Tema Tantangan Menulis (TTM) dari KLIP minggu ini bertema: Guru Favorit. Bicara tentang guru membuat saya berpikir pada belasan tahun bersekolah, mulai dari TK, SD, sekolah menengah dan perguruan tinggi.
Tentu saja di dalam masa yang begitu panjang ada sosok-sosok yang meninggalkan kesan mendalam. Kesan yang baik, atau kesan yang mengesalkan. Bu Ratna, guru pelajaran Matematika di SMA yang tidak kehilangan logat Batak-nya meskipun sudah puluhan tahun tinggal di Jakarta.
Atau Bu Corry yang cantik, guru Seni Musik di SMP, dengan make-upnya yang medok, yang suatu hari tiba-tiba histeris dan menghukum saya berdiri di depan kelas karena saya pelan-pelan mengikuti beliau bernyanyi. Duh Bu, namanya juga kelas menyanyi. Wajar atuh kalau kita pelan-pelan ngikutin ibu nyanyi. Jangan dianggap mau menghina apalagi mengejek guru mengajar dong!
Ada banyak nama yang saya kenang, tapi lebih banyak lagi yang saya lupakan. Saya tidak merasa punya sentimen terlalu dalam tentang guru manapun. Rasanya semua guru yah mirip-mirip lah semuanya. Nggak ada yang terlalu jelek, nggak ada yang terlalu buruk. Mereka semua berusaha untuk memberi pendidikan bagi anak-anak muridnya.
Sampai si Sulung masuk usia sekolah, dan saya menyadari bahwa tidak semua guru itu sama…
Sekolah dasar di Belanda
Table of Contents
Sedikit beda dengan di Indonesia, basisschool (sekolah dasar) di Belanda panjangnya delapan tahun. Semua anak yang sudah mencapai usia empat tahun, boleh masuk ke sekolah dasar. Jadi si anak tidak perlu menunggu sampai tahun ajaran baru dimulai. Begitu dia berulangtahun yang ke-empat, dia boleh masuk ke sekolah dasar.
Sekolah dasar terdiri dari 8 tingkat: grup satu sampai grup delapan. Sebenarnya sih, grup satu dan dua itu sama dengan TK A dan TK B di sistem pendidikan Indonesia.
Sebelum masuk ke sekolah dasar, biasanya orangtua mengirim anak-anak ke peuterspeelzaal (playgroup). Usia anak boleh masuk ke playgroup adalah dua setengah sampai empat tahun. Di sini anak-anak dipersiapkan kemandiriannya dan kemampuan sosialnya supaya mereka siap masuk ke ke sekolah dasar.
Di peuterspeelzaal mereka juga dilatih kemampuan bahasanya. Anak-anak yang datang dari keluarga yang tidak berbahasa Belanda di rumah somehow diharapkan bisa menguasai bahasa Belanda sebelum mereka berusia empat tahun.
Bingung bahasa
Di sinilah masalah dimulai. Si sulung kami terlambat bicara. Jangankan di dalam bahasa Belanda, dia belum lancar bicara dalam bahasa Indonesia sampai dia berusia empat tahun. Ketidaklancaran dia berkomunikasi membuat dia (dan kami) sering frustrasi. Bukan hanya keterlambatan di bidang komunikasi, si Sulung juga terlihat lambat dalam perkembangan lainnya.
Atas saran guru peuterspeelzaal, kami membawa dia ke klinik tumbuh kembang anak di rumah sakit di kota kami. Di sana si Sulung menjalani beberapa tes yang sejujurnya memberikan pengalaman tidak berkesan untuk saya. Untuk sebuah klinik khusus anak-anak, petugas yang mengetes dia tidak terlihat super sabar. Si Sulung kami yang sensitif (dia punya masalah sensory) dan cepat frustasi terlihat ketakutan dan petugas-petugasnya tidak terlalu menenangkan.
Si Sulung juga belum terlalu mengerti Bahasa Belanda. Dan entah dokter-dokter di sini dapat kreativitas dari mana, mereka memberikan dia tes IQ yang hasilnya sangat rendah – hanya sekitar 70 saja. Memang si Sulung saya ini membingungkan. Puzzle yang begitu mudah tidak bisa dia kerjakan. Tapi sebelum dia berumur empat tahun, dia sudah tahu lebih banyak cara untuk mengatur setting televisi kami dibanding saya, ibunya.
Jadi tentu saja saya tidak terima dengan hasil dari rumah sakit ini. Selain si Sulung didiagnosa masuk dalam spektrum Autisme (yang mana sebenarnya saya terima diagnosa ini), kami pulang membawa laporan rumah sakit dengan catatan si Sulung ber-IQ sangat rendah. Dokter di rumah sakit berkata bahwa usia empat tahun sebenarnya terlalu muda untuk dites IQ-nya, tapi di saat yang sama mereka melakukan test itu dan memberikan laporan dalam bentuk dokumen resmi yang akan menjadi sumber masalah besar di kemudian hari.
Masalah di sekolah dasar
Karena si Sulung sudah berusia empat tahun, kami memasukkan dia ke sekolah dasar di dekat rumah. Secara umum, semua sekolah dasar di Belanda wajib membantu anak-anak berkebutuhan khusus dengan memberikan program khusus berupa bimbingan ekstra, guru tambahan, dan lain sebagainya. Kalau setelah beberapa tahun dicoba dengan pendekatan semacam ini dan tidak berhasil, sekolah boleh menyarankan orangtua membawa si anak untuk disekolahkan di sekolah khusus.
Tadinya saya pikir namanya di negara maju, semua hal akan dilakukan dengan standar yang sama. Tapi ternyata tidak. Saat inilah baru saya sadar bahwa ada banyak orang yang bisa menjadi guru, tapi tidak semua punya jiwa pendidik.
Guru si Sulung di tahun pertamanya di sekolah dasar tampak sama sekali tidak berminat untuk membantu dia. Perkataan si guru di hari pertama si Sulung bersekolah adalah: “Berpuluh-puluh tahun saya mengajar, saya belum pernah lihat anak separah dia. Dia harus masuk ke sekolah khusus.” Saya bertanya, apakah si Sulung histeris? Apakah dia tantrum di sekolah? “Tidak, dia hanya diam saja sepanjang hari.”
Huh? So much observation for the very first day!
Singkat cerita, setelah satu tahun, sekolah ini memaksa kami untuk memasukkan si Sulung ke sekolah khusus dengan alasan dia tidak bisa dibantu di sekolah biasa. Surat dari rumah sakit yang kami berikan kepada sekolah sebagai dasar untuk membuat program khusus bagi si sulung malah menjadi batu sandungan. Sekolah tidak mau membantu – mereka keburu percaya bahwa si Sulung kami ber-IQ rendah, autis, dan tidak akan tertolong lagi.
Kami menjalani minggu-minggu yang panjang untuk mempertahankan argumentasi bahwa si sekolah salah. Mereka sama sekali belum melakukan program khusus apapun untuk si Sulung. Belum lagi faktor bahwa kami adalah pendatang yang tidak berbahasa Belanda menambah kesulitan belajar. Dan kami menolak memasukkan si Sulung ke sekolah khusus sebelum memberi dia kesempatan untuk mencoba, karena di sini, anak-anak yang masuk ke sekolah khusus seperti mendapat ‘cap’ yang tidak akan bisa lepas sampai mereka dewasa. Bisa jadi mereka akan terus berada di dalam ‘sistem’ dan tidak bisa meninggalkan sekolah khusus sampai seterusnya.
Dikeluarkan dari sekolah
Di dalam keputusasaan kami, kami membawa si Sulung ke seorang doktor psikologis untuk berkonsultasi. Di sana si psikologis menyampaikan kesimpulannya kalau si Sulung kami ini kemungkinan besar bukan mengalami autisme, tetapi bingung bahasa. Dan menurut beliau, si Sulung ini jelas tidak rendah IQnya, malah mungkin terlalu tinggi.
Laporan dari doktor psikologis ini kami sampaikan ke sekolah yang tetap menolak dan ngotot bahwa si Sulung harus masuk ke sekolah khusus. Lucu banget sebenarnya persoalan ini. Karena si doktor ini terkenal sebagai ‘mahaguru’ Autisme di Belanda, dan buku-buku karangan beliau adalah buku bacaan wajib untuk para calon guru di sekolah tinggi mereka. (Beberapa tahun kemudian, sekolah ini dilaporkan ke pemerintah karena terlalu mudah mengirim anak-anak ke sekolah khusus. Sepertinya mereka punya ‘kerjasama’ dengan sekolah khusus untuk mencari murid. Huh!)
Keputusan sekolah untuk memasukkan si Sulung ke sekolah khusus bukan saja menjadi keputusan satu sekolah ini saja, tapi menjadi keputusan dewan sekolah distrik. Yikes! Jadi si sulung ditolak untuk masuk sekolah dasar biasa di seluruh sekolah di kota kami, dan lima kota di sekitarnya!
Kami orangtuanya dipaksa untuk menandatangani sebuah surat yang isinya menyatakan bahwa kami, orangtua si Sulung setuju dengan keputusan sekolah, bahwa mereka sudah melakukan segala usaha untuk menolong si Sulung di sekolah itu tapi tidak berhasil sehingga si sulung harus dibawa ke sekolah khusus. Sekolah ngotot si Sulung tidak akan tertolong karena IQnya rendah – despite laporan dari si doktor.
Kami tidak bisa menerima keputusan ini, bukan karena kami tidak bisa merangkul kenyataan. Memang saya sebagai ibu waktu itupun bingung dan meragukan kemampuan intelegensi si Sulung. Tapi meskipun dia tidak suka/tidak bisa mengerjakan puzzle dan lain-lain seperti anak-anak seumurnya, saya yakin sekali ini bukan persoalan IQ karena di hal-hal lain si Sulung pintar sekali.
Dan kami tidak bisa menandatangani surat itu karena saya sebagai ibu sangat aktif meminta kesempatan untuk bertemu guru dan guru pembimbing di sekolah untuk membicarakan program khusus buat si sulung dan SELALU ditolak dengan alasan mereka sibuk. Setahun penuh saya mempertanyakan kapan mereka akan memulai program khusus yang tidak pernah diadakan, dan tiba-tiba saya disuruh setuju bahwa “mereka sudah mencoba segala cara”. Huh?
Masuk sekolah baru
Karena si Sulung sudah dikeluarkan dari sekolah dan tidak diterima di sekolah lain karena keputusan sepihak ini, kami tidak punya pilihan lain selain memasukkan dia ke sekolah khusus sesuai dengan paksaan sekolah. Tapi kami belum putus asa.
Saya berkeputusan, kalau si Sulung sudah mencoba bersekolah di sekolah biasa selama beberapa tahun dan memang tidak bisa bisa ditolong di sana, saya rela memasukkan dia ke sekolah khusus. Tapi saya tidak bersedia memasukkan dia ke sekolah khusus sebelum memberi dia kesempatan untuk mencoba ‘hidup normal’!
Sebagai solusi terakhir, saya bertanya kepada seorang sahabat perempuan dari gereja kami yang juga berprofesi sebagai guru. Dia sudah membantu saya untuk berbicara dengan pihak sekolah dan pihak pengurus distrik dan dia pun mengakui kalau keputusan sekolah itu janggal – biasanya tidak begitu prosedurnya. Tapi kami tidak bisa melawan keputusan sekolah itu kecuali kami mau naik banding ke Dinas Pendidikan yang lebih tinggi tingkatnya, dan hal itu terlalu menguras tenaga.
Saya bertanya kepada teman saya apakah si Sulung boleh masuk ke sekolah di mana dia mengajar saja? Teman saya bertanya, apakah kamu yakin? Kamu tahu di mana saya mengajar kan?
Sekolah Panda tempat teman saya mengajar adalah sekolah di lingkungan yang sangat tidak ideal di mata orang-orang Belanda. Berada di tengah pemukiman yang banyak ditinggali keluarga pengungsi dari Timur Tengah, sekolah ini dihadiri oleh 99 persen anak-anak bukan dari etnis Belanda.
Tingkat kriminalitas yang tinggi di lingkungan ini, anak-anak yang datang dari keluarga yang memiliki latar belakang dengan konflik serius seperti peperangan, persoalan politik dan lain-lain membuat sekolah ini jauh dari image sekolah bergengsi. Bahkan masih banyak orangtua dari anak-anak di sekolah ini yang belum bisa berbahasa Belanda dan tidak bisa baca tulis aksara latin! Sekolah ini bukan sekolah yang berskor tinggi di Ujian Akhirnya.
Tapi kami tidak peduli. Bagi kami, masuk sekolah ini masih lebih ‘benar’ dibanding memasukkan si Sulung ke sekolah khusus. Yang penting dia punya kesempatan bersekolah di lingkungan yang biasa dulu. Kalau setelah beberapa tahun tidak berhasil, baru kami rela memasukkan dia ke sekolah khusus.
Kami pun menjalani interview di sekolah baru yang namanya Sekolah Panda. Si Sulung diberi kesempatan untuk mencoba dua tahun di sana, dan harus mengulang dari awal lagi (grup satu alias TK A). Dan karena Sekolah Panda ini berada di kota lain dan kebetulan kota ini tidak termasuk dalam distrik yang sama dengan sekolah di kota kami, kami bisa men-skip masalah administrasi. Si Sulung bisa mulai bersekolah di sana!
Sekolah Panda
Hari ini adalah tahun ke-lima si Sulung bersekolah di Sekolah Panda. Dia melewati masa percobaan dengan lancar. Dia juga termasuk anak yang paling baik prestasinya di kelas. Si Sulung kami sekarang ada di grup lima (kelas 3 SD di Indonesia). Dia lancar membaca (kemampuan bacanya mencapai kemampuan baca murid kelas 5), lancar berbahasa Belanda, menulis dengan rapi, sangat pintar berhitung, dan baru tahun kemarin ketahuan bakatnya bermain piano.
Empat tahun saya membawa anak-anak bersekolah di sekolah yang dicap kebanyakan orang sebagai sekolah ‘terbelakang’, saya malah kagum melihat pengabdian guru-guru di sana. Berbeda dengan guru-guru Belanda kebanyakan, hanya guru yang siap tempur yang mengajar di Sekolah Panda (dan sekolah-sekolah di lingkungan tersebut yang ada beberapa jumlahnya).
Mereka dengan sadar melamar pekerjaan di sekolah ini, mengetahui kenyataan bahwa 90 persen anak-anak yang masuk ke sana tidak lancar berbahasa Belanda dan datang dari keluarga yang bermasalah. Guru-guru di sekolah si Sulung yang lama simply tidak ingin merangkul si Sulung karena malas meladeni dia yang belum lancar berkomunikasi.
Tapi guru-guru di Sekolah Panda ini lain. Mereka rela mengambil segala resiko mengajar anak-anak yang bahkan memiliki kesulitan belajar. Tentu saja ini berarti pekerjaan ekstra untuk mereka. Guru-guru ini juga secara aktif merangkul para orangtua murid. Mereka berusaha keras mengkomunikasikan apa yang sudah anak-anak pelajari di sekolah dengan orangtua agar mereka juga bisa membantu anak-anaknya di rumah. Hal ini adalah hal yang tidak lazim, karena di Belanda, bisa dibilang orangtua sama sekali tidak dilibatkan dengan pendidikan sekolah.
Mereka tidak malu mengajar di lingkungan yang dicap bermasalah. Mereka tidak pernah memasang wajah segan dan berkata, “Oh, saya sedang sibuk,” ketika ada orangtua yang datang dan meminta waktu untuk membicarakan persoalan anaknya. 180 derajat berbeda dengan sekolah si Sulung pertama, guru-guru di Sekolah Panda menunjukkan bahasa tubuh yang sangat terbuka, sangat siap, sangat merangkul anak-anak betapa pun gelap cap yang sudah diberikan kepada mereka.
Mereka tidak meminta anak-anak itu lulus dengan skor sama tingginya dengan sekolah unggulan. Tapi mereka bersukacita dengan segala kemajuan, dan mereka bekerja keras untuk memajukan anak-anaknya. Kalau ada sosok guru yang begitu rindu untuk mendidik anak-anak, merekalah orangnya! Bukan saja mendidik anak, tapi juga berusaha memberi pengertian untuk orangtua supaya bisa lebih sadar akan pentingnya pendidikan di keluarga.
Terimakasih, guru-guru Panda
Di masa sekolah dulu saya adalah murid yang mudah belajar dan cukup berprestasi. Mungkin itulah mengapa semua guru ‘terasa sama’ saja, karena saya tidak pernah punya kesulitan belajar (kecuali di masa kuliah). Tapi sekarang baru saya menyadari bahwa tidak semua guru itu sama.
Ada guru-guru yang memilih pekerjaan ini mungkin karena keterpaksaan dan bukan karena ingin mengabdi menjadi pendidik. Ada guru-guru yang memilih bekerja di sekolah unggulan yang muridnya sudah pasti pintar dan ‘bisa belajar’ sendiri.
Tapi ada guru-guru yang memilih masuk ke medan yang sulit dengan idealisme ingin memajukan anak-anak yang dicap sulit untuk belajar. Mereka mengajar dengan hati yang tulus, ingin memberikan masa depan yang cerah kepada anak-anak ini meskipun lingkungan berkata mereka tidak akan mungkin bangkit.
Terimakasih guru-guru Panda, untuk kepercayaanmu kalau si Sulung kami pasti bisa menjadi lebih baik. Juga untuk kasih sayang mu untuk semua anak-anak yang lain. Kalian semua sumber inspirasi. This is what a real teacher should be!
Catatan tambahan: untuk teman-teman para ibu yang anaknya mengalami keterlambatan di dalam perkembangan, terus semangat ya! Tidak ada keputusan yang final sampai kita sudah mencoba yang terbaik!
Wah…salut kak DIP.
Menjadi orangtua memang tidak boleh putus asa dan menutup mata.
Selalu ada jalan keluar yang indah setelah badai dan hujan yang hadir.
Semoga Mama bisa terus bersemangat dan ananda menjadi anak yang mengharumkan nama bangsa di Belanda bahkan di seluruh dunia, kelak.
Dea, terimakasih berbagi cerita ini, Pastinya bukan situasi yang mudah, ngga nyangka juga disana masih ada juga guru yang seperti itu ya. Tapi bersyukur bisa bertemu dengan Sekolah Panda, semoga si Sulung selalu menikmati belajar, sukses selalu
Dea adalah seorang Ibu yang berjuang untuk anaknya. Perlu tekad dan keberanian untuk keluar dari ‘sistem’, ga serta merta manut dengan yang diomongkan orang yang punya authority. Ikut kesal mengetahui mereka kongkalikong dengan pihak sekolah berkebutuhan khusus. Astaghfirullah.
Ini juga menyadarkan bahwa sekolah yang ‘bagus’ dan dipenuhi kalangan ‘punya’, belum tentu memiliki guru yang seberkualitas di sekolah yang dianggap ‘outsider’.
Keren, Dea. 🙂
Salam buat si sulung yang cerdas dan pemberani 🙂
Inspiring banget teh Dea. Jalan berliku agar anak dapat pendidikan seharusnya. Memang kalau bukan orangtua yang percaya dengan anak, kasihan anaknya. Seneng aku baca ini teh
Memang kadang-kadang orang yang menjadi guru itu harus karena panggilan hati ya, bukan karena asal ada kerjaan. Terbukti kalau gurunya dari hati, mereka mendidik anak-anak juga dengan sepenuh hati. Jadi orang tua juga tenang mengirim anak ke sekolah yang guru-gurunya memang totalitas mendidik anak.
Iya kak. Ini mirip banget sama cerita-cerita horror soal pegawai daycare atau pengasuh anak yang abusive misalnya. Profesi2 macam gini kalau nggak punya kesabaran mendingan jangan dijalani. Makanya ini jenis pekerjaan ‘profesi’ kan, kayak dokter dll yang emang ada etikanya tersendiri.