Ibu, Sudahkah Engkau Membaca Buku (Untuk) Anakmu?

Menjawab tantangan KLIP minggu ini: “memilih buku bacaan untuk anak-anak”, saya teringat suatu kejadian di satu sore di RS. Boromeus, Bandung. Saya sedang menunggu giliran dipanggil oleh dr. spesialis di sana, untuk memeriksakan maag saya yang sedang kambuh. Karena lama sekali, saya iseng berjalan keluar. Di depan pintu masuk utama ada bapak penjual majalah dan koran, sumber kebahagiaan utama di saat bengong di rumah sakit, karena waktu itu belum ada gadget-gadget canggih seperti sekarang.

Selain koran dan majalah, sang bapak menjual juga beberapa komik anak-anak. Tangan saya terulur mengambil salah satu komik Crayon Shinchan dan mulai membaca sekilas isi di dalamnya. Saya sudah beberapa kali menonton Shinchan di TV dan meskipun saya akui film ini lucu, tapi menurut saya film ini tergolong film yang kasar.

Membalik halaman-halamannya dengan cepat untuk melihat seperti apa sih isi komik Shinchan, saya terhenti pada sebuah cerita Shinchan bersama keluarganya main ke pantai. Di situ Shinchan terkagum-kagum dengan pantai yang penuh dengan wanita-wanita berbaju renang, dan dengan keisengan seorang anak, entah gimana ceritanya Shinchan berhasil…. Arggh, saya gak bisa menulisnya! Bisa-bisa gara-gara cerita tentang Shinchan blog saya jadi blog kisah erotis. Intinya yang Shinchan lakukan itu bukan kelakuan anak-anak normal, dan cerita Shinchan menurut saya adalah cerita dewasa berbalut komik anak-anak. Schandalig! – kata orang Belanda.

Belum pupus rasa bergidik saya ketika membaca bagian itu, tiba-tiba ada seorang ibu muda mendekat bersama anaknya yang masih kecil, kira-kira berusia 6 atau 7 tahun. Dengan gembira si ibu ini mengambil salah satu komik Shinchan yang ada di situ dan membelinya untuk anaknya. Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkk!!! Rasanya saya mau menjerit dan bilang sama ibu itu semua kengerian yang baru saja lihat. Tapi gimana, nanti saya disangka kepo.

Di situ saya mulai mengerti petaka yang bisa terjadi kalau orang tua tidak tahu apa yang dibaca anaknya. Meskipun kejadian ini terjadi lebih dari sepuluh tahun lalu, saya tidak pernah lupa bagaimana stress saya membayangkan anak itu membaca apa – di usia yang begitu muda sudah di-expose dengan bacaan dewasa.

Sekarang dengan dua anak di usia awal Sekolah Dasar, saya sendiri merasakan betapa tidak mudahnya memilih buku untuk anak. Selain persoalan bahasa, banyaknya pilihan yang ada juga bisa membuat saya bingung dalam memilih.

Salah satu hal yang paling membahagiakan di Belanda adalah tersedianya perpustakaan di tiap kota. Dan lebih hebatnya lagi, anak-anak punya menjadi anggota perpustakaan gratis sampai mereka berumur 18 tahun! Yah, itulah ‘enak’nya tinggal di sini, tidak enaknya adalah sebenarnya itu semua hasil pajak yang kami bayar. Hampir 50% dari gaji suami harus pergi ke kantor pajak, hiks.

Biasanya tiap perpustakaan punya section anak-anak yang besar, penuh dengan berbagai macam buku. Satu account anak berhak untuk meminjam 6 buku sekaligus dengan waktu peminjaman 3 minggu. Peminjaman buku ini bisa diperpanjang 2 kali, sehingga kami bisa meminjam 12 buku dan di’tahan’ di rumah selama 9 minggu. Dengan cara seperti ini, praktis saya hampir tidak perlu membeli buku. Tapi tetap saja lemari buku anak-anak akhirnya penuh juga, dengan buku-buku yang mereka suka dan mereka minta dibelikan, atau buku yang tidak kami temukan di perpustakaan. 

Banyak pilihan itu menyenangkan tapi juga membuat bisa bingung. Berikut hal-hal yang saya lakukan dalam memilih buku:

Lihat gambarnya (illustrasinya)

Waktu anak-anak saya masih balita, saya banyak memilih buku dengan mempertimbangkan warna, dan gambarnya. Saya pilih gambar yang menarik, dan baru lihat apa ceritanya. Kadang-kadang ada juga buku yang sebenarnya ceritanya menarik, tapi gambarnya bikin pusing, itu gak jadi diambil. Kalau saya aja pusing, apalagi anak saya, itu pikir saya haha.

buku dengan ilustarasi yang cantik tentang anak-anak dari berbagai bangsa

Pilih temanya

Tema buku juga adalah hal yang saya perhatikan waktu memilih buku. Saya mau bacain anak-anak buku tentang apa nih? Setiap meminjam kami boleh mengambil 12 buku, buku-buku ini saya bagi-bagi temanya, misalnya ada yang tentang binatang, atau tentang musim, atau angka dan huruf (waktu anak-anak masih balita), tentang moral, tentang Tuhan, tentang emosi dan lain-lain.

buku bertema binatang, cocok untuk dibacakan oleh orangtua untuk anak

Pilih tipenya

Tipe buku anak ada macam-macam. Ada buku yang banyak gambarnya tapi sedikit ceritanya – biasanya ini buat anak usia muda, buku yang banyak ceritanya tapi sedikit gambarnya – ini buat orang tua yang bercerita, ada buku yang gak ada textnya sama sekali, ada buku komik, ada buku cerita yang sesuai dengan umur atau kemampuan anak membaca, ada buku khusus informasi (ilmu pengetahuan, dan lain-lain). Sama seperti memilih tema, setiap saya ke perpustakaan saya juga akan memilih beberapa tipe buku yang akan kami pinjam. Jadi, sebagian akan saya bacakan untuk mereka, sebagian mereka baca sendiri.

buku komik dengan tema olarahga Olimpiade
tipe untuk dibacakan kepada anak, cerita petualangan
buku bacaan untuk anak-anak yang sedang belajar membaca

Pilih serinya atau pengarangnya

Sebagai orangtua baru, tentunya memilih buku itu membingungkan. Harus mulai dari manakah? Selain tema dan tipe, saya juga memilih buku berdasarkan siapa pengarangnya atau seri buku yang tersedia.

Awalnya hal ini sulit sekali karena pengetahuan saya soal buku anak itu nol. Tapi sejalan dengan waktu, saya mulai mengenal pengarang buku yang baik dari Belanda dan luar Belanda. Saya mulai memperhatikan ternyata ada banyak buku yang sebenaranya termasuk seri buku yang sama. Hal ini sangat mempermudah dalam memilih buku untuk anak-anak saya.

Mencari informasi

Selain memilih buku langsung di perpustakaan, saya juga mencari informasi lewat internet tentang apa buku yang baik, pengarang yang terkenal dan seterusnya. Karena di Belanda ini banyak pengarang lokal yang belum pernah saya dengar sama sekali, saya harus agak menggali ke sana sini sebelum bisa menemukan buku-buku apa yang baik untuk anak-anak saya. Saya bergabung dengan beberapa Facebook Group untuk ibu-ibu di Belanda, dan meskipun jarang nimbrung saya menyimak percakapan mereka tentang rekomendasi buku.

Selain di internet, saya juga banyak bertanya kepada guru di sekolah, dan memperhatikan buku apa saja yang mereka bacakan untuk anak-anak selama pelajaran. Membaca adalah hal yang sangat penting untuk anak-anak di sekolah dasar Belanda, biasanya di kelas ada rak buku di mana anak-anak boleh pilih sendiri buku yang dia suka untuk dibaca selama menunggu bel masuk berbunyi dan lain-lain. Sampai saat sebelum pandemi tahun lalu, kami boleh mengantar anak-anak sampai masuk ke kelasnya, jadi saya sering menyempatkan memperhatikan buku apa yang mereka sediakan di kelas. Tidak jarang anak saya juga mengusulkan beberapa judul yang mereka pakai di kelas, untuk saya cari di perpustakaan.

Membaca sebelum anak membaca

Seperti kejadian tentang Shinchan di atas, saya mencoba untuk membaca dulu buku yang akan diberikan kepada anak-anak. Tidak mudah, para pemirsa. Karena saya sendiri malas baca buku untuk diri sendiri. Apalagi buku anak-anak, pakai bahasa Londo yang saya sendiri masih belum sempurna, aduh, mendingan nyetrika!

Tapi sudah beberapa kali kejadian, karena saya memilih buku yang ilustarasinya cantik atau judulnya menarik, waktu saya sedang membacakan untuk mereka saya sadar kalau isi bukunya tidak pas untuk anak saya. Waduh rasanya nyesel banget sudah keburu mulai membacakan. Sejak kejadian-kejadian itu, meskipun tidak saya baca semua, biasanya setelah saya memborong buku dari perpustakaan, saya duduk dan men-screening semua buku untuk melihat sebenarnya isinya apa saja.

Kembali pada selera asal

Sebagai orang yang malas membaca, sebenarnya saya sudah sangat banyak membaca waktu saya kecil. Saya mulai membaca sewaktu umur saya sekitar 3,5 tahun, dan rasanya hampir semua buku anak yang ada 30 tahun lalu sudah saya baca semua. Lima Sekawan-nya Enid Blyton, Winneto-nya Karl May, Alfred Hitchcock & Trio Detektif-nya Robert Arthur jr., cerita-cerita Laura Ingalls dan masih banyak lagi. Sayangnya buku-buku ini sulit ditemui di perpustakaan di sini, entah karena seleranya berbeda atau mungkin jamannya sudah berubah.

Tetapi karena saya sudah baca sendiri buku-buku ini dan ingat betapa mengasyikkannya membaca mereka, saya pikir saya tetap ingin mengenalkan buku-buku ini kepada anak-anak saya. Tantangannya adalah mencarikan buku ini di dalam bahasa Belanda, karena sayangnya anak saya tidak bisa lancar bahasa Indonesia (bukan karena tidak cinta tanah air tapi lebih karena mereka sempat terlambat bicara jadi kami ngebut mengajarkan bahasa Belanda memenuhi tuntutan sekolah).

Buku-buku ini biasanya bisa didapatkan di toko barang bekas atau di website barang bekas. Dan setiap tidak sengaja melihat, rasanya seperti melihat permata. Silau man!

harta karun: buku-buku lawas yang ditemukan di kringloop

Belajar dari mereka yang menginspirasi

Belakangan ini saya terpikir untuk mencari buku biografi tentang orang-orang yang hidupnya menginspirasi untuk anak-anak saya. Hal ini cukup menantang juga karena tidak terlalu banyak buku biografi yang ditulis untuk anak-anak. Oh, well, atau ternyata saya aja yang belum tahu, hehehe. Kemarin saya sempat ke toko buku dan bertemu buku tentang Corrie ten Boom, seorang wanita Belanda yang bersama keluarganya menolong menyelamatkan orang-orang Yahudi dari Nazi di zaman perang kedua dengan cara menyembunyikan mereka di rumahnya. Keberanian dan iman dari orang semacam ini, ingin saya beritahukan kepada anak-anak saya, dengan harapan mereka belajar dari cerita seperti ini. 

biografie: Corrie ten Boom

Sekali lagi: baca, baca, baca untuk anak kita

Membaca untuk anak bukan hanya kita lalukan untuk membantu mereka sewaktu mereka belum lancar membaca, tapi juga untuk mengarahkan anak kepada jenis buku yang kita inginkan untuk mereka baca.

Bagaimana kalau anaknya sudah agak besar dan tidak mau lagi dibacakan? Tidak apa-apa, paksa saja! Hahaha.. Saya ini ibu yang yah kadang-kadang pakai cara memaksa. Kadang anak-anak saya protes tidak mau buku yang ini, bla bla bla, tapi setelah saya suruh diam dulu dan saya mulai membaca bukunya, 10 menit kemudian dari yang mukanya suram menjadi mulai tertarik, mulai menikmati, dan besok-besok mereka minta dibacakan lagi.

Saya pernah membaca buku yang penulisnya bercerita kalau dia membacakan buku tentang love and dating kepada anak-anaknya yang beranjak remaja – daripada si bapak berikan buku kepada anaknya dan berakhir tidak dibaca, lebih baik dia bacakan saja untuk mereka, jadi yakin bahwa mereka mendapat ilmu dari buku itu – lepas bahwa dilakukan atau tidak. Hehehe, maksa banget ya.

Tapi setelah saya pikir-pikir dan setelah saya lakukan, ternyata bisa juga. Sehabis makan, saya sering duduk di meja dan membacakan kitab Amsal untuk anak-anak saya (umur 7 dan 8), yang isinya nasehat-nasehat dari orangtua kepada anaknya. Boring as it is, ternyata anak saya menyimak lho, meskipun sambil sibuk menghabiskan makanannya. Dan dari membaca bersama itu muncullah banyak pertanyaan dari mereka, dan saya punya kesempatan untuk membahas banyak hal tentang kehidupan kepada anak-anak saya.

kalau tidak terburu-buru, kami membaca Amsal di meja makan

Saya sempat mengusulkan aktivitas ini (yang sejujurnya saya dapatkan dari sebuah buku yang saya baca) kepada beberapa teman-teman saya. Salah satu ibu yang mendengar usul saya menerapkan ide ini dan dia bilang, anak-anaknya yang berusia remaja ternyata mau juga duduk diam dan mendengar bacaan ibunya.

Jadi, ternyata meskipun anak-anak sudah besar, mereka masih bisa menikmati kegiatan dibacakan buku oleh ibunya. Lewat cara ini bukan saja kita bisa mengajarkan dan menyampaikan pesan kehidupan kepada anak, mengarahkan minat mereka kepada bacaan yang baik, kita juga bisa menggunakan saat ini sebagai suatu kegiatan bersama, yang dapat membangun komunikasi di antara kita sang orangtua dan anak-anak kita. Bukan itu saja, lumayan kan dengan membacakan buku untuk anak-anak kita, kita juga bisa mengurangi 30 menit dari waktu mereka memegang screen. Sekali mendayung, tiga empat pulau terlampaui! Cihuy!

Karena mendapat contoh mama sering membaca buku untuk mereka, kadang-kadang si abang suka juga mengambil buku dan membaca untuk adiknya.

si abang membaca buku untuk si adik karena si adik belum selesai makan

Jadi, jadi?

Sekali lagi, semua ini adalah ide ideal yang saya kumpulkan dan (terkadang) saya jalankan. Tidak mudah untuk melakukannya. Antara cucian dan bacaan, hidup sering tidak memberi kita ruang dengan banyak pilihan. Tapi seperti kata pepatah: membaca adalah jendela dunia, sebagai orang tua saya perlu, dan bahkan wajib membukakan daun-daun jendela ini untuk anak-anak saya, bahkan kalau itu mengorbankan waktu saya menyetrika.

Semakin banyak kita membaca, semakin terkagum-kagum akan kekayaan ilmu yang belum kita ketahui, ilmu yang menunggu kita untuk meraihnya. Biarlah kita juga tergerak membawa anak-anak kita untuk merasakan kehausan yang sama.

Ibu, sudahkah engkau membaca untuk anakmu?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *