Sungai Rhein

Aku menatap anakku yang sedang berlari sepanjang jembatan, membentangkan tangannya selebar-lebarnya seakan berusaha menangkap angin. Tiga jam di mobil bersempit-sempit di antara barang-barang membuatnya pengap. Betapa senangnya dia ketika akhirnya kami sampai di kota ini. Tidak perlu lagi menahan perasaan kalau disuruh tenang ketika Papa berkonsentrasi mengemudi.

Kami berjalan bergandengan di sepanjang pinggiran sungai Rhein yang indah. Lampu-lampu kecil sudah mulai dinyalakan karena hari mulai gelap. Malam belum lagi datang, tetapi di musim yang mulai mendingin ini matahari memutuskan untuk lebih cepat pulang. Menunduk aku menutup jas anakku, membetulkan syalnya dan memastikan dia memakai topi hangatnya. Kuajak dia lebih cepat berjalan menuju restaurant untuk makan malam.

Tidur di tempat lain yang bukan rumah selalu merupakan tantangan tersendiri. Kamar berbeda, aroma yang berbeda, situasi yang berbeda… tidak pernah mudah menemukan ketenangan di situasi yang baru, terutama untuk anakku yang kata dokter ada di dalam spektrum autisme. Baginya rutinitas adalah sesuatu yang baku – sebuah harga mati. Dan meskipun kami terus berusaha mengenalkan dia pada dunia yang lebih lebar daripada rumah kami yang hanya 80 meter persegi saja, setiap perjalanan merupakan suatu perjuangan.

Aku membaringkan diri kelelahan. Tangisan anakku yang menggema di antara sunyinya malam Jerman membuat seluruh syarafku tegang. Dua kali pemilik losmen mengetuk pintu kamar kami, dan dua kali kami menjelaskan dan berusaha membuat anakku tenang. Haruskah aku berhenti berusaha mengenalkan dunia kepadanya? Haruskah kami tinggal di rumah saja?

Amsterdam

Kami pulang ke rumah dengan kelelahan. Perjalanan tiga jam kembali ke rumah terasa seperti siksaan yang abadi. Raungan dan tangisan ramai mendominasi. Hanya empat hari jauh dari rumah, tetapi terasa sangat lama. Rasanya lega sekali melihat ruang tengah yang sempit dan penuh dengan mainan, dan dapur yang belum sempat dirapikan. Rasanya bahagia sekali pulang ke kamar yang dikenal, tidak perlu lagi takut diketuk tetangga disuruh diam.

Kami kembali ke rutinitas yang sama. Sekolah, terapi, rumah. Sekolah, terapi, rumah. Dengan sedikit tawa dan banyak tangisan. Dengan tantrum yang tidak terasa sebagai tantrum. Tantrum itu kan sebuah istilah untuk mengamuk yang hanya sesekali. Apa namanya mengamuk yang setiap 10 menit terjadi?

Menunduk aku memungut buku yang dilempar anakku. Dia menolak untuk dibacakan cerita. Mengamuk dia memukul dan mencakar lenganku. Tidak setiap hari dia begitu, tapi kehidupan sebagai ibunya jauh dari segala cerita di buku-buku. Tentang indahnya menjadi mama, berbaju cantik, duduk di kursi goyang memangku seorang balita membaca cerita. Di dalam hari-hariku, itu semua hanya harapan, yang terlalu jauh bahkan hanya untuk dibayangkan.

Hariku terus bergulir. Hidup terasa biasa, tapi juga terasa luar biasa. Aku mengusahakan segalanya untuk membuat anakku bertumbuh menjadi ‘normal’ seperti anak-anak lainnya. Segala saran aku aku coba, segala teori aku ikuti. Empat tahun ini aku melihat ada sedikit perkembangan, tetapi rasanya tidak cukup cepat. Semua masih kurang.

Tetapi tadi malam, seperti sebuah keajaiban, aku duduk di sebuah ruangan besar untuk menonton sebuah pertunjukkan musik. Di sana anakku duduk, di belakang piano besar. Kakinya tergantung-gantung karena kursinya terlalu tinggi untuknya.

gambar sebagai ilustrasi

Aku duduk menahan nafasku, bisakah dia? Bisakah dia? Baru saja dia menangis di mobil karena ketakutan. Atau karena salah paham. Aku tidak tahu yang mana alasannya. Aku tidak pernah betul-betul tahu semua alasan ledakan emosinya. Atau aku tahu, tapi tidak pernah berkuasa menolong dia melewati semuanya.

Dengan cepat dia memulai lagu yang sudah dilatihnya berbulan-bulan. Sebuah waltz dari Johann Strauss II mengalun dengan tempo yang sedikit terlalu cepat dari piano yang lebih besar daripada meja makan kami. Hanya sekian menit anakku memainkan lagunya, lalu tiba-tiba melompat dan lari keluar dari panggung. Penonton pun tertawa kaget sambil bertepuk tangan. Aku berlinang air mata sambil memegang handphone yang belum berhenti merekam.

Jakarta

Aku terbangun dari tidurku secara tiba-tiba. Kepalaku terasa panas, tapi badanku basah oleh keringat. Mimpi apa ini? Semua terasa begitu jelas dan begitu nyata. Aku jelas-jelas melihat anakku di sana. Anakku, anakku. Anak yang begitu aku dambakan selama 10 tahun pernikahan yang tidak pernah membuahkan ini. Anakku. Anakku. Anakku.

Termangu aku duduk di tempat tidur. Suamiku tetap terlelap. Orang setenang dia tidak pernah kelihatan terusik dengan masalah hidup. Tidak pernah terlihat gundah meski mungkin dia pun sengsara menuai pertanyaan orang, kapan kalian punya keturunan.

Anakku. Anakku. Anakku yang autis. Anakku yang menyusahkan. Anakku yang pintar bermain piano dan membuatku menangis bangga. Tetapi ternyata dia hanyalah sebuah mimpi belaka. 

Anak yang kurindukan, mungkin suatu hari dia akan kudapatkan. Tetapi bukan dalam bentuk anak idaman seperti di majalah ayah bunda. Melainkan anak yang penuh tantangan. Anak yang perlu dibesarkan dengan perjuangan melebihi kenormalan.

Akankah aku bahagia bila keinginanku tercapai untuk mendapatkan keturunan? Ataukah lebih baik begini – hanya berdua dengan suamiku seperti sekarang?

Anakku. Anakku. Bila kenyataan tidak seindah impian, apakah yang akan kurasakan?

Footnote:

Tulisan ini fiksi semata, ditulis untuk memenuhi tantangan menulis KLIP periode 26 Juli – 1 Agustus 2021.

Catatan tambahan: sebagai orangtua, kita sering dihadapkan dengan kenyataan kalau kehidupan kita dengan anak-anak ternyata tidak seindah impian atau harapan kita dulu. Bagaimana kita menghadapinya? Masihkah kita tetap bersyukur?

One thought on “Aku dan Anakku

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *