Tangan Kiri Tidak Perlu Tahu Bila Tangan Kanan Memberi

Terlintas di list Facebook video kemarin, sebuah video/vlog pasangan artis Indonesia. Sebut saja mereka Baim Wong dan istrinya Paula Verhoeven (lho kirain mau anonimus, haha). Di dalam video ini, kelihatan kalau Paula sedang menghadapi seorang ibu yang datang ke rumahnya untuk meminta uang.

Di video yang saya tonton ini, sang ibu datang membawa anak perempuannya yang masih kecil, kira-kira empat atau lima tahun umurnya. Dia datang karena pernah (atau sering?) melihat konten yang diunggah Baim Wong, tentang Baim memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan. Sang ibu meminta uang 1.5 juta rupiah untuk membayar kontrak rumahnya.

Karena tidak diberi, sang ibu pun mulai menangis sampai mengancam akan mengakhiri hidupnya. Pasangan artis ini mulai merasa kesal dan terganggu. Mereka berpendapat bahwa si ibu masih sehat, harusnya bisa bekerja dan memenuhi kebutuhannya. Kenapa harus minta-minta sampai mengancam segala?

Akhirnya istri sang artis, Paula Verhoeven memberikan si ibu sedikit makanan dan uang secukupnya untuk ongkos dan mereka meminta ibu ini pulang. Pasangan artis ini memberikan saran bagi si ibu untuk mengubah sikapnya; daripada hidup meminta-minta, lebih baik bekerja dan hidup mandiri, tidak tergantung kepada orang lain.

Mana lebih baik, memberi atau tidak?

Video yang diunggah di Facebook ini hanyalah penggalan video Youtube, diunggah tanggal 21 Maret 2022 dan dalam kurun waktu kurang dari seminggu sudah mendapatkan view hampir 1,5 juta.

Selain video tentang ibu ini, saya sudah beberapa kali sekilas menonton video Baim dan Paula dengan tema yang sama: ‘bagi-bagi rejeki’. Dan bukan sekali juga saya menonton pasangan ini menolak orang-orang yang meminta dari mereka. 

Di akhir tahun 2021 lalu, Baim sempat terlibat kasus ketika dia marah-marah kepada seorang kakek yang datang ke rumahnya. Sikap Baim di dalam menolak sang kakek dilihat oleh netizens sebagai sikap yang merendahkan. Baim kemudian meminta maaf dan memberikan pernyataan bahwa keluarganya tidak suka bila ada banyak orang yang datang ke rumah mereka untuk meminta-minta. Bahkan Baim berkata bahwa mereka terpaksa pindah rumah saking terganggunya.

Tentu saja perasaan Baim dan Paula ini valid adanya. Tidak semua orang yang meminta-minta kepada kita itu sebenarnya perlu dibantu. Ada banyak orang yang meminta karena mereka simply kurang rajin berusaha, atau lebih lugas lagi: karena mereka malas adanya. Mereka lebih suka rute singkat, buat apa bekerja dan menabung, kalau ada orang lain yang bisa membantu membayar kebutuhannya?

Di lain pihak, kita sama-sama tahu bahwa mencari uang itu tidak mudah dan tidak selalu bisa dilakukan. Dan hidup terkadang membawa kita kepada situasi-situasi krisis di mana kita memang perlu sekali uang saat ini juga. Misalnya saat ada kemalangan, sakit, dipecat dari pekerjaan, dan lain sebagainya, di mana tidak ada waktu untuk menabung, we simply need the money right now, right at this minute!

Apalagi untuk orang-orang dengan latar belakang pendidikan yang rendah, yang memiliki lebih sedikit pilihan atas jenis pekerjaan apa yang bisa mereka lakukan, dan juga kesempatan yang sangat langka untuk mendapatkan penghasilan yang cukup untuk menabung. Bagi mereka, bisa makan setiap hari juga sudah luar biasa.

Saya tidak tahu apa cerita dari ibu yang mendatangi Baim dan Paula di video tersebut. Mungkin ibu ini ditinggal oleh suaminya begitu saja, tanpa dinafkahi? Mungkin dia tidak punya pekerjaan, karena pendidikannya kurang? Atau dia ingin bekerja tapi tidak ada orang yang menjaga anaknya yang masih kecil?

Atau mungkin si ibu memang malas, daripada dia berjualan susu segar Cimory (seperti disarankan Baim kepadanya), dia memilih untuk duduk-duduk saja di rumahnya sambil menonton drama Korea. Atau seharian tidur-tiduran di kamar menunggu rejeki jatuh dari pohon.

Saya tidak tahu persis seperti apa sebenarnya kehidupan ibu ini dan anaknya, begitu juga dengan Baim dan Paula. Saat mereka merekam si ibu, kalau kejadian ini bukan rekaan, artinya ya mereka juga tidak tahu apa sebenarnya latar belakang ibu itu.

Urusan apakah ibu ini harus diberi uang atau tidak, tidak bisa ditentukan dalam sekejap mata. Dan tentu saja, hak untuk memberi 100 persen ada di tangan yang memiliki uang. Terserah pada Baim dan Paula apakah mereka mau menolong sang ibu atau tidak, dan bila ya, mau menolong dengan cara apa, mau memberikan uang sebanyak apa, dan lain sebagainya.

Pertanyaannya, apakah etis untuk merekam peristiwa ini dan menjadikan permintaan si ibu menjadi konten vlog?

Jadi konten, atau tidak?

Kalau ada pertanyaan penting yang harus ditanyakan setiap orang sebelum melakukan sesuatu, itu adalah sebuah quote terkenal dari William Shakespeare yang berbunyi, ‘To be, or not to be’.

Tulisan saya hari ini adalah sebuah opini yang akan mengajak kita semua untuk sama-sama berpikir, apakah etis untuk bila sebuah peristiwa saat kita memberikan bantuan kepada orang lain dijadikan konten vlog untuk kemudian dipublikasikan di internet, di mana ada jutaan orang bisa melihatnya?

Tiga puluh tahun yang lalu, hanya orang-orang yang punya cerita yang sangat menarik, sangat berprestasi atau sangat jahat (para kriminal) yang bisa masuk televisi. Saya ingat kami rasanya bangga sekali ketika dua orang abang saya masuk TVRI dalam acara cerdas cermat. Acara TV ini hanya disiarkan 30 menit, dan hanya disiarkan di seluruh Indonesia. Tetapi sekarang, semua orang bisa ‘masuk TV’, dan bukan hanya ditonton oleh orang-orang senegaranya saja, tapi bisa diakses oleh siapapun dari belahan dunia mana saja.

Akibatnya, semua orang berlomba-lomba mengunggah video yang mereka buat dan berharap mendapatkan sedikit/banyak ketenaran daripadanya. Mulai dari video lucu tentang diri mereka sendiri, sampai kepada video tentang orang lain. Dan semakin lama orang-orang semakin melupakan etika di dalam membuat konten.

Prank, musibah dan kemalangan, memberikan bantuan, perselingkuhan, dan masih banyak lagi yang dialami oleh orang lain dijadikan bahan konten demi mendapatkan view, like yang berujung mendapatkan uang. Bagaimana dengan privasi orang-orang tersebut? Bagaimana dengan perasaan mereka? Bagaimana dengan reputasi mereka?

Di video ini kita bisa melihat bahwa sang ibu menangis dan direkam di kamera, bahkan dijadikan gambar tampilan di halaman video Youtube Baim Wong. Bagaimana perasaan teman-teman, bila sedang merasa begitu tertekan sampai harus meminta-minta sambil menangis kepada orang lain lalu ada beberapa orang membawa peralatan rekam dan kamera berkeliling di sekitar teman-teman?

Memasang foto orang lain dengan judul seperti ini, efek jera buat mereka? Atau apa? (Ibu-nya saya tutup matanya biar nggak mempermalukan beliau di sini)

Berapa penghasilan yang didapatkan Baim Wong dari video ini saja? Belum lagi dari video-video yang lain dengan tema yang serupa. Kalau dalam satu minggu sebuah video berhasil mendapatkan 1,5 juta view, berapa total rupiah yang masuk ke dalam kantong Baim melalui banyak video dengan tema yang serupa?

Di sini saya mempertanyakan apakah tindakan memberi yang dilakukan pasangan artis Baim dan Paula ini murni merupakan tindakan membantu orang lain? Atau merupakan usaha mereka mencari penghasilan yang disamarkan melalui tindakan amal atau bagi-bagi rejeki sesuai istilah mereka?

Tangan Kiri Tidak Perlu Tahu Bila Tangan Kanan Memberi

Kita mendengar banyak berita positif tentang orang-orang penting seperti pejabat atau selebriti yang memberikan bantuan kepada masyarakat. Saya pribadi merasa bantuan yang mereka lakukan adalah hal yang memang patut dipuji. Kepedulian kepada orang lain adalah sesuatu yang perlu dilakukan oleh semua orang.

Masalahnya di sini: patutkah kita memberitahukan kepada semua orang saat kita melakukan kebaikan? Acara-acara televisi, reality show seperti ‘Uang Kaget’ disambut positif oleh banyak pihak, terutama oleh kalangan ekonomi rendah yang berharap mereka pun suatu saat bisa mendapatkan rejeki nomplok seperti yang dialami orang-orang di acara tersebut.

Tapi buat saya pribadi, memberikan uang sekian juta DENGAN SYARAT harus bisa dihabiskan dalam waktu sekian puluh menit adalah hal yang bodoh. Saya tidak bisa mengerti bagaimana orang-orang bisa bersorak sorai melihat satu orang yang seumur hidupnya tidak pernah memegang uang sebanyak itu, harus panik berlari kesana kemari berusaha membelanjakan uang yang dia dapat – dan semuanya itu dilakukan sementara dia dikelilingi banyak orang, dengan banyak kamera di setiap sudutnya.

Kebanyakan orang tidak bisa berpikir jernih ketika dihadapkan kepada situasi semacam itu. Mungkin sebenarnya dia punya kebutuhan lain yang lebih mendesak, tapi karena dia ada di tempat tertentu dan belum tentu bisa mencapai tempat lain secara cepat, yang terpikirkan adalah membeli barang-barang yang dia lihat saat itu juga.

Coba bayangkan betapa banyak rasa penyesalan yang dia punya ketika acara itu selesai. Dia bisa saja misalnya membayar uang sekolah anaknya, tapi karena panik malah membeli kulkas atau barang-barang yang tidak penting lainnya. Dan orang-orang tertawa, bersorak, berkomentar – mereka membuat hal ini sebagai tontonan yang lucu dan menghibur.

Bisakah kita bayangkan orang-orang yang sudah dibiarkan kelaparan selama satu tahun di dalam penjara, lalu dikeluarkan dan ditaruh di tengah-tengah Colosseum, diberi pakaian indah, makanan yang berlimpah – tapi bukan karena ingin membantu mereka, melainkan hanya karena ingin menonton apa reaksi mereka??

Acara seperti ini, dan banyak acara sejenisnya, diikuti banyak video-video yang dibuat secara mandiri oleh para penggiat sosial media merupakan acara yang kejam. Mereka menggunakan penderitaan orang lain sebagai bahan konten acara mereka. Mereka mengambil keuntungan dari reaksi orang-orang yang menonton acara tersebut. Mereka menuai pujian, padahal sebenarnya, keuntungan dari acara tersebut mungkin jauh lebih besar dibanding sumbangan yang mereka berikan kepada orang yang kemalangan itu.

Saya teringat satu mata kuliah di semester 2 sewaktu saya berkuliah: kuliah etika. Setiap orang bisa mengambil mata kuliah ini sesuai agamanya masing-masing. Ada Etika Islam, Etika Kristen, Etika Budha dan lain sebagainya. Tadinya saya kurang mengerti mengapa kami perlu mempelajari etika ini. Mengapa etika, dan bukan meneruskan pelajaran agama yang kami dapat di semester 1 saja?

Agama memberikan kita dasar atas apa yang kita lakukan. Tapi kita membutuhkan pengetahuan etika untuk bisa menolong kita di dalam mempraktekkan dasar-dasar iman tersebut. Apa sikap kita ketika kita dihadapkan pada kesempatan untuk korupsi? Apa sikap kita ketika ada kecelakaan terjadi di depan kita? Apa sikap kita ketika kita ingin memberikan bantuan kepada orang lain?

Alkitab menuliskan: “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” Matius 6:3-4 (TB) 

Bila tangan kanan memberi, tangan kiri tidak perlu tahu. Kita memberi bukan untuk mendapatkan pujian, tetapi karena kita murni ingin membagi kasih kita kepada orang-orang di sekitar kita.

Semua (mungkin) boleh, tapi tidak semua perlu

Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada sanksi untuk orang-orang yang menggunakan ketidakberuntungan orang lain sebagai konten sosial media atau acara televisi. Mungkin terkadang bila tindakan mereka keterlaluan, para netizens bisa memberikan komentar negatif yang bisa membuat mereka menyesal/berhenti melakukannya. Tetapi tidak ada sanksi hukum yang mengatur hal ini. 

Artinya, semuanya boleh saja. Tapi pertanyaannya, apakah perlu? Banyak orang yang berpendapat bahwa pemberian yang dipublikasikan akan menjadi contoh bagi orang lain dan bisa memberikan semangat bagi para penonton untuk melakukan hal yang sama. Saya setuju dengan sebagian dari pernyataan ini, tapi kita perlu memikirkan hal ini lebih dalam lagi sebelum melakukannya.

Memberilah karena ingin menolong, jangan memberi karena ingin mendapatkan pujian. 

dip

‘Oh, tapi saya ingin menjadi inspirasi!’ Kamu akan menjadi inspirasi bagi orang-orang yang mendapatkan bantuan itu darimu. Bagaimana kamu mengulurkan tangan kepada mereka secara tulus ketika mereka betul-betul sedang tercekik oleh keadaan akan menjadi sebuah pemacu bagi mereka untuk terus hidup, dan mungkin di masa depan mereka juga akan mengulurkan tangan kepada orang lain di sekitar mereka.

‘Oh, tapi saya ingin banyak yang tahu supaya mereka pun menjadi penolong!’ Biarlah berita tentangmu datang dari cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut oleh orang-orang yang kamu tolong, atau orang-orang yang KEBETULAN melihatmu menolong mereka.

Biarlah kamera orang lain yang tertarik melihatmu yang tidak segan ikut mendorong gerobak sampah seorang pemulung tua yang menjadikan usahamu viral. Tapi bukan dengan cara pergi ke panti asuhan dengan membawa tiga empat orang cameraman, merekam wajah anak-anak yang malang dari dekat lalu mengunggahnya di setiap akun sosial media yang kamu punya. Di-monetisasi pula!

Bantulah orang lain sambil tetap menjaga harkat dan martabat mereka. Jangan rekam orang yang menangis ketakutan, jangan rekam orang yang putus asa mengharapkan bantuan. Jangan jadikan itu konten dan mengeruk keuntungan daripadanya. Apalagi kalau pada akhirnya permintaan mereka kamu tolak juga.

Menolong tanpa memperhatikan martabat dan harga diri seseorang mungkin bukan menolong. Jangan mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain!

Jangan panggil mereka pengemis. Jangan panggil mereka pemalas. Jangan membuat judul yang bombastis untuk menggambarkan kepribadian mereka, sementara kamu bahkan tidak tahu siapa mereka dan apa pergumulan mereka setiap harinya.

Jangan lakukan itu hanya karena kamu bisa melakukannya. Jangan lakukan hanya karena tidak ada hukum yang mengejarmu. Jangan lakukan karena kebetulan bagimu 200 ribu rupiah bukanlah sesuatu.

Entahlah, mungkin Baim dan Paula tidak sempat mengalami mata kuliah Etika. Semoga mereka dan para selebriti lainnya yang gemar melakukan tindakan serupa bisa sadar bahwa kita semua ini manusia dengan harkat dan martabat yang sama. Kita semua ini manusia yang diciptakan oleh tangan Tuhan yang sama. Amin.

Mamah Gajah beropini

Saya seorang Mamah Gajah, ikut berpartisipasi di dalam Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog bulan Maret 2022 dengan tema ‘OPINI’.

8 Thoughts on “Tangan Kiri Tidak Perlu Tahu Bila Tangan Kanan Memberi

  1. Sebenarnya memperlihatkan kemampuan diri, entah itu flexing (pamer kekayaan) atau berbagi sedekah di sosial media akan rentan diganggu orang yang membutuhkan pertolongan. Itu udah kaya gula terbuka yang minta dikerubungi semut aja. Coba deh perhatikan akun-akun orang yang menunjukkan kemampuannya, ternyata banyak yang secara terbuka meminta bantuan dalam kolom komentar atau minta dibaca DM-nya.

    Nggak usah selebriti, kita aja yang orang biasa kalau kelihatan mampu biasanya akan banyak didatangi orang yang minta tolong untuk pinjam duit. Biasa banget lah itu. Apalagi mereka yang terang-terangan pamer di sosial media. Bener, semua demi konten.

    Kalau di Quran ayatnya menyebutkan nggak apa-apa kalau mau memperlihatkan sedekah, tapi lebih baik jika tidak alias dilakukan diam-diam saja.

  2. Gemesin banget ih, pengen rasanya ngelaporin youtuber ini, terimakasih sudah menuliskan ini Dea. Mudah-mudahan ada satu dua subscribersnya yang membaca ini.

    Mudah-mudahan juga ini bukan gimmick, kalau gimmick bikin gemes bertambah-tambah, segitunya ya orang cari uang.

  3. aku ga suka baca berita viral, apalagi yg sengaja diviralkan demi konten. sebenernya mungkin ada baiknya disamarkan namanya, karena kalau terlalu jelas malah orang dtg ke YouTube itu dan makin banyak deh dia dapat airtime

  4. Saya ga terlalu suka nonton konten beginian mbak.. apapun motifnya tetap saja memperlihatkan keburukan kepada umum ya.. Semoga saja mereka yang mencari uang (melalui konten) dengan cara seperti ini segera mendapat hidayah…

  5. asli gak suka nonto konten seleb yang menurutku gak etis. tapi kadang itu di IG tetiba muncul nyempil gitu padahal gak follow duuuhhh … males banget ya liatnya. ha3 … malah curhat.
    intinya kalo soal sedekah aku milih yang gak bilang-bilang deh!

    salam semangat

  6. Iya teh, mirisnya dunia kini adalah sedekah dijadikan konten. Entah ini dihitung apa nggak ya sebagai sedekah. Nggak cuma dijadikan vlog, tapi di twitter, IG atau dimanapun dijadikan bahan untuk dapat likes. padahal fotonya nggak tau juga punya siapa/belum tentu ori.

  7. Miris ya, lebih miris lagi karena memang konten semacam ini di kalangan masyarakat Indonesia memang “menghasilkan”, alias banyak penontonnya. Saya sendiri ga pernah dan memang ga suka juga nonton konten seperti ini, tapi ga bisa dipungkiri juga sepertinya banyak yang suka. Ya semoga semakin banyak yang sadar deh kalau konten begini itu ga perlu, jadi nanti penontonnya sedikit, lama-lama para content creator berhenti bikin konten eksploitasi kesusahan orang lain seperti ini.

  8. Bagus sekali opininya, Dea. 🙂 Lengkap dan naratif. Danke, Mah Dea 🙂

    Dari tulisan Dea ini, saya langsung mencari video ini di Youtube. Howalaah, hanya karena kita berada di era content, semua hal bisa dijadikan content. Tentunya most likely, tujuan utamanya adalah ‘biar cuan’.

    Saya jadi teringat salah satu ‘kuliah’ Bapak Rhenald Kasali (yang saya subscribe langsung setelah direkomendasikan Mamah May niy ehehe karena memang baguss dan worth my time untuk menonton content-nya).

    Di situ beliau memberi contoh beberapa influencer yang rajin bagi-bagi uang dan dia share di youtube. Layaknya seorang Robin Hood, datengin orang-orang menengah ke bawah, para pegawai ‘jalanan’, seperti bapak tukang parkir, penjaja makanan, dan sebagainya, juga ngasi random beberapa lembar uang ratusan ribu bagi para pengendara motor yang kebetulan sedang berhenti di lampu merah. Wuihhh.
    Tentu saya ikut senang, melihat wajah para penerimanya, sumringah. Mereka mendapat rezeki. Puji syukur.
    Namun, dari sisi content creator-nya, hhmm, ternyata belakangan diketahui beberapa orang tersebut ditangkap polisi karena mereka adalah fraud, dan terbukti money-laundering. 🙁

    Saya jadi menyimpulkan, apakah mereka melakukan kebaikan dengan di-share di scomed, mungkin saja, salah satunya untuk menutupi keburukannya. Ahh detailnya, pasti hanya Dia yang Maha Tahu, dan kita serahkan padaNya, karena pasti Dia akan memberi peringatan dan balasan.

Leave a Reply to Sri Nurilla Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *