Ini adalah cerita tentang Pendeta Jadima Petrus Purba alm., Oppung alias kakek saya dari keluarga Papa. Oppung Bapak (begitu sebutan kami untuk beliau) adalah seorang pendeta dari Gereja Kristen Batak Simalungun (GKPS). Oppung Bapak adalah salah satu pendeta mula-mula di gereja ini. Dan salah satu pelayanan beliau adalah menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Simalungun.
Anak yang lama dinantikan
Table of Contents
Oppung Bapak adalah anak kelima dari orangtuanya. Keempat abang/kakaknya meninggal dunia ketika mereka baru lahir. Begitu lama dinantikan, ketika Oppung lahir, diadakan sebuah pesta di kampung mereka.
Pada saat pemilihan nama, seluruh warga kampung bersorak, “Jadima, Jadima!” Artinya: jadilah, jadilah. Anak ini harus jadi, jangan sampai seperti anak-anak sebelumnya yang selalu meninggal dunia. Sejak itu Oppung diberi nama Jadima Purba. (Purba adalah marga, alias nama keluarga)
Oppung Bapak lahir di Purba Saribu, sebuah desa di Sumatera Utara pada tahun 1920. Ada banyak kontroversi kapan Oppung kami dilahirkan. Konon, menurut kepercayaan waktu itu, supaya Oppung tidak meninggal seperti saudara-saudara sebelumnya, maka tanggal lahir dan tahunnya dirahasiakan. Ada yang bilang kalau Oppung sebenarnya adalah kelahiran tahun 1916 dan bukan 1920 seperti yang dicatat.
Bersekolah dan mengenal Tuhan
Oppung Bapak bersekolah di Haranggaol, sebuah daerah di dekat Danau Toba. Sekolah ini diselenggarakan oleh misionaris Jerman yang aktif memberitakan Injil di Tanah Batak. Para penginjil ini membuat sekolah untuk memberikan pendidikan yang memang masih sangat langka bagi para penduduk di perkampungan Sumatera Utara. Tidak banyak anak-anak yang mau pergi ke sekolah di masa itu. Oppung kami adalah salah satu di antara sedikit anak-anak itu.
Di sekolah ini, Oppung belajar tentang Tuhan Yesus yang mengasihi manusia dan memberikan nyawa-Nya di kayu salib agar umat manusia bisa diselamatkan dari hukuman dosa yang merupakan kematian yang kekal. Pada waktu itu kepercayaan kepada roh-roh leluhur masih merupakan kepercayaan mayoritas penduduk.
Pada tahun 1930 Oppung melanjutkan sekolah ke kota Pematang Siantar. Anak kampung yang berangkat ke kota dan tinggal di asrama yang biayanya 8 gulden per bulan. Di masa itu pemerintah Belanda mulai mengadakan sekolah untuk orang biasa (rakyat biasa yang bukan keturunan raja). Tujuannya adalah tersedianya tenaga pengajar bagi rakyat.
Mulai dari sinilah Oppung terus bersekolah. Setelah selesai dari Schakelschool tahun 1931, pada tahun yang sama pula HIS (Hollandsche-Inlandsche School), yaitu sekolah Belanda untuk bumiputera, yang baru saja dibuka di Pematang Siantar. Sebelumnya HIS hanya ada di Narumonda dan Kabanjahe.
Lulusan HIS bisa menjadi pegawai (pemerintahan) atau melanjutkan pendidikan ke sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Dengan telah dibukanya HIS ini di Pematang Siantar, Oppung jadi bisa terus sekolah. Ada sekitar 150 orang yang ikut testing pada saat itu, tetapi hanya 40 orang yang lulus.
Dibaptis dan memberikan diri bagi Tuhan
Di HIS, selain pelajaran sekolah murid-murid juga bisa mengikuti kegiatan gereja. Di sekolah ini Oppung Bapak menggunakan bahasa Belanda. Beliau belajar banyak tentang Tuhan dan memiliki banyak pengetahuan tentang Alkitab, sampai-sampai teman-temannya memanggilnya Domine yang artinya adalah pendeta.
Tetapi saat itu Oppung belum dibaptis. Beliau ragu apakah bisa dibaptis karena orangtua dan keluarganya masih menganut kepercayaan kepada roh-roh leluhur. Setelah berbicara dengan Pendeta Israel Tambunan – seorang pendeta yang bekerja di sekolahnya, Oppung mengambil keputusan untuk dibaptis.
Pada tanggal 14 Juni 1936, Oppung memberikan dirinya untuk dibaptiskan, dan di saat inilah beliau memilih sebuah nama dari Alkitab untuk dirinya: Petrus, yang artinya adalah batu karang. Hari itu adalah hari yang begitu spesial bagi Oppung. Sejak hari itu, Oppung Bapak memutuskan untuk memberikan seluruh hidupnya bagi kemuliaan Tuhan.
Menjadi guru dan menerobos segala rintangan
Setelah lulus HIS, Oppung ingin melanjutkan sekolah ke MULO tetapi dilarang oleh orangtuanya karena masalah kepercayaan keluarga mereka. Jadi Oppung memutuskan untuk berladang. Tetapi belum lama beliau bekerja sebagai petani, Belanda mulai membuka sekolah lebih banyak lagi, sehingga ada kekurangan guru di daerah tempat dia tinggal.
Karena itu Oppung diminta untuk bekerja sebagai guru magang di sana. Dari situ, Oppung akhirnya melanjutkan pekerjaannya di bidang pendidikan. Pertama beliau ditunjuk menjadi guru, lalu bersekolah lagi, dan akhirnya ditunjuk menjadi Guru Kuria – semacam guru agama yang juga bertugas untuk membimbing di dalam gereja.
Satu langkah demi satu langkah, Tuhan membuka jalan dan juga menunjukkan ke arah mana Oppung harus melanjutkan pekerjaannya.
Dari pengalaman saya, Tuhan tidak menunjukkan jalan-Nya pada seseorang secara sekaligus. Termasuk dalam hal cita-cita dan panggilan hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Tapi Allah menunjukkannya langkah demi langkah.
Disinilah saya semakin mengerti suruhan Firman Allah pada Abraham dan perjanjian-Nya “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu” (Kejadian 2: 1). Allah tidak menunjukkan semua jalan yang akan ditempuh dan dilalui oleh Abraham sampai akhirnya ke Kanaan. Tapi langkah demi langkah. Hari demi hari. Demikianlah yang Allah lakukan. Demikian juga dengan murid Yesus, ketika disuruh memberitakan Injil ke seluruh dunia: “Karena itu pergilah. Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Begitu juga Tuhan Allah kerjakan dalam diri saya, dan kita semua. Tidak ditunjukkan-Nya rencananya sekaligus. Tapi langkah demi langkah. Agar saya dapat menjalani semuanya dengan sukacita sampai ke tujuan yang akan saya capai. Dan didalam semuanya saya menyaksikan Tuhan menata dan mengatur semua langkah perjalanan hidup saya. Itulah yang saya alami terlebih setelah tahun 1928, sampai dengan menulis buku ini (Oktober 2004).
Jalan yang ditempuh Oppung dari menjadi seorang guru sampai menjadi seorang pendeta sangatlah berliku. Beliau harus pergi ke kampung-kampung di pedalaman dan berusaha mendidik para penduduk yang masih percaya pada dunia tenung dan kegelapan. Beliau dengan tegar terus berusaha mengajar sambil di saat yang sama masih harus berladang.
Oppung mengalami banyak penolakan bahkan usaha pembunuhan. Rumah yang dia tempati di tengah ladang dibakar oleh masyarakat di waktu malam. Tetapi dengan iman dia terus melanjutkan pekerjaannya supaya anak-anak bisa mendapatkan pendidikan.
Persoalan yang Oppung hadapi bukan hanya dari rakyat yang masih terbelakang, tetapi juga datang dari kondisi peperangan. Tekanan yang datang dari pemerintahan Belanda kepada rakyat membuat posisi Oppung menjadi sangat sulit karena ditolak masyarakat. Serangan di dalam perang antara rakyat Indonesia dan Belanda, dan juga peperangan di masa pendudukan Jepang juga dialami langsung oleh Oppung.
Ada masanya mereka harus mengungsi dari satu daerah ke daerah lain karena peperangan ini. Di sinilah Oppung melihat bahwa tangan Tuhan ada dan selalu ada untuk menyertai dan melindungi dia dan keluarganya.
Menjadi pendeta dan menerjemahkan Alkitab
Setelah sekitar 16 tahun menjadi guru, Oppung Bapak dipilih oleh gereja untuk mengikuti Sekolah Pendeta. Dua tahun belajar di sekolah, Oppung ditahbiskan menjadi pendeta di Gereja HKBP. Pada waktu itu, hanya ada satu gereja batak di Indonesia yaitu gereja Batak Toba.
Dari situlah beberapa tahun kemudian ada sebuah kebutuhan untuk membuat gereja Batak Simalungun, agar orang-orang suku Batak Simalungun yang menggunakan bahasa yang sedikit berbeda dari Batak Toba bisa lebih dilayani.
Dan untuk bisa lebih lagi membantu orang-orang mengerti Firman Tuhan, dirasakan ada kebutuhan akan adanya Alkitab terjemahan dalam bahasa Batak Simalungun. Gereja pun menunjuk Oppung sebagai penerjemah, dan Oppung disekolahkan ke Jerman lalu ke Filipina untuk melakukan pekerjaan ini.
Belajar sendiri
Oppung mengerjakan penerjemahan Alkitab ini dalam jangka waktu belasan tahun. Sambil menerjemahkan Alkitab, beliau masih harus menjalani perannya sebagai pendeta dan juga berladang untuk menambah uang bagi kebutuhan rumah tangga.
Salah satu yang mengagumkan dari Oppung adalah kegigihannya untuk belajar bahasa. Oppung belajar Bahasa Belanda waktu bersekolah di HIS, tetapi dia belajar bahasa Jerman dan bahasa Inggris secara otodidak.
Saya ingat waktu saya kecil dan Oppung datang ke Jakarta, beliau bercerita bahwa setiap hari sambil berladang beliau akan menghafalkan beberapa kata dari kamus. Katanya, “Kalau satu hari kita belajar 10 kata, pasti lama-lama kita akan menguasai bahasa tersebut!”
Kemampuan Oppung berbahasa inilah yang mungkin membuat Oppung terpilih untuk belajar ke Jerman. Bayangkan saja di tahun 1950-an, ada orang yang bisa berbicara dalam berbagai bahasa di sebuah daerah kecil di Sumatera pasti merupakan sesuatu yang cukup istimewa.
Di Jerman, Oppung belajar bahasa Ibrani dan Yunani supaya dapat menerjemahkan Alkitab dari bahasa aslinya ke dalam Bahasa Simalungun. Pendidikan ini dia jalani selama sekitar dua tahun. Perjalanan ke Jerman saat itu masih menggunakan kapal laut dengan lama perjalanan sekitar tiga minggu. Perjalanan Oppung pulang ke Indonesia mengambil waktu yang lebih lama lagi karena saat itu ada perang yang menyebangkan Terusan Suez ditutup. Semua kapal dari Eropa ke Asia harus mengambil jalur melalui Afrika yang menyebabkan perjalanan menjadi jauh lebih panjang.
Oppung di mata saya
Ayah saya adalah anak pertama dari Oppung Bapak. Papa pergi merantau dari Sumatera Utara ke Bandung untuk berkuliah, lalu berkeluarga dan menetap di Depok. Selama kami tinggal di Depok, kami sangat jarang pulang kampung ke Sumatera Utara karena keterbatasan finansial.
Tapi yang saya ingat, hampir setiap tahun Oppung Bapak dan Oppung Inang (nenek saya) berkunjung ke Jakarta. Entah mengapa rasanya mereka selalu datang menjelang hari ulangtahun saya. Hal itu merupakan sebuah kenangan yang indah, karena ada rasa istimewa bahwa mereka khusus ada di Jakarta untuk saya. Yah, padahal mungkin itu hanya perasaan dek Irene saja, hehehehe.
Saat itu pekerjaan Oppung sebagai penerjemah Alkitab sudah lama selesai. Bahkan mungkin beliau sudah pensiun dari pekerjaannya sebagai pendeta. Namun demikian, Oppung tidak pernah melepaskan kerinduannya untuk melayani Tuhan. Dimanapun dia sedang berada, dia selalu berusaha untuk melayani orang lain dengan cara berdoa.
Di Siantar tempat beliau tinggal, atau di Jakarta ketika dia datang berkunjung, Oppung akan pergi ke rumah sakit dan begitu saja masuk dari satu kamar ke kamar yang lain dan bertanya apakah boleh dia berdoa untuk yang sakit. Hal ini waktu itu saya anggap bizzare. Bagaimana mungkin, di saat kami sedang asyik-asyik mengobrol di rumah melepas rindu di hari-hari pertama mereka datang, Oppung Bapak yang waktu itu sudah kakek-kakek di mata saya, tiba-tiba menghilang dan berpetualang sendiri entah ke rumah sakit mana di Jakarta.
Kok bisa sih, nggak takut hilang atau tersesat? Udah kakek-kakek sendirian di Jakarta yang begitu besar? Oppung hanya tertawa, katanya asal dia tahu yang mana Timur, Utara, Barat, dan Selatan, pastilah dia bisa menemukan jalan pulang. Lucunya hal itu diwariskan beliau kepada Papa, yang juga suka jalan-jalan sendiri dan yakin akan bisa pulang asal tahu ke mana arah anginnya.
M 633
Berapa kalipun Oppung datang ke rumah kami, ada satu ayat yang selalu dan selalu dan selalu beliau ulang-ulang katakan kepada kami semua: “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya. Maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Matius 6 ayat 33. Kami selalu menyingkatnya menjadi M 633 – dan bercanda bahwa ini adalah nomor angkutan umum.
Mencari Kerajaan Allah di atas segalanya adalah hal yang butuh puluhan tahun untuk bisa saya mengerti. Bagi Oppung, Allah dan segala kemuliaan-Nya begitu memenuhi hati beliau sehingga dia tidak pernah berhenti bernyanyi dan berdoa. Selalu ‘connected’ dengan surga, begitu candaan kami. Tidak jarang ketika kami sedang berbincang-bincang, Oppung duduk dengan kepala agak dimiringkan ke atas, mata yang terpejam dan mulut sedikit bergumam.
Oppung Inang suka menyentak dan berkata, “Kok kamu tidur sih, aku ini sedang bicara.” Dengan suaranya yang sangat tenang dan mata tetap tertutup, Oppung Bapak menjawab, “Aku ini tidak sedang tidur. Aku sedang berdoa.” Kami pun semua tertawa. Oppung Bapak masih ada di dunia, tetapi satu kakinya sudah menginjak surga – begitu kata kami semua.
Setiap kali beliau sedang di rumah, Oppung mengisi rumah kami dengan nyanyian dan ayat-ayat Alkitab yang selalu dia ucapkan. Satu hal yang khas dari Oppung adalah doanya yang sangat panjang. Waktu saya kecil, kami semua akan merasa segan kalau Oppung yang memimpin doa. Karena di dalam doanya, Oppung akan menyebutkan segala macam kebaikan Tuhan. Doa makan bisa sampai setengah jam panjangnya – hampir seperti khotbah di gereja. Semua itu adalah kenangan yang lucu, tetapi juga menjadi pengingat betapa Oppung mencintai Tuhan.
Pulang ke surga
Oppung sakit keras di tahun 2004. Untuk pertama kalinya saya naik pesawat dari Jakarta ke Medan tahun itu untuk menjenguk Oppung yang berbaring koma di rumah sakit. Beberapa lama di rumah sakit, Oppung tiba-tiba sehat kembali dan meminta anaknya untuk membantu dia menuliskan kisah hidupnya.
Beberapa bulan kemudian kami mendapatkan kabar bahwa Oppung masuk rumah sakit lagi, dan hanya beberapa hari kemudian Oppung meninggal dunia.
Oppung meninggal dunia di usia sekitar 90 tahun. Ada ribuan orang datang melayat selama beberapa hari Oppung disemayamkan di rumah sebelum dimakamkan. Bahkan ada 2000 atau 3000 orang datang di hari terakhir sebelum Oppung dikuburkan.
Orang-orang ini datang bukan karena beliau meninggal sebagai orang penting, tetapi orang-orang ini datang karena pernah disentuh kehidupannya oleh Oppung Bapak. Kami mendengar ratusan cerita dari orang-orang yang bahkan tidak kami kenal, betapa Oppung memperhatikan mereka ketika anggota keluarga mereka sedang terbaring di rumah sakit. Oppung datang melayani mereka, mendoakan dan menguatkan dengan Firman Tuhan… bahkan memberikan uang dari kantung celananya yang lusuh, meskipun hanya punya sedikit tapi beliau selalu ingin menolong orang lain.
Oppungku pulang sebagai seorang legenda. Petrus yang artinya batu karang, nama yang dipilihnya sendiri sudah dia buktikan sepanjang hidupnya. Seluruh hidupnya, diberikan untuk menjadi batu karang di mana kemuliaan Tuhan boleh dinyatakan.
Tidak ada warisan harta benda yang aku terima sebagai cucunya. Tetapi sebuah warisan iman – bahwa Allah mencintai dunia dan ingin menyelamatkan kita dari dosa melalui Tuhan Yesus Kristus. yang sudah turun ke dunia dan mengorbankan hidup-Nya bagi kita. Yang kepada-Nya, seorang Petrus Purba sudah memberikan hidupnya untuk melayani-Nya. Dan yang kepada-Nya, aku, cucu perempuannya juga ingin memberikan hidupku juga.
Untuk kemuliaan Allah semata. Soli Deo Gloria.
Catatan: Tulisan ini ditulis sebagai jawaban atas Tema Tantangan Menulis KLIP periode 8 – 14 November 2021. Oppungku bukanlah pahlawan nasional, tetapi bagiku dia memberikan seluruh hidupnya bagi pendidikan dan pelayanan iman bagi orang lain.
teh irene … terimakasih telah menuliskan artikel inspiratif ini.
senang membacanya, betapa pendidikan itu sangat pentin, jalan penerang bagi kehidupan.
salam semangat