalani saja. Bekerja dan berdoa, ora et labora. Seperti Tantangan Bloggin Mamah Gajah Ngeblog bulan Agustus 2023, berjuang untuk Keinginan yang Masih Ingin Dicapai Mamah ini sah-sah saja!
Salam semangat buat Mamah semua! 💪
Cakeeep. Semoga lancar segala sesuatunya, Juf Dea (udah boleh dipanggil ‘Juf’? 😉) Postingan selanjutnya ditunggu…
Dea, seneng banget bacanya, walau di akhir aku sempat berkaca-kaca, terharu. Semoga dimudahkan perjalanannya, menjadi guru sangat mulia. Suka banget dengan kutipan khotbah yang Dea dengar : sebisa mungkin berguna untuk orang lain.
All the best ya Bu Guru Dea , love
Aku pun, Teh… deep down my heart. I wanna be a teacher 😁. Sukses dan lancar ya, Teh impiannya aamiiin ^^
Peluk teh Dea …
Itu obrolan sekolah Panda yang keren banget saat kita meet up di Remboelan ya …
Aku waktu SMA kepingin banget lanjut kuliahnya ke IKIP yang di Setiabudi itu. Tapi Bapa gak mengijinkan, kata beliau kalau bisa kuliah kedokteran atau teknik (ampun aku nyerah gak mau jadi dokter, jadi lah milih arsitektur -samaan kita ya). Nah … Saat kuliah jiwa mengajarku meronta terus … Jadilah aku sukarelawan di sebuah panti asuhan mengajar anak-anak math dan art plus tetap ngelatih di Pramuka. Bersyukur setelah merasakan kehebohan dunia arsitektur, aku lanjut S2 dan bisa jadi dosen. Usulanku untuk ada program ‘Dosen Mengajar’ di SMA/SMK di kampus sudah goal … Seneng banget bisa jadi guru juga.
Semoga impian teh Dea untuk mengajar segera terwujud …
Salam semangat.
“Ora et Labora. Bekerja dan Berdoa.” Siappp Dea, kalimat kuat yang merasuk dalam kalbuku. Somehow mnjadi reminder keras buatku, Dea. Makasiy banget ya Mba Dea….
Pertama-tama, puji syukur, seneeng banget Dea hadir kembali, dan setelah membaca tulisan ini, makin sukacita karena banyak hal yang berhasil dijalani. Hanya bisa ikut berharap semoga Mama sehat walafiat selalu, juga untuk Dea dan keluarga, semoga sehat walafiat selalu dan dalam lindunganNya…
Pasti bisa. Pasti sanggup. Selamat berkarya, Mamah Dea, meraih cita-cita noble menjadi seorang guru.
Bener banget Dea, selama masih ada waktu dan kesempatan. Karena seperti pernah kita obrolin, kl di Prancis mau jadi guru itu harus warga negara lokal. Ayo terus semangat memanfaatkan waktu dan kesempatannya! 🔥🤗
Weits keren nih bisa jadi Bu Guru di Belanda. Semoga dilancarkan dan dimudahkan ya prosesnya. Semangat Bu Guru Dea.
Aku terharu baca tulisannya teeh. Sebagai sesama orang yang dulunya ngebet pingin jadi dokter tapi somehow masuknya ITB, masih ada keinginan terpendam untuk sekolah lagi. Aku ikut senang teh Dea akhirnya bisa mewujudkannya ❤️❤️
Selamat menempuh perkuliahan Teh. Semoga lancar semuanyaa
Waaah. Aku kaguum. Nggak tanggung-tanggung, sebelum jadi guru harus sekolah lagi. Semoga bisa melalui semua dengan baik, dan happy dengan mengajarnya nanti ya teh! Semangat!
Wah…semangaat. Semoga segera terwujud yah jadi Bu Guru. Ada perasaan engga ternilai sih jadi pengajar (walaupun sekarang ini aku lagi jenuh…hihi)…
Apalagi kalau udah lama engga bertemu, ketemu lagi, mantan murid udah sukses…
Perasaan kemarin udah komen, tapi kok ga ada ya. Gimana nih udah mulai perkuliahannya? Cerita berikutnya aku tunggu. Kita garis besarnya sama-sama pengen ngajar, bedanya dikau jadi guru beneran di sekolah, aku ngajar bukan di sekolah hehehe (eh bukan berarti jadi guru bohongan ya hahaha).
Semangat Mbak Dea, semoga dimudahkan dan dilancarkan ya.