Di jaman pandemi ini, salah protokol yang wajib dijalankan di dalam menjalani kehidupan sosial adalah menjaga jarak. Beberapa negara menyarankan penduduknya untuk menjaga jarak minimal 1 meter dari orang lain. Di negara lain jarak minimal yang disarankan adalah 2 meter.
Butuh penyesuaian untuk terbiasa menjalankan aturan ini. Awalnya tidaklah mudah untuk mengukur-ukur berapa jarak yang tepat saat kita bertemu orang lain. Kebiasaan untuk bersalaman, berpelukan atau mencium pipi menjadi tidak relevan. Namun demikian menjaga jarak fisik ini tetap perlu dilakukan, untuk kebaikan bersama bagi kita dan orang lain yang kita temui.
Sebenarnya, bukan hanya di masa pandemi saja kita perlu menjaga jarak fisik di antara kita dan orang lain. Kita mengenal yang namanya ‘personal space’ – sebuah ruang fisik yang tidak terlihat di sekeliling seseorang, yang bila dilanggar akan membuat orang tersebut merasa tidak nyaman atau merasa terancam.
Dikutip dari The Spruce, jarak rata-rata ruang personal di Amerika adalah sebagai berikut:
- 0 – 50 cm untuk pasangan atau orang tua dan anak
- 50 cm – 1 meter untuk kerabat dan teman dekat
- 1 – 4 meter untuk kenalan biasa atau teman sekerja
- Minimal 1,5 meter untuk orang asing
Tentu saja daftar jarak di atas ini hanyalah berupa sebuah anjuran dan bukan sebuah hukum yang kalau dilanggar akan mendatangkan hukuman atau denda. Tetapi penting untuk diingat, bahwa pada dasarnya setiap orang membutuhkan ruang personal.
Teman dekat yang sedikit terlalu lekat
Table of Contents
Baru-baru ini saya mendengar sebuah cerita tentang sebuah keluarga yang dikenal sangat sosial di antara teman-teman mereka. Keluarga ini hampir selalu mengunjungi keluarga lain di setiap akhir minggu. Sebaliknya mereka pun sangat terbuka untuk menerima tamu di rumahnya – kapanpun people are warmly welcome.
Hubungan sang ibu dan sang ayah dari keluarga ini sangatlah dekat dan hangat dengan teman-teman mereka. Mereka merayakan banyak event bersama-sama; kelahiran, ulang tahun, kelulusan, dan sebagainya. Terkadang keluarga ini juga membuat janji untuk berlibur bersama, menyewa sebuah pondok liburan untuk dua atau tiga keluarga. Anak-anak mereka bisa bermain, para orang tua juga melewati waktu yang menyenangkan sambil mengobrol dan melakukan kegiatan bersama.
Sungguh sebuah kondisi yang sangat menyenangkan. Terutama di dalam status sebagai perantau yang tidak memiliki sanak saudara yang tinggal dekat dengan kita, bisa mempunyai teman yang sangat dekat serasa keluarga adalah sebuah hal yang sangat berharga.
Tetapi, – kalau gak ada tapi-nya gak seru yah – sama seperti kita perlu memberi ruang personal secara fisik untuk orang lain dan tidak berdiri terlalu dekat dengan mereka, kita juga perlu untuk menjaga jarak di dalam hubungan fisik dan emosional kita sebagai teman atau sahabat.
Belakangan mulai terdengarlah keluhan tentang keluarga yang saya ceritakan di atas ini. Liburan kali ini mereka ‘ikut berlibur’ dengan dua keluarga lain yang sebenarnya sudah punya rencana sendiri. Kurang melihat keadaan, si keluarga ini pun menyatakan bahwa mereka akan ikut berlibur di kota A dengan mereka, padahal tidak diundang untuk ikut bersama.
Bukan hanya mereka bersama-sama pergi ke kota A, keluarga ini pun ingin bergabung di dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh dua keluarga lain itu. Kalian mau ke restoran B? Kami ikut! Kalian mau ke museum C? Kami ikut! Kalian mau mengunjungi saudaramu si D? Kami ikut!!!! Tanpa melihat keadaan, keluarga ini mengintili keluarga yang lain kemanapun mereka pergi.
Dan ternyata hal ini sudah cukup sering terjadi. Cukup sering sampai menimbulkan keresahan di komunitas mereka. Dan cukup sering sampai beberapa temannya memutuskan untuk merencanakan liburan mereka ‘secara diam-diam’, jangan sampai terdengar kepada si keluarga ini karena mereka kemungkinan mau ikut.
Tak ingin sendiri
Mendengarkan cerita ini, saya pun berpikir kira-kira apa yang menyebabkan si keluarga ini selalu ingin bersama keluarga lain di setiap waktu luang mereka. Kabarnya, keluarga ini hampir tidak pernah keluar bersama sebagai keluarga; ayah, ibu anak-anak, tanpa ada keluarga lain di sekitar mereka. Harus ada keluarga lain, harus ada tamu, harus sambil berkunjung ke rumah orang lain. Itu baru seru!
Saya pikir, mungkin keluarga ini tidak ingin sendirian. Tidak ingin sendiri adalah sebuah kebutuhan manusia yang paling dasar – itulah mengapa Allah menciptakan Hawa untuk Adam. Dan untuk alasan yang sama, di era 80-an Pance Pondaag dan Dian Piesesha sampai meroket ketenarannya setelah meluncurkan album yang berjudul ‘Tak Ingin Sendiri’.
No man is an island – kita semua membutuhkan orang lain dan tidak dapat hidup sendirian. Tetapi terkadang dorongan untuk bersama-sama orang lain ini menjadi terlalu kuat sampai kita lupa, bahwa orang lain pun memiliki ruang personal dan privasi yang perlu kita jaga.
Mengartikan sinyal
Dari kasus ini saya belajar, bahwa kita perlu untuk menjaga perasaan orang lain dan perlu pintar membaca suasana. Meskipun kita sudah sangat dekat dengan seseorang, bahkan sudah terasa seperti saudara sendiri, kita tetap harus menjaga jangan sampai kita melewati batas privasi mereka.
Batas privasi adalah batas yang tidak terlihat. Tetapi bisa kita rasakan melalui percakapan kita dengan mereka. Apa respon mereka terhadap ajakan kita. Bagaimana nada suara mereka. Atau jangan-jangan sudah ada kalimat-kalimat seperti, “Yakin kamu mau ikut?” atau “Nanti kalian tidur di mana?” atau sekedar “Oh gitu ya…”.
Sinyal-sinyal keraguan yang harus bisa kita baca dan analisa, apakah kali ini mereka siap untuk menerima kehadiran kita? Atau sebaiknya lain kali saja kita pergi bersama.
Jangan sering ke rumah tetangga
Sewaktu saya kecil, Mama saya mengajar kami anak-anaknya untuk tidak terlalu sering bertandang ke rumah tetangga. Kami memiliki sebuah tetangga rasa saudara yang tinggal hanya beberapa rumah jaraknya dari rumah kami. Di sana kami bebas tidur, main, makan dan sebagainya. Tidak hanya itu saja, berjalan-jalan sampai berlibur ke luar pulau pun terkadang kami lakukan bersama.
Tante N (ibu dari keluarga ini) juga sudah terasa sebagai mama kedua bagi saya. Begitu dekatnya keluarga kami. Tetapi tetap Mama selalu membatasi kami untuk tidak terlalu sering ke rumah mereka. Tawaran untuk yuk nginap saja kan udah keburu malam selalu ditampik. Boleh dekat, tapi tidak setiap hari ke sana, itu kata Mama.
Saya tidak terlalu mengerti prinsip Mama saya ini. Apakah salahnya ke tempat mereka? Toh si Tante selalu welcome. Sampai saya beranjak dewasa dan merasakan bahwa kita pun butuh privasi, butuh waktu untuk diri sendiri. Dan kemudian mengerti bahwa ternyata dibutuhkan effort untuk menghabiskan waktu bersama orang lain, menjamu dan memperhatikan mereka. Dan belum tentu kita setiap hari siap untuk melakukan effort ini untuk menemani orang lain yang datang ke rumah kita.
Bahkan kitab Amsal pun memberikan nasihat, “Janganlah kerap kali datang ke rumah sesamamu, supaya jangan ia bosan lalu membencimu.” (Amsal 25:17, TB).
Artinya kita jangan sampai berkunjung ke rumah orang lain tanpa hati yang tulus. Tanpa hati yang mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan mereka dan hanya memikirkan keinginan dan kebutuhan diri sendiri untuk bisa bersama-sama dengan mereka.
Boleh dekat tetapi tetap menjaga jarak
Cerita ini membuat saya berhenti dan mengevaluasi diri. Mungkin saya pun sering tanpa sadar menginvasi privasi orang lain dengan terlalu sering berkunjung atau mengontak mereka lewat whatsapp atau telepon tanpa mempertimbakan kondisi mereka saat itu.
Hubungan antara manusia adalah sebuah kebutuhan pokok bagi kita semua. Karena itu kita perlu menjalaninya dengan bijaksana. Hubungan kita dengan sesama adalah sebuah proses timbal balik di mana kita perlu mempertimbangkan perasaan mereka dan sebaliknya.
Sama seperti kita perlu menjaga jarak yang cukup supaya mengecilkan resiko tertular virus Corona, kita pun perlu berhikmat menjaga jarak yang cukup di dalam berteman atau berkeluarga supaya bisa menjaga hubungan yang tetap hangat namun tidak sampai membuat tidak nyaman.
Setuju banget Dea, aku juga pernah ada pengalaman kurang enak karena terlalu “dekat” hehe. Memang harus sewajarnya, tetap ada ruang privacy yang harus kita hargai kan.
Kalau whatsapp kapanpun 24/7 aku masih ga papa, karena bisa dibalas nanti..di circle friends ku udah biasa WA sekarang dibalas besok hehe, karena mungkin ga sempat.
Aku termasuk yg bakal tegas menolak kalau ada yg mengintili dan ga ngeh kadang2 mereka ga welcome, hehehe. Sabar banget tapi keluarga yg dikuntit sama keluarga lain itu, wkwkwk.
Tulisan yang menarik, Teh! Pasti risih deh rasanya diintilin orang lain pas liburan. Diintilin anak sendiri di dalam rumah aja udah ga enak 😆.
Setuju banget soal jaga jarak. Menurutku ini berlaku umum, ga hanya ke orang lain di luar keluarga inti, bahkan juga berlaku dalam hubungan ortu anak. Masing-masing kan individu yang berbeda. Kadang ortu merasa memiliki anak berikut kehidupannya, sampai ga memberi privasi kepada anak. Intinya respect each other personal space lah ya.
Mungkin yg selalu mengintil itu pada dasarnya nggak pede buat bepergian sendiri ya, dan ga mau mencoba juga. Kadang nemu kasus serupa simply krn ga pede buat book sendiri.
Ak termasuk orang yg sering memerlukan me time, dan di saat² begitu males banget kalau ada yang interrupt. Tp susahnya ak ga tegaan…hiks…