Rust Zacht, Ifa

Ifa’s last winter, taken from her Facebook account

Hari ini kami berduka karena teman kami Ifa meninggal dunia. Bukan karena covid. Dan di jaman pandemi seperti sekarang rasanya agak sulit untuk menerima kenyataan kalau ada kerabat atau teman yang meninggal bukan karena covid. Rasanya begitu sia-sia karena dia bisa meloloskan diri dari virus yang begitu mencekam, tetapi harus pergi juga.

Ifa adalah salah satu orang pertama yang aku kenal sewaktu aku pindah ke kota Maastricht 10 tahun yang lalu. Sosok yang sangat ramah, menyambut aku istri baru (baru menikah maksudnya) dari teman kantor suaminya.

Di minggu-minggu pertama kedatanganku di Maastricht, Ifa, suaminya dan beberapa teman kantor suamiku datang ke rumah. Aku masak makanan entah apa menunya, tapi aku ingat sekali Ifa datang membawa bread pudding yang dia masak sendiri, dan memberi kado welcome sebuah hand mixer.

Kami tidak sangat dekat dan pertemuan fisik kami bisa dihitung dengan jari. Biasanya kami berkomunikasi lewat saling memberi komentar di sosial media, atau lewat whatsapp. Tapi biarpun begitu, kesan yang Ifa tinggalkan sangatlah dalam. Untuk seorang Asia yang mendaratkan diri pertama kali di benua Eropa, tanpa teman, tanpa sahabat ataupun keluarga, sambutan Ifa yang begitu hangat membuat aku merasa tidak sendirian.

Suami kami bekerja di kantor yang sama. Kadang Ifa bertanya, sudah gajian belum? Ah, biasalah omongan ibu-ibu. Ifa mengenalkan aku pada beberapa teman lainnya di kota kami. Lalu juga membawa aku ke pasar, mengenalkan aku makan Kibbeling, ikan goreng tepung khas Belanda yang waktu itu harganya terasa sangat aduhai buat orang yang masih suka membandingkan Euro dan rupiah.

Ifa juga ikut senang waktu kami mengandung anak pertama. Tidak pernah dia membagi gundahnya atau menunjukkan rasa sedihnya dengan cerita-ceritaku tentang bayi baru. Kadang waktu aku sekarang memeluk anak perempuanku, aku menangis memikirkan Ifa pasti sangat merindukan kesempatan menjadi seorang ibu.

Dia selalu terlihat tenang, dan dengan damai menantikan gilirannya tanpa membuat kami ibu-ibu berbuntut merasa gelisah kalau bercerita dengan dia. Ifa dengan gembira berbagi suka denganku, tiap kali aku melahirkan dia datang ke rumah dengan hadiah untuk anak-anakku.

Ifa, aku dan Yuli bersama-sama pergi ke baby shower yang diadakan oleh ibu-ibu gerejaku kala itu. Ifa khusus masak muffin untuk acaraku. Satu hal yang lucu adalah kami waktu itu pergi naik bus ke belahan Maastricht yang tidak pernah kami datangi. Waktu itu aku belum punya smartphone. Masih punya nokia yang ada internetnya tapi tidak terlalu smart juga.

Ifa somehow punya smartphone dengan google mapnya, sehingga setelah kami turun dari bus kami pun berjalan kaki dipandu Ifa sambil melihat di Goggle Mapnya. Kami berjalan cukup jauh dan panjang, tapi kok tidak sampai-sampai. Sampai ibu-ibu yang sudah menunggu menelepon aku bertanya kenapa kami belum sampai juga.

Ternyata Ifa set Google Mapnya buat mobil dan bukan buat pejalan kaki! Ya ampun… pantesan lama dan muter-muter perjalannya! Kami pun ketawa terbahak-bahak, tiga ibu-ibu muda (waktu itu aku sudah tidak muda lagi sebenarnya), satu hamil besar dan nyasar!

Hanya sebentar kami tinggal di Maastricht dan suamiku memutuskan memboyong aku ke kota lain. Hampir melahirkan dan tidak ada teman untuk dimintai pertolongan sementara rumah kami kosong melompong, bahkan lantaipun tidak ada. Ifa dengan senang hati mengatur supaya suaminya datang ke kota kami, untuk membantu berbelanja barang-barang yang besar (kami tidak punya mobil atau SIM waktu itu), dan juga membantu memasang karpet lantai di loteng rumah kami.

Setahun setelah kami pindah Ifa juga pindah rumah ke kota yang sebenarnya dekat dengan rumah kami. Sayangnya karena hal ini dan hal itu kami tidak terlalu sering juga bertemu. Aku sms Ifa, kami kami lagi main ke sana, ketemuan yuk. Wah kami lagi ada acara lain, dan seterusnya dan sebaliknya. Hanya satu kali kami sempat main ke apartemen Ifa.

Waktu aku sakit lima tahun lalu, kami tidak langsung memberitahukan Ifa. Ada sebuah ‘misteri’ mengapa tidak begitu mudah mengumumkan kondisi kita kepada orang lain. Mungkin setelah dua kali operasi baru Ifa tahu dan mereka berkunjung ke rumah.

Setelah operasi ketiga, aku memutuskan untuk berhenti memakai sosial media. Meskipun akhirnya tidak jadi tutup buku di Facebook, tapi aku berhenti posting apapun ataupun me-like atau comment apapun. Kecuali di beberapa Facebook group untuk urusan berjualan dan sebagainya. Keputusan ini ternyata membuat frekuensi komunikasi kami tambah jarang saja.

Terakhir bertukar pesan dengan Ifa adalah pertengahan tahun lalu. Ifa kontak aku untuk kasih tahu kalau ada sahabatnya pindah ke dekat rumahku. Sebenarnya persis keesokan harinya aku harus pergi untuk operasi lagi. Tapi karena tidak mau panjang-panjang bercerita dan takut tambah emosional, aku tidak cerita kepada Ifa. Siapa sangka itu akan jadi whatsapp kami yang terakhir.

Setahun badai corona, otomatis kami tidak bertemu siapa-siapa. Operasiku dan beberapa bulan kemudian operasi anakku membuat kami berhati-hati dan menghindari kontak secara langsung dengan banyak orang. Belum lagi berkali-kali lockdown membuat kami banyak ‘diam’, asal survive ya cukuplah.

Seminggu sebelum aku tahu Ifa sakit, mamaku forward foto lama dari memory Facebook kepadaku via whatsapp. Siapa nama temanmu ini, tanya Mama. Ifa ma, jawabku singkat sambil sibuk ini itu dan tidak berpikir jauh lagi. Sempat terbersit untuk menghubungi Ifa – aku berpikir apakah ini firasat Mama karena Mama sedang sakit? Tetapi kesibukan menang. Beberapa bulan sebelumnya pun sempat ada foto kami makan malam bersama di rumah kami di Maastricht yang dishare ulang, tapi aku bahkan me-like pun tidak, karena aku sudah memutuskan berhenti memakai sosial media. Ternyata aku sudah dua kali diingatkan Tuhan untuk kontak Ifa tapi aku tidak mengindahkannya.

Hari ini aku belajar, kesempatan untuk berkontak-kontak tidak tersedia untuk selamanya. Tidak ada lagi kesempatan untuk kirim whatsapp ke Ifa dan bertanya dia masak apa hari ini, atau kapan kita bisa ketemuan.

Kami tahu soal Ifa sakit hanya beberapa hari sebelum dia berpulang. Aku menangis tersedu-sedu dan berlutut berdoa untuk temanku – meminta keajaiban, memohon mukjizat Tuhan, meminta Ifa kembali seperti Ifa yang aku tahu. Malam-malam di tengah tidurku aku terbangun, antara tidur dan sadar menggumamkan doa supaya Tuhan menyelamatkan Ifa.

Rasanya sedih dan pedih sekali, bahkan mengucapkan selamat tinggal pun tidak sempat lagi. Waktu kami menerima kabar ini, anak-anak sedang batuk parah. Bagaimana caranya mau jenguk ke tempat Ifa kalau kami penuh virus begini?

Tidak sempat lagi ketemu Ifa, tidak sempat lagi memegang tangannya dan bilang she’s precious to me, to tell her she has this big place in my heart – even bigger than I’ve ever thought.

Satu jam setelah mendengar Ifa berpulang, aku naik ke atas menyendiri. Anak-anak kutinggal di bawah sibuk dengan game mereka sementara aku berusaha mengolah perasaanku tentang semua. Aku memandang langit Belanda yang masih terang meskipun hari sudah mulai malam. Ifa, adakah engkau di sana? Sudahkah kamu berada di antara semesta?

Berlutut aku berdoa dan menangis tersedu-sedu. This was exactly the time when I had to pray but find no words to express my heavy heart. My prayers weren’t answered in a way I’ve wanted them to. But deep inside I know – and I later admitted in my prayers, that God is still God who owns all and reigns over everything. And He is still a good and merciful God, no matter how unknown His ways for us.

Ifa sudah pergi, Ifa sudah pulang. Entah kapan kenyataan ini akan bisa teregister di otakku. Ifa yang aku kenal, Ifa yang aku tahu adalah Ifa yang selalu penuh senyum, Ifa yang cantik, Ifa yang mirip sama salah satu penyanyi Indonesia meskipun dia gak suka dibilang begitu.

It’s funny in ironic ways, that you realize how much someone means to you only when she’s not here anymore. I wish I could turn back time, so I can tell Ifa in person, that I do love her, that Jesus loves her. But I know I can’t.

Kepergian Ifa membuat aku sadar bahwa waktuku tidak tak terbatas. Lima tahun yang kupunya sekarang, entah betapa besar keinginan Ifa untuk memilikinya. Semua hal yang terasa receh dan mengesalkan, seperti lagi-lagi mencuci piring yang kotor atau mem-vacuum lantai; betapalah lagi Ifa ingin bisa melakukannya. Semua hal yang terasa melelahkan saat aku melayani orang-orang di rumah, betapa Ifa ingin ada di sana untuk suaminya.

Aku belajar melakukan semuanya dengan kegentaran dan rasa syukur yang baru. Waktu yang kupakai saat ini, aku ‘pinjam’ dari Ifa. Kelegaan yang boleh aku hirup sekarang ini, aku ‘berhutang’ pada Ifa. I know a little part of her battle because her battle is also mine. I share a little bit of her pain, I share a little bit of her hidden struggle.

Kepergian Ifa membuatku sadar, untuk belajar lebih seperti dia, yang tidak segan dan tidak lelah menyapa sesamanya dan berbagi cintanya. Mungkin benar, orang baik selalu duluan dipanggil pulang. Kita yang tinggal masih banyak perlu belajar untuk menjalani hidup dan menghargai waktu yang masih tersisa.

Rust zacht, lieve Ifa. Thank you for being who you are for us, for sharing your love through your friendship and kindness. Thank you for welcoming me in this cold land and making my journey here so much warmer than it could have been. We are forever grateful, and you are forever in our heart.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *