Hari Minggu kemarin kami sekeluarga pergi merayakan Paskah di gereja. Kemarin itu adalah kali ke-dua kami kebaktian langsung di gereja sejak lockdown Corona dibukan beberapa bulan yang lalu. Tadinya sih kami ingin ke gereja bulan lalu, apa daya malah kena Corona.
Ada yang unik dari pengalaman ke gereja kemarin. Ceritanya baru beberapa minggu lalu saya baru menyadari kalau si Bungsu sepertinya rabun jauh. Waktu kami berjalan-jalan ke kota lain, kami bermain game di mobil: siapa yang bisa cepat menemukan kata yang saya baca dari papan petunjuk di jalan tol. Si Bungsu bilang dia tidak bisa membaca apapun. Semua huruf tampak lengket satu sama lain, katanya. Wah? Seriously?
Si Bungsu rabun
Table of Contents
Meskipun demikian, karena saya ibu yang agak malas, kami belum membawa dia ke dokter mata atau optik. Alasannya sih karena sebenarnya saya belum terlalu mengerti apa prosedur memeriksa mata anak di sini. Alasan kedua adalah saya masih kurang rela dia pakai kacamata. Kami sudah membuat janji dengan posyandu setempat untuk memeriksakan matanya, jadi saya pikir ya tunggu saja.
Alasan terakhir adalah si Bungsu ini suka dramatis anaknya. Jadi kadang saya pun tidak langsung menanggapi kalau dia punya keluhan ini itu, karena basically dia pasti punya keluhan setiap hari. Ya pusing lah, gatal lah, sakit punggung lah, sakit kaki, dan sebagainya. Tidak jarang akhirnya kami membawa si Bungsu ke dokter dan ternyata ya tidak ada apa-apa. Karena itulah saya menunda membawa dia ke dokter mata.
Tapi ternyata, menurut si Bungsu dua minggu lalu waktu kami pertama kali kebaktian off-line di gereja, dia tidak bisa membaca teks lagu yang ada di layar? Padahal kami duduk hanya di bangku ke-lima dari depan. Dan buat Pak Suami yang agak-agak anti sosial dan tidak ingin menarik perhatian, duduk di bangku ke-lima itu sudah luhar bihasa! Akhirnya saya menggandeng si Bungsu dan membawa dia maju semakin dekat ke layar. Dan ternyata… menurut dia, dia baru bisa membaca layar dari bangku yang ke-dua.
Suami saya mendelik. Saya tahu dia paling tidak suka duduk di depan. Dia paling anti menjadi perhatian semua orang. Padahal apa iya kalau duduk di depan kita jadi diperhatikan orang? Hihihi, ge-er deh! Saya tidak mendebatnya. Akhirnya saya dan Si Bungsu duduk di depan, sementara suami dan si Sulung duduk beberapa bangku di belakang kami.
Buat saya sebenarnya tidak masalah mau duduk di mana. Di depan, di tengah, kecuali di belakang. Jujur saja saya tidak suka duduk di belakang. Selama ini kami berkompromi dengan cara duduk di tengah karena suami saya prefer duduk di belakang sebenarnya. Tapi ternyata keadaan si bungsu terpaksa mengubah style keluarga kami yang sudah dilakukan bertahun-tahun ini.
Duduk di depan
Minggu lalu, saya mengajak suami saya duduk di bangku depan dengan alasan demi si Bungsu supaya dia bisa membaca tulisan di layar. Di luar dugaan, Pak Suami menyambut ajakan saya tanpa banyak keberatan! Tepatnya tanpa protes sama sekali. Wow, ada apa ini? Nggak dia banget mau duduk di depan seperti itu. Apakah artinya dia lebih pede, atau sudah menyadari bahwa sebenarnya duduk di depan itu tidak menarik perhatian orang, atau apa?
Saya ingat semboyan yang sering diucapkan oleh teman-teman ketika bersekolah dulu: Posisi menentukan prestasi. Biasanya para murid berlomba-lomba untuk duduk di belakang. Mereka merasa lebih bebas berekspresi bila duduk tidak persis 50cm di depan hidung bapak dan ibu guru. Bebas ngobrol, bebas melamun, bebas corat-coret buku, dan (mungkin) bebas nyontek kalau dirasa perlu.
Tapi seumur-umur saya bersekolah dan berkuliah, saya sangat anti duduk di belakang. Bagi saya duduk di belakang itu siksaan. Mengapa? Alasannya ada dua: seperti si Bungsu, mata saya juga rabun. Even ketika saya memakai kacamata, duduk di belakang itu menjamin saya tidak bisa terlalu jelas melihat penjelasan di papan tulis.
Alasan lainnya adalah: saya ini sedikit budek, haha. Saya tidak bisa begitu jelas mendengar kalau tidak duduk persis di depan guru. Apalagi kalau duduk di belakang, penuh dengan murid-murid lain yang mengobrol. Dijamin saya tidak bsia dengar apa-apa. Mungkin sebenarnya bukan karena kuping saya kurang tajam. Tapi basically saya tidak bisa mendengar terlalu banyak suara bersamaan. Karena semua alasan itulah saya selalu memilih untuk duduk di depan.
Duduk di depan tidak menarik perhatian
Berlainan dengan pendapat suami saya bahwa kalau kita duduk di depan itu menarik perhatian orang, saya justru berpendapat tidak ada yang perduli dengan orang-orang yang duduk di depan. Apanya yang menarik sih, kan yang terlihat cuma punggung dan kepala semata. Lagipula, setiap kali saya duduk di baris tengah dan belakang, belum pernah saya sibuk memperhatikan orang-orang yang duduk di depan. Well, kecuali kalau saya naksir mereka. LOL.
Selain itu, saya suka duduk di depan karena kita bisa lebih fokus dengan apa yang sedang dijelaskan. Bukan masalah rabun dan budek saja, tapi sebagai orang yang fokusnya bisa berubah-ubah setiap ada hal yang menarik yang lewat, bagi saya duduk di belakang itu terlalu banyak godaannya. Karena saya akan sibuk dengan terlalu banyak hal-hal yang menarik yang terjadi di dekat saya.
Plus, tentu saja sama seperti kebanyakan orang lainnya, duduk di belakang itu membuka kesempatan-kesempatan untuk melakukan hal lain yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran. Dan tentu saja sebagai orang normal, saya pun akan punya kecenderungan untuk melakukan hal itu bila kesempatannya ada. Karena itulah saya memilih untuk duduk paling depan bila memungkinkan.
Duduk di depan bukan untuk anak baik sahaja
Selama saya duduk di bangku sekolah, duduk paling depan tidak menghalangi saya untuk mengobrol. Memang saya ini orangnya tipe-tipe nggak jelas, kayak alim tapi nggak alim. Kayak serius tapi banyak ngaconya. Di sekolah dulu, saya adalah kesayangan bapak ibu guru karena bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Tapi saya juga enemy of the state bagi mereka karena saya suka sekali mengobrol dan tidak malu-malu untuk sibuk ngobrol dengan teman sebangku meskipun gurunya sedang ada di depan saya. 🤣
Duduk di depan sebenarnya juga tidak menghalangi kesempatan untuk mencontek (bila mau). Justru menyontek selagi di duduk di depan jauh lebih aman, karena biasanya guru atau pengawas akan lebih memperhatikan baris-baris di belakang yang seperti sudah mendapat cap sebagai tempat berkumpulnya murid-murid yang pasti akan berbuat curang.
Hal ini sudah saya amati dan buktikan sendiri. Saya sendiri anti mencontek, buat saya mencontek itu dosa, saudara-saudara. Dan biasanya tanpa mencontek pun saya biasanya bisa mengerjakan hampir semua pertanyaan, jadi ya buat apa. Tapi saya ingat waktu saya duduk di kelas 1 SMA, ada dorongan untuk mencontek karena hampir semua anak di kelas itu mencontek kalau sedang ulangan!
Wah, meja penuh dengan catatan-catatan kecil, ada juga yang menyembunyikan gulungan kertas di jam tangan, tulisan di paha (untuk siswi yang pakai rok, haha) dan lain sebagainya. Atau ya mengintip buku yang terbuka di laci meja. Lama-lama saya tergoda juga untuk mencoba. Kayak apa sih rasanya mencontek itu? Kok semua orang merasa perlu melakukannya?
Sayapun mencoba sekali dua kali mencontek ketika sedang ulangan. Bedanya saya merasa tidak perlu banyak basa-basi membuat catatan kecil-kecil di sana-sini. Entah bagaimana caranya, dengan ketenangan luar biasa, ya saya buka saja bukunya yang terletak di atas meja. Dan teman-teman yang lain pun menganga melihat ketenangan dan keahlian saya nyontek!
Saya ingat sekali, ada teman saya yang bernama sama dengan salah satu tokoh pewayangan yang sangat murka ketika kami dibagikan hasil ulangan. Alasannya? Nilai saya sembilan, dan nilai dia enam! Wah, ini teman laki-laki lho. Badannya tinggi dan besar. Dan dia tidak berusaha menyembunyikan ketidaksukaannya dengan saya! Dia sibuk marah-marah kalau saya mendapatkan nilai sembilan dengan cara yang curang!
Akhirnya saya pun dinasehati seorang teman yang sama-sama beragama Kristen untuk tidak mencontek lagi. Katanya, jangan sampai menjadi kesaksian yang buruk buat teman-teman yang lain kalau saya sebagai anak Tuhan kok mendapat nilai tinggi dengan mencontek. Dengan sangat kesal saya menggerutu, “Lah dia yang aneh! Wong sudah nyontek kok masih dapat nilai enam! Kalau udah curang ya dapat delapan kek, sembilan kek. Dan kamu juga tahu kalau tanpa mencontek aku selalu dapat nilai bagus!”
Namun demikian, sejak hari itu saya tidak mencontek lagi. Ternyata nyontek itu tidak terlalu asyik. Dan anyway, seperti saya bilang, tanpa nyontek pun sebelum kejadian dan sesudah kejadian itu nilai saya sama-sama saja. Dan Mas Wayang pun bisa melihat dengan kegeraman yang sama tapi tanpa bisa protes lagi, kalau ya memang dia tidak perlu kesal kepada saya. Yang dia perlu lakukan adalah either belajar lebih giat lagi, atau ya, mencontek dengan lebih cerdas supaya bisa mendapat nilai lebih dari enam.
Sengsara membawa nikmat
Tentu saja semua yang saya ceritakan di atas itu hanyalah remah-remah nostalgia masa bersekolah. Saat ini, saya tetap memilih untuk duduk di depan ketika saya sedang di gereja atau di kelas. Tetapi yaa saya sudah cukup tua untuk tahu bahwa kalau saya duduk di depan, sebaiknya ya tidak mendengar pendeta berkhotbah sambil ikut berkicau, atau tidur di depan mata beliau.
Yang jelas, meskipun surprise saya senang sekali Pak Suami OK untuk kami duduk di depan di gereja. Saya sukaaa duduk di depan. Buat saya, duduk di depan itu lebih untuk keuntungan diri sendiri. Terutama di gereja karena bisa lebih konsentrasi dan khusuk tanpa sibuk menepis godaan untuk celangak celinguk melihat kelakuan orang-orang di sekitar.
Dan tentu saja, duduk di depan sama sekali tidak menandakan kalau kita itu alim/baik/sempurna. Percayalah, saya jauh dari semua image kesempurnaan seperti itu. Kalau ada yang ‘menuduh’ demikian, ya tinggal bilang saja alasan sebenarnya: saya ini rabun dan budek! Hehehe…
Kalau teman-teman, sukanya duduk di baris mana?