Ramadhan di Seberang Samudera


Sebuah Cerita Bulan Puasa dari Seorang Tetangga

Lagi-lagi menjawab tantangan KLIP, yang temanya “Persiapan Menyambut Ramadhan”. Kenapa kok senang banget ikut tantangan KLIP? Hehehe, saya menggunakan tantangan mingguan ini sebagai suatu tantangan buat diri saya sendiri untuk menulis berdasarkan tema yang tidak diciptakan sendiri. Lumayan kan, setiap minggu ada satu tema baru, tidak usah capek-capek mikir sudah dibuatkan oleh orang lain 😀 Alasan lainnya adalah tantangan KLIP adalah satu dari sangat sedikit wadah di mana saya bisa menulis dalam bahasa Indonesia. Jadi hitung-hitung melatih dua hal sekaligus. Gitu deh!

Nah, minggu ini temanya tentang bulan Ramadhan. Bulan suci bagi umat Islam yang sebentar lagi akan datang. Sempat ragu juga, saya mau tulis apa ya, sebagai orang yang tidak menjalankan ibadah puasa. Tapi dipikir-pikir, ini kesempatan saya bercerita, sebagai seorang tetangga…

Bulan Puasa Penuh Kenangan

Ramadhan bukanlah tema yang asing di dalam kehidupan saya. Saya lahir di Bandung dan dibesarkan di Depok, Jawa Barat. Rumah saya terletak persis di depan sebuah mushola (sekarang sudah jadi masjid besar), yang sekitar 40 tahun lalu dibangun secara swadaya oleh masyarakat sekitar, termasuk ayah saya. Kami biasa main di lapangan di depan mushola, yang selain digunakan untuk olahraga bersama, juga digunakan untuk acara 17-an, sholat Idul Fitri, atau pemotongan kurban. Rasanya masih melekat di kenangan, ketika saya masih sangat kecil, kalau kami bermain di lapangan dan matahari semakin menyengat, duduk-duduk di teras mushola sangatlah menyenangkan. Lantainya bersih, licin, dan dingin, sejuk dan menentramkan.

Bulan puasa di masa kecil saya identik dengan kolak. Kolak pisang, kolak biji salak, kolak kolang kaling. Hanya di bulan Ramadhan kolak-kolak ini beredar, padahal sebenarnya bisa saja kan kita masak kolak di bulan lain😅. Tapi kolak di bulan Ramadhan itu beda rasanya, lebih lezat!

Semakin saya besar, pilihan menu berbuka puasa semakin banyak. Kolak yang dulunya harus dimasak sendiri atau diberi oleh tetangga, semakin tersedia di pasar. Kolak biji mutiara, dingin atau panas… dan berbagai panganan lainnya, selalu kami nantikan di meja makan kalau mama pulang dari pasar. Haha, aneh kan. Padahal kami tidak puasa! Makin lama makin banyak menu berbuka puasa yang lain, es campur, sup buah, ah blessing for all tukang-tukang jualan! Tanpa mereka hidup itu sesungguhnya sangat kurang rasa!

Salah satu kenangan yang indah soal bulan Ramadhan dan Lebaran adalah pergi mengunjungi tetangga. Di hari Lebaran, mama menyuruh saya berpakaian rapi, lalu kami pergi dari satu rumah ke rumah lainnya, mengucapkan selamat dan ditawarkan makan. Di ruang tamu ditawarkan kue-kue dan kacang, di ruang makan disajikan ketupat lengkap dengan semua lauk dan sayurnya. Luar biasa!

Sayangnya setelah beberapa tahun kebiasaan berkunjung ini mulai pudar. Biasanya di waktu Natal tetangga-tetangga yang akan gantian datang ke rumah kami, tapi sejak tahun 1990-an kebiasaan ini terhenti. Sejak itu, supaya anak-anaknya tidak sedih, SETIAP hari Lebaran, Mama akan masak ketupat! Menjelang Lebaran kami beli bungkus ketupat, kadang sudah jadi, kadang kami jalin sendiri, dan keluarga kami merayakan Lebaran di rumah kami, bersama seluruh warga lainnya. Bedanya kami tidak pergi ke lapangan untuk mengadakan sholat Ied. Tapi kami SELALU makan siang dengan ketupat, dengan lauk dan sayur yang dimasak oleh Mama ditambah kiriman makanan dari tetangga terdekat. Yummy!

Lucunya, keluarga kami tidak merayakan Natal di rumah🙈. Makan malam Natal, masak spesial, bikin kue, hampir tidak pernah terjadi karena Natal biasanya adalah masa super sibuk untuk seluruh anggota keluarga yang aktif terlibat berbagai kegiatan Natal di gereja. Jadi Lebaran adalah hari raya penting buat keluarga kami, karena di situlah kami makan istimewa!

Bulan puasa tidak terlalu berkesan di lingkungan sekolah selama saya SD dan SMP, tapi sejak duduk di bangku SMA, saya mulai merasakan seni-nya makan tidak di depan teman-teman yang berpuasa, atau ikutan acara buka puasa di rumah teman. Rasanya sebenarnya rikuh, karena di saat teman-teman sholat tarawih bersama, kami yang tidak berpuasa ditawari makan duluan. Masak orang lain berdoa kita sibuk makan sih? Akhirnya kami menunggu sambil ngobrol sampai semua selesai baru deh serbu makanannya bersama-sama.

Di kelas tiga SMA, saya dan beberapa teman dari satu sekolah ikut bimbingan belajar di ujung kota Jakarta. Empat hari seminggu kami pergi ke daerah Harmoni Kota, berangkat dari Pasar Minggu di siang hari dan kembali ke Depok hampir larut malam naik segala macam angkot dan kereta.

Bulan puasa sambil bimbel itu spesial, karena beberapa di antara kami ada yang berpuasa. Biasanya kami tidak langsung pulang, tapi menunggu teman-teman sholat dulu di mushola terdekat, lalu buru-buru naik mikrolet ke stasiun kereta Kota untuk pulang ke Depok. Setiap kali itu kami lakukan di jam yang sama, dan kami selalu sedang ada di kereta ketika jam berbuka akhirnya tiba.

Waktu itu belum ada internet. Suara adzan hampir tidak mungkin terdengar di dalam kereta yang sedang berjalan. Satu-satunya cara adalah mengamati penumpang kereta yang lain apakah mereka sudah mulai berbuka atau belum. Sambil harap-harap cemas, kami sibuk melihat kanan kiri, sampai jauh di gerbong sebelah, lalu sibuk saling memberi aba-aba waktu melihat ada yang mulai makan/minum. 

Sebagai orang yang congornya besar (baca: bersuara lantang), saya selalu dinanti-nanti orang segerbong karena biasa memberikan aba-aba, “yaaaa mulai-mulai. Udah buka! Udah ada yang minum!” Segera segenap penumpang sibuk membuka plastik sedotan gelas Aqua, termasuk saya yang tidak puasa dan juga menunggu jam berbuka supaya bisa minum bersama teman-teman. Tidak jarang ternyata aba-aba saya salah, dan seperti khas-nya kernet bus (yang hampir selalu orang Batak haha) saya akan kembali berteriak, “Eh, salah, salah, belum waktunya!” Sontak seluruh penumpang di gerbong yang saya tumpangi (dan gerbong-gerbong di sebelahnya – segitulah kerasnya suara saya dulu) berhenti minum dan misuh-misuh. Hahhaa, kacaunya masa SMA!😛

Bulan Puasa ala Mahasiswa

Selepas SMA, saya merantau, kembali ke kota kelahiran saya. Selama di Bandung saya tinggal di rumah kost yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari Simpang Dago – persimpangan besar yang menjelma menjadi surga makanan di pagi dan malam hari. Jadi membeli segala makanan buka puasa selalu gampang – no problemo!

Saya tinggal di sebuah kost yang besar yang isinya kira-kira 20 orang, dengan latar belakang yang berbeda-beda. Bulan puasa berarti ikutan mendengar teman-teman menyiapkan makanan sahur, juga mendengar ketukan orang-orang keliling di jalan sambil berteriak, sahur, sahur! Sama seperti sewaktu tinggal di rumah Mama, saya tinggal persis di depan mushola. Tidak ada kegiatan buka bersama di kost, tapi kami sering sama-sama makan di meja makan sambil menikmati penganan berbuka puasa. 

Bulan puasa di Bandung membawa tantangan tersendiri. Dulu di rumah Mama meskipun warung-warung tutup kami selalu bisa makan di rumah. Tapi selama kuliah, kami harus lebih kreatif setiap bulan puasa. Warung-warung langganan di area kampus hampir semua ditutup. Biasanya kami yang tidak puasa (baik yang non-Muslim maupun teman-teman yang sedang berhalangan) berjalan bersama-sama ke warung yang pasti buka, beberapa blok jauhnya dari jalan Ganesha.

Bulan Puasa di Singapura

Setelah lulus kuliah, saya bekerja di Jakarta dan kemudian kembali merantau ke Singapura. Bulan puasa di Singapura terasa sangat berbeda, karena sejauh mata memandang, tidak ada yang jualan kolak! Perkolakan begitu langkanya, saya sendiri tidak sempat mengamati apa kebiasaan orang di sana untuk berbuka puasa. Ada satu daerah yang mayoritasnya orang Melayu dan di sana ada banyak penjual makanan khas Melayu dan halal, tapi sayangnya sangat jauh dari rumah saya jadi saya sangat jarang melipir ke sana.

Saya bekerja di sebuah perusahaan besar yang karyawannya hampir 1000 orang. Dari antara ratusan orang itu, ada kira-kira 30 orang Indonesia. Setiap jam makan siang kami hampir selalu keluar sama-sama. Kebersamaan kami yang sekantor itu begitu erat, kami juga sering mengadakan acara buka bersama.

Di Singapura saya melihat kalau teman-teman saya cukup struggle untuk melakukan ibadah puasa. Meskipun asalnya adalah negara orang Melayu, tidak ada terlalu banyak masjid atau mushola di Singapura. Biasanya kami menyimak cerita teman-teman bagaimana mereka harus agak jauh mencari masjid untuk bisa sholat tarawih atau ikut sholat Idul Fitri.

Bulan Puasa di Belanda

Sewaktu saya bekerja di Singapura, internet mempertemukan saya dengan suami saya sekarang. Enam bulan setelahnya kami menikah dan saya diboyong ke negeri Belanda.

Satu hal yang saya amati tentang bulan puasa di sini adalah tantangan berpuasa dengan rentang waktu yang berbeda dibanding dengan teman-teman di Indonesia. Kita tahu kalau bulan Ramadhan selalu jatuh di tanggal/bulan yang berbeda di setiap tahunnya. Di Eropa, matahari naik dan turun juga di waktu yang berbeda di setiap musimnya. Bulan puasa di musim dingin berarti hari-hari berpuasa yang pendek. Matahari terbit sekitar jam 7 pagi dan terbenam sekitar jam 5 sore.

Tapi berpuasa di musim panas? Aduh panjangnya! Matahari bisa terbit jam 5 pagi, dan terbenam jam 11 malam!! Belum lagi panasnya benar-benar bikin kita merasa terpanggang! Beberapa tahun lalu suhu terpanas sempat mencapai 42 derajat Celcius, rasanya mau nangis apalagi ingat teman-teman yang lagi puasa.

Sekali lagi urusan tukang kolak di pinggir jalan adalah mission impossible di sini. Tapi kami punya satu komunitas yang cukup besar dari sebuah Facebook Grup orang-orang Indonesia yang tinggal di Belanda. Di situ biasanya ramai orang-orang berjualan masakan Indonesia. Seperti sekarang sudah mulai banyak promosi makanan dengan judul menyambut Ramadhan. Mulai dari menu utama sampai snack seperti pempek atau martabak. Kalau kotanya dekat bisa dijemput, kalau jauh bisa dikirim lewat pos. Yah, bulan puasa belum mulai kok sudah dibeli sekarang makanannya? Itu karena, kami menganut teknologi… freezer! 😎

Semenjak di Belanda saya belajar bahwa memasak itu tidak perlu tiap hari. Apalagi memasak makanan Indonesia yang butuh berjam-jam pengerjaannya. Caranya adalah memasak dalam jumlah besar, dan simpan di freezer! Di rumah saya punya dua kulkas dan 3 freezer, hehehe. Satu kulkas/freezer khusus untuk bahan makanan (belum matang), dan sisanya untuk makanan yang sudah masak. Saya memasak dalam jumlah banyak, misalnya masak rendang langsung 2 kilogram, lalu dimasukkan dalam wadah – satu wadah untuk sekali makan sekeluarga (dua orang dewasa, anak-anak belum doyan pedas). Jadi 2 kilo rendang bisa jadi sekitar 4 wadah. Lalu masak ayam diungkep, setelah matang dipisah-pisah untuk beberapa kali makan. Bikin bakso yang banyak, dipisah-pisah dalam beberapa plastik, dan seterusnya. Makanan yang baru dimasak satu porsi langsung dimakan, 3 porsi sisanya disimpan di freezer. Kalau sedang tidak sempat masak, dibanding beli makanan di luar saya tinggal keluarkan makanan dari freezer dan dihangatkan. Rasanya sama kok seperti kalau baru dimasak!

Cara ini adalah cara yang saya lakukan untuk survive hidup dengan dua anak tanpa pembantu dan keluarga, terutama di saat sibuk bolak balik ke rumah sakit. Dan saya pikir mestinya cara ini digunakan juga oleh teman-teman yang berpuasa di sini. Apa saja yang bisa dimasukkan ke freezer? Hampir semua! Pasta, sup, ayam ungkep, rendang, martabak, risol, lemper, nasi goreng. Kolak? Nah saya belum pernah coba. Meskipun saya tidak berpuasa, tapi saya bisa membayangkan teman-teman yang berpuasa juga ada yang memakai metode ini untuk memudahkan memasak di bulan puasa.

Lepas dari urusan kolak, bulan puasa di Belanda termasuk istimewa untuk saya karena anak-anak saya bersekolah di sekolah yang murid-muridnya mayoritas beragama Islam. Karena satu dan lain hal, tidak seperti norma yang ada untuk bersekolah di sekolah terdekat dari rumah, anak-anak saya bersekolah di kota sebelah di wilayah dengan penduduk mayoritas dari Timur Tengah. Sekolah mereka adalah sekolah dengan anak-anak berkepala hitam dan bukan pirang. Nama teman-teman anak saya adalah Amira, Isra, Mohammed, dan Sultan.

Anak-anak sering pulang dan bercerita dengan antusias kata-kata dalam bahasa Arab yang mereka tangkap. 

“Mama, kamu tahu nggak apa artinya marhaban?”

“Tahu dong! Itu artinya welkom.”

“Hah? Kok bisa? Kok bisa? Kamu tahu dari mana?”

“Marhaban ya Ramadhan, Mama biasa liat itu di mana-mana waktu Mama tinggal di Indonesia” 😄

Lain waktu si abang bilang, “Assalamualaikum!” (dengan logat Arab ya, bukan logat Indonesia haha). Adiknya menyahut, “Assalamualaikum.”

Lalu saya menyahut, “Jawabnya bukan gitu nak, tapi Walaikumsalam.”

“Lho kok Mama tahu? Kok bisa? Kok bisa?” 😄

Di saat hari Lebaran tidak ditandai dengan warna merah di kalender Belanda, sekolah anak-anak libur. Begitu juga di hari Idul Adha. Dan yang spesial lainnya, kami mengadakan jamuan makan bersama, yang namanya ‘Suikerfeest’ – artinya Idul Fitri alias hari Lebaran. Terjemahan harafiahnya: Pesta Gula. Di acara Lebaran sekolah para ibu memasak segala jenis makanan, dan murid-murid makan bersama-sama lapangan sekolah. Meja dan kursi diatur di lapangan, lalu murid-murid mengambil makanan ala prasmanan. Musik dipasang, dan sama-sama merayakan!

Begitulah sepenggal cerita tentang bulan Ramadhan dari saya. Meskipun tidak menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan, tapi bulan Ramadhan selalu menjadi bulan yang berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Marhaban ya Ramadhan, selamat menyambut bulan puasa buat teman-teman. Semoga bisa penuh beribadah penuh kegembiraan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *