Memilih Kotak untuk Dicentrang

Beberapa lama belakangan ini saya sangat malas masak. Sangat malas masak. Sampai dua kali disebut – saking besarnya keengganan untuk yang namanya memasak. Sebelumnya juga sudah malas sih, masak hanya dilakukan sebagai keharusan sebagai seorang ibu, dan kebutuhan karena semua orang di rumah ini butuh makan.

Saking enggannya saya memasak, setiap kali makanan habis mood saya turun mulai dari kepala sampai jempol kaki. Seharian rasanya semua terasa tidak menyenangkan. Mau bangun dari tempat tidur pun tidak mau. Melihat dapur rasanya sebagai siksaan.

Tapi mau gimana lagi, hari ini kami betul-betul sudah tidak punya makanan. Sudah dua hari anak-anak makan malam dengan daging giling campur kacang merah – dan mereka sudah membuat saya berjanji kemarin, kalau hari ini saya akan memasak sesuatu yang berbeda. 

Bahkan si Abang yang biasanya dikasih makanan yang sama 72 kali pun tidak berkomentar, kemarin bilang kalau dia sudah berhari-hari makan tumis kacang merah itu. Saya bertanya, “Kok bisa kamu bilang berhari-hari? Kan baru kemarin aku masak itu? Hari ini baru dua hari dong.”

Jawabnya, “Ya, kalau dua hari kan artinya sudah berhari-hari.” Eh iya juga ya. Berhari-hari artinya lebih dari satu hari. Kalau dua hari kan lebih dari satu juga ya 😀

Dengan teror bahwa saya harus masak hari ini – masak ayam, itu janji saya kemarin, kemarin setelah membawa anak-anak ke Museum Waterlinie saya mampir di slagerij dan membeli beberapa kilo ayam. Rencananya mau masak ayam yang akan sekaligus dimasak banyak dan disimpan sebagai stok di freezer, makanya beli agak banyak. 

Tetapi pagi ini tetap saja saya begitu sebalnya memikirkan kalau saya harus masak – plus kecapekan setelah berhari-hari keluar terus, saya baru keluar kamar jam 10 pagi! Untungnya anak-anak bisa menyiapkan sarapan mereka sendiri: muesli dan susu menjadi penyelamat di pagi yang berat untuk Mama.

Terpaksa masak

Setelah akhirnya mengumpulkan niat yang sudah terpecah menjadi sejuta partikel kecil dan hampir 70 persen menguap di udara, saya turun ke bawah. Sarapan sambil berpikir keras saya harus masak apa. Sampai dicoret-coret di buku lho ada opsi resep apa saja yang bisa dikerjakan.

Di antara pilihan ayam (dan nasi) hainan dan ayam goreng bumbu kuning, akhirnya saya pilih pilihan kedua dengan pertimbangan ayamnya bisa disimpan di freezer kalau berlebihan. Tapi karena selain ayam-ayam bertulang saya juga membeli daging fillet, saya pun memutuskan untuk masak nasi basmati karena sebelumnya mengecek di dapur ada bumbu instant untuk masak basmati.

Ya begitulah saya. Yang katanya tidak mau ribet, akhirnya ribet juga. Seketika proses masak yang maunya sebentar dan ringkes menjadi berlarut-larut mulai tidak terkendali. Rasanya semua koleksi panci saya pun keluar dari dalam lemari dan memenuhi meja dapur saya yang sempit. 

Ketika di atas kompor sudah ada sepanci ayam kuning yang sedang diungkep, panci berisi ayam masala dan panci lainnya berisi nasi basmati, meja makan kami penuh dengan sisa makan siang anak-anak yang belum dibersihkan karena bak cuci piring masih penuh dengan bekas mencuci ayam mentah.

Perasaan malas saya yang memang belum hilang (hanya disepak ke samping sebentar) sudah berubah menjadi hampir menangis ketika melihat tumpukan barang di kiri kanan dan depan belakang. Dan di saat yang seperti itu, ada telepon datang, mengingatkan saya ditunggu untuk pertemuan Zoom untuk Bible Study.

Antara begah dan pasrah, saya login dan membuka Zoom dan mengikuti Bible Study dengan kamera dan mikrofon yang dimatikan. Sambil mendengarkan si ibu memimpin, saya mulai mengembalikan semua barang ke tempatnya. Sambil memburu 50 lalat yang tiba-tiba hijrah dari pohon di depan rumah ke dalam karena terpancing enaknya aroma masakan.

Setelah Zoom selesai, yang tinggal hanyalah sebuah pertempuran sunyi di antara saya dan panci-panci. Selain tidak suka masak, saya tidak suka mencuci panci. Mungkin kebencian saya mencuci panci lah yang membuat masak itu terlihat sangat berat. Tapi mau minta tolong sama siapa? Bisa sih menunggu si Abang pulang dan membiarkan dia melakukannya. Biasanya juga begitu. Tapi saya benar-benar sudah lelah melihat tumpukan panci di dapur yang sempit ini.

FUN or NOT FUN?

Tiba-tiba ada sebuah ide terlintas. Saya membayangkan kalau ada dua kotak kategori yang harus saya pilih untuk setiap kegiatan yang akan saya ambil: kotak FUN dan NOT FUN.

FUN dan NOT FUN. Mana yang kamu pilih?

Saya membayangkan, bahwa saya harus memilih untuk kegiatan cuci panci ini, kategori mana yang akan saya centrang. Apakah ini kegiatan yang menyenangkan? Sesuatu yang membuat saya bahagia? Sesuatu yang berguna untuk saya? Sesuatu yang saya tunggu-tunggu? Sesuatu yang membuat saya merasa antusias melakukannya?

Atau ini adalah kegiatan yang menyebalkan. Yang membuat saya depresi bahkan hanya memikirkannya saja. Sesuatu yang saya ingin hindari, tunda, tapi toh akhirnya harus dilakukan dengan berat hati.

Saya pernah baca entah di halaman berapa di bukunya Barbara Oakley yang berjudul Mindshift, kalau otak kita akan bekerja dalam mode ‘defensif’ kalau kita berpikir sesuatu itu tidak menyenangkan untuk dilakukan, karena otak akan mengkategorikan kegiatan itu sebagai sesuatu yang akan menyakiti kita. Kalimat yang sulit ya, tapi begitulah kira-kira seingat saya. Kalau nanti kapan-kapan ketemu halaman berapa saya quote semua kalimat aslinya.

Intinya, kalau kita melihat sesuatu di dalam kategori ‘NOT FUN’, kita akan otomatis berusaha menunda mengerjakannya karena otak berusaha menghindarkan kita dari sesuatu yang dilihat dia sebagai sesuatu yang sifatnya ‘bahaya’.

Padahal apa coba bahayanya cuci panci? Ya gak? Ya gak? Alih-alih bahaya malah harus dan bagus untuk dilakukan dan bisa membuat bahagia kalau akhirnya urusan masak ini bisa kelar (kelar itu dari bahasa Belanda lho: klaar, yang artinya selesai atau ready).

Akhirnya saya pun menggulung lengan (nggak deng, wong lagi pakai lengan pendek), pasang sarung tangan dan mulai mencuci piring sambil mencentrang kotak: FUN. This is fun! Washing the pans is freaking fun!

Saya pun mulai mencuci sambil senyum-senyum. Bersyukur untuk panci-panci saya yang bagus-bagus. Panci 100an Euro yang saya beli dengan diskon 70 persen hasil mengumpulkan perangko di Supermarket. Saya mengingat ‘manis’nya perjalanan berburu panci di pojok Amsterdam berdua dengan si Abang setelah pulang dari rumah sakit. Betapa bahagianya perasaan saya sore itu di rumah karena panci-panci saya sudah di-upgrade dari level middle jadi level emak elit.

Saya mencuci panci sambil berpikir bahwa saya melakukannya karena saya sedang melayani Tuhan. Sedang menunjukkan rasa saya sayang saya untuk anak-anak saya yang lucu-lucu. Dan untuk suami saya – suami yang baik dan gantengnya hampir seperti aktor-aktor drama Korea.

Tidak sebentar kemudian (mau tulis tidak lama tapi kenyataannya mencuci panci dan membersihkan dapur itu lama mengerjakannya hehehe) saya selesai. Anak-anak sudah mulai makan. Saya bilang sama mereka kalau saya harus ke atas dan mandi.

Sekali lagi, mandi yang biasanya juga termasuk kategori NOT FUN alias menyebalkan, kali ini saya centrang sebagai kegiatan yang FUN. Sepanjang sore saya mulai tersenyum dan menyadari kalau hidup saya sebenarnya sudah indah. Hanya saja saya terlalu sering tidak bisa melihat keindahannya, karena terhalang kabut pekat yang berkata bahwa semua terasa sebagai beban.

Bisa jadi kebiasaan

Saya teringat kepada orang-orang yang rasanya tidak pernah berhenti cemberut. Seperti tetangga sebelah yang tidak pernah saya lihat tersenyum. Mungkin kah orang-orang seperti ini terlalu sering mencentrang kotak NOT FUN di dalam hatinya? Sehingga semua hal terlihat tidak menyenangkan, setiap orang yang mereka temui terasa menyebalkan, segala hal ingin dikomplain. 

Dipikir-pikir, saya pun sudah berjalan ke arah sana. Menimbang bahwa saya begitu jarang tersenyum kepada suami dan anak-anak tahun-tahun belakangan ini. Semua terasa begitu berat dan terasa sebagai kewajiban belaka. Sampai senyum anak-anak yang menunggu saya acknowledging kebahagiaan mereka pun hanya saya balas dengan senyum terpaksa. Mungkin tanpa sadar, saya pun mulai otomatis menaruh semua dalam kotak NOT FUN.

Saya teringat lagi beberapa orang lain yang rasanya tidak pernah berhenti tersenyum. Yang menganggap segala pekerjaan sebagai sesuatu yang ringan dan menyenangkan. Yang nggak bother untuk mengeluh dan tak lepas dari wajah yang yang senang. Apakah mereka terlahir dengan sikap yang positif seperti itu?

Atau sebenarnya setiap kali dihadapkan kepada sebuah situasi, mereka secara sadar menggambarkan dua kotak ini di dalam pikiran mereka: FUN and NOT FUN. Dan secara aktif mereka memilih kotak FUN, setiap kali, sampai mereka pun menjadi begitu terbiasa dan tidak terpikir lagi bahwa sebenarnya yang mereka lakukan itu dipikirkan oleh banyak manusia sebagai pekerjaan yang menyebalkan.

Basi gak basi

Ya, ya, ini tulisan basi. Sudah berapa kali saya menulis soal ini. Ini semua hanya permainan kata dari apa yang dibilang para ahli sebagai the power of positive thinking. Tapi bagaimanapun juga, saya merasa bahagia bahwa sore ini pikiran saya sempat ‘dicerahkan’

Saya sadar bahwa kesadaran memilih di antara dua kotak kategori ini adalah sebuah tindakan yang harus dilakukan secara aktif dan konsisten. Begitu saya lupa untuk memilih, saya akan kembali menjadi Mama yang serba segan dan berwajah muram.

Harapan saya tidak muluk-muluk. Saya berkata pada diri saya, dan berdoa pada Tuhan, bahwa kesadaran ini bisa saya jaga sampai malam menjelang. Biar anak-anak saya menikmati senyum dan antusiasme Mamanya yang sudah menjadi barang langka sepanjang sisa hari ini.

Dan besok? Besok kita coba lagi. Bangun pagi, dan pilih kotak mana untuk dicentrang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *