Sejarah: Dulu Dibenci, Sekarang Dipelajari

(penting: tonton youtube di bawah ya!)

Ruangan itu gelap, perlu beberapa detik untuk menangkap isi instalasi seni di dalamnya. Pigura-pigura kayu berukir dan bercat emas bergeletakan di lantai, di atasnya tergantung bendera-bendera tua. Ada macan hitam berkepala emas berdiri mengancam kepada seekor macan emas yang terbaring di tanah.

Luka dan Bisa Kubawa Berlari, karya Timoteus Anggawan Kusno – Rijksmuseum Amsterdam 2022.

Terdengar lembut lantunan doa dinyanyikan dalam bahasa Arab. Anak-anak menarik tangan saya, “Mama, aku takut, ayo kita keluar.” Saya celingukan mencari keterangan instalasi seni ini. Sambil ditarik-tarik, saya berusaha membaca keterangan yang tertulis dalam Bahasa Belanda.

Video pembuatan Instalasi Seni Luka dan Bisa Kubawa Berlari. Kredit: takusno.com

Tercekat, air mata saya mengalir jatuh. Sambil menenangkan anak-anak yang semakin tegang kami keluar dan pindah ke ruang pameran berikutnya.

Pameran Perjuangan Indonesia setelah 1945 di Rijksmuseum

Dalam pameran berjudul ‘Indonesia Bersiap’ yang diselenggarakan Rijksmuseum beberapa bulan lalu, terpasang instalasi seni berjudul Luka dan Bisa Kubawa Berlari karya seniman Timoteus Anggawan Kusno.

Selama ratusan tahun, lukisan foto ratusan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda dipajang di Istana Belanda sebagai kebanggaan atas keberhasilan kolonialisme di Indonesia. Belakangan, sejak mereka menyadari bahwa penjajahan adalah tindakan keji yang tidak perlu dibanggakan, lukisan-lukisan ini diturunkan dan disimpan di gudang.

Tiga ratus lukisan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda dikeluarkan dari Istana Merdeka pada saat pergantian kekuasaan tahun 1949. Foto: Henri Cartier-Bresson, Magnum. The National Archives of the Netherlands.

Pigura yang berantakan di lantai melambangkan kekalahan para Gubernur Jendral. Dan bendera-bendera di atasnya ternyata adalah panji-panji berbagai kelompok pejuang Indonesia! Panji-panji tua yang robek-robek ini dirampas dan disimpan sebagai bukti kemenangan tentara Belanda. Pada beberapa panji ini dijahitkan doa-doa, harapan dan kerinduan para pejuang untuk bisa merdeka, bisa lepas dari cengkraman kekejaman Belanda.

Bendera/Panji kelompok-kelompok perjuangan Indonesia. Foto: takusno.com, koleksi Rijksmuseum.
Doa yang dijahit di ujung-ujung bendera. Bukan hanya doa yang dipersembahkan oleh orang-orang yang berani memperjuangkan kebebasan yang kita nikmati saat ini, tapi juga nyawa mereka sendiri, demi masa depan anak-anak mereka, demi masa kini kita. Terimakasih para pejuang kemerdekaan untuk hadiah kebebasan yang kalian berikan. ❤
Mata-mata Yang Ditangkap dilukis oleh Affandi, 1947. Foto: rijksmuseum.nl
Burgers op de vlucht voor oorlogsgeweld, 1945, Tony Rafty (Penduduk mengungsi dari kekerasan perang dilukis oleh Tony Rafty pada tahun 1945). Foto: rijksmuseum.nl
Pejuang dari pulau Jawa, dilengkapi dengan bambu runcing melawan pasukan Belanda yang lengkap dengan senjata api, Januari 1946. Foto: Koleksi Troppenmuseum.

Saya tercenung. Mengapa saya tidak pernah melihat ini di Jakarta? Mengapa tidak ada pameran seperti ini di Indonesia? Mengapa foto, dokumen, cerita para pejuang yang tidak pernah dipublikasikan di Indonesia tercatat rapi di Belanda?

Indonesia, diarsipkan di Belanda

Hampir setahun ini saya rajin membaca buku dan artikel di dalam Bahasa Belanda. Sejak terjebak mengikuti kursus Belanda akhir 2021, saya mendapat banyak tugas membaca dan menulis, dan perlahan, saya menikmati membaca dalam bahasa asing ini.

Sebenarnya sudah lebih 10 tahun saya tinggal di sini, tapi baru belakangan semua terasa lebih kontekstual karena sudah lebih dikuasai bahasanya. Benar kata orang, bahasa adalah pintu ke dunia yang baru.

Every language we learn is a door opening up a new world.

Steve Kaufmann.

Sejak saya lebih paham bahasa Belanda, masuk ke museum dan membaca buku jadi lebih mengasyikan karena jadi lebih mengerti apa yang dituliskan. Dan entah bagaimana, saya jatuh cinta kepada sejarah, kepada sejuta cerita masa lalu, terutama yang berkaitan dengan Indonesia.

Orang Belanda suka mencatat dan mengarsipkan segala sesuatu. Museum penuh dengan catatan, benda peninggalan yang ditampilkan dengan keterangan lengkap yang mudah dicerna. Ada juga arsip-arsip internet, kopi dari bermacam-macam dokumen tua, baik dari negara Belanda maupun negara-negara koloninya.

Katalog Koleksi Barang-barang Etnis, 1885. Arsip Universitas Leiden.
Isi buku Katalog Barang Etnis: barang-barang dari Pulau Sumatra dan sekitarnya. No. 6: Gelang dari rotan, dicat dengan getah dari tanaman mengkudu. No. 10: ikat pinggang dari kulit pohon. No. 11: Cawat dari kulit pohon. No. 13: Perhiasan kepala untuk gadis muda. Arsip Universitas Leiden. (Orang Belanda ternyata sudah punya kebiasaan mengumpulkan barang dan data dari seluruh Indonesia, sebagian besar barang-barang ini ada di beberapa museum di Belanda)
Benda-benda seni dari berbagai suku di Indonesia ada di Troppenmuseum, Amsterdam. Kenapa justru saya bisa melihatnya di sini ya? 😢

Rasanya saya bisa menemukan keterangan tentang Indonesia 2000% lebih banyak dalam Bahasa Belanda dibandingkan dalam Bahasa Indonesia! Di arsip Universitas Leiden ada catatan tentang Bandung, Jakarta, geologi, arsitektur, infrastruktur, penelitian tentang budaya dan alam yang mendalam, dan lain sebagainya!

Penjelasan Naskah Tulis dalam Bahasa Jawa, Bali, dan Sasak oleh Dr. H. N. van der Tuuk, diterbitkan 1901 – 1926. Arsip Universitas Leiden.
Isi buku di atas: penjelasan naskah 1: Adigama-Ender. 2: Ghaṭotkatjaçaraṇa-Putrupasadji. 3: Rabut Sakti-Yusup. 4: Teks tanpa judul. Arsip Universitas Leiden (Isi buku ini adalah naskah dengan tulisan Jawa/Bali/Sasak yang di’terjemahkan’/ dijelaskan dalam Bahasa Belanda. Rajin banget ya!)

Membaca semuanya membuat saya menyadari betapa kaya Indonesia kita, sekaligus juga betapa sistematik pemerintah Belanda sewaktu mereka menjajah kita. Melihat dokumen dan foto di museum, saya menyadari betapa beratnya perjuangan para pejuang kemerdekaan dan beratnya kehidupan penduduk Indonesia saat penjajahan. 

Surat Edaran: Jika Saya Seorang Belanda, ditulis oleh R. M. Soewardi Soerjaningrat, diterbitkan oleh Komite Bumiputra dalam rangka Perayaan 100 Tahun Kerajaan Belanda di Bandung tahun 1913. Arsip Universitas Leiden.

Di saat yang sama saya juga menangkap betapa kompleksnya kehidupan dan perasaan orang Belanda yang tinggal di Indonesia di jaman itu. Orang-orang yang harus pulang ke Belanda padahal lahir dan besar di Indonesia, mereka yang kehilangan identitas dan terbagi perasaannya antara negara dan tanah kelahirannya.

Never say never

Semua ini adalah hal yang baru untuk saya. Dulu di bangku sekolah, saya membenci (with passion) pelajaran sejarah. Why bother remembering years and dates of the deaths? Perang Diponegoro berlangsung tahun 1825 – 1830 – so what?? Apa hubungannya dengan saya?

Rasanya dulu buku sejarah di sekolah begitu gersang, tanpa foto, tanpa cerita. Hanya keterangan yang tidak seru, yang harus dihafal demi menyelamatkan nilai rapor saja. 

Tapi di sini, membaca cerita yang lebih lengkap dan melihat foto-foto ‘real human‘, membuat saya mengerti bahwa sejarah bukan hanya tentang tanggal dan nama, tetapi tentang kehidupan orang-orang yang nyata. Tentang mereka yang sudah berlalu namun dampak perbuatannya dirasakan sampai saat ini juga.

Empat tawanan Indonesia menunggu diadili di Pengadilan Khusus di Garut, Februari 1949, semua dijatuhi hukuman mati. Aoki alias Abu Bakar (duduk paling kanan), seorang Jepang yang dipidana karena ‘melakukan tindakan teroris’ di Jawa Barat atas nama Tentara Nasional Indonesia. Foto: koleksi T. Smid, niod archieves.
Sekelompok pejuang dari daerah Sidikalang, Sumatera Utara ditangkap dan diinterogasi oleh Pasukan Keamanan Belanda, tahun 1949. Foto: The National Archives of the Netherlands. Orang-orang ini memiliki identitas, cerita, keluarga. Mereka bukan cuma sekedar ‘pejuang Indonesia’, mereka adalah individu dengan ceritanya masing-masing.

Lewat hal ini saya belajar bahwa sebenarnya tidak ada hal yang mutlak dibenci dan tidak bisa dipelajari. Terkadang kita bersentuhan dengan materi atau guru yang kurang pas, dan setelah ada celah untuk melihat sisi lain yang belum pernah kita tahu, bisa jadi kita malah jatuh cinta.

Sama seperti perihal sejarah, liburan ini membuat saya tertarik untuk belajar sketsa – sesuatu yang belasan tahun tergolong mission impossible. Berawal dari percakapan tentang sketsanya Choi Ung di drakor Our Beloved Summer, lalu membaca tulisan teh Andina soal berkarya saat travelling, plus melihat langsung cantiknya bangunan tua di beberapa kota Eropa – timbullah keinginan untuk mencoba sketsa lagi.

Salah satu gereja di Venesia. Melihat langsung bangunan cantik seperti ini bikin pingin mendokumentasi semua di dalam sketsa. Tapi terlalu panas (sampai 40C 🌞🥵) untuk duduk dan langsung menggambar (dan nggak sejago itu juga haha), difoto aja dulu, semoga kapan-kapan bisa disketsa.
Lagi ngebahas soal sketsa, liat bangunan-bangunan cantik, eh ngelewatin sekelompok orang lagi bikin sketsa di pusat kota Munich. Kayak dikasih sign sama semesta untuk mulai belajar lagi? 😁

Berbekal notes polos dari supermarket, saya mencoba menggambar. Hasilnya? Well, sebagai lulusan Arsitektur yang tidak berbakat seni, tentu saja hasilnya tidak bisa digadang di Instagram. Tapi saya senang bisa mengatasi perasaan ‘this is impossible’ dan rasa takut untuk memulai. Saya juga menikmati prosesnya, padahal selama ini saya selalu merasa sketsa itu gak gue banget.

Gemes liat anak-anak muda duduk sketsa jadi pingin nyoba juga, eh ternyata gak punya kertas sama sekali kecuali amplop bekas tagihan asuransi di laci mobil 😂
Berbekal buku notes murah meriah dari supermarket, sambil nunggu makanan datang waktu kami sedang istirahat dalam perjalanan antar kota, iseng gambar-gambar sambil ngobrol dengan si Bungsu.

Efek gelombang dalam belajar

Ada banyak keuntungan waktu kita belajar skill baru. Bukan hanya pengetahuan tentang hal itu bertambah, tapi juga ada proses perubahan positif dalam sistem saraf dan otak yang mempengaruhi pola berpikir secara keseluruhan.

Ini saya kutip dari buku Beginners, The Joy and Transformative Power of Lifelong Learning karya Tom Vanderbilt. Buku ini berbicara tentang mengapa kita perlu (berani) menjadi beginner dengan mempelajari skill baru.

Sebagai orang dewasa yang sudah alot pola berpikirnya, tidak mudah untuk spontan belajar hal baru. Kita cenderung terpaku pada analisa resiko dan untung/rugi dalam belajar subyek baru, dan juga menghindari kesulitan yang timbul ketika kita sedang jadi beginner.

Padahal proses belajar hal baru itu membawa refreshment kepada otak yang lantas memberikan keberanian untuk belajar skill berikutnya.

Saya mengalami hal ini ketika tahun lalu memutuskan untuk meninggalkan kelembaman kehidupan IRT dan mulai menulis. Belajar menulis menimbulkan gairah untuk belajar ngeblog, ngutak-ngutik Canva, lalu sedikit nyrempet ke Google Sheet dan Slides. Basically hal-hal yang sudah tidak pernah disentuh sejak berhenti ngantor.

Lalu saya jadi berani untuk belajar Bahasa Belanda dan dari belajar bahasa jadi tertarik belajar sejarah, dan sejarah membuat saya tertarik kepada bangunan-bangunan tua dan ingin menuangkan mereka di dalam sketsa.

Berani mengambil resiko untuk mulai belajar sesuatu, baik itu mengatasi rasa takut untuk memulai, mengatasi rasa kesal dan kecewa ketika gagal, berani membayar biaya kursus atau sekolah, dan lain sebagainya – keberanian ini memberikan efek gelombang, memberikan energi baru yang akan membuat kita berani untuk terus belajar.

It’s not always about the cv

Hampir dua tahun ini saya merasakan energi tersebut, apalagi belajar bersama komunitas seperti MGN, misalnya melalui ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog (Tema Juli 2022: Hal-hal Yang Ingin Dipelajari) – jadi semakin semangat mengulik topik-topik baru. Ada berbagai macam subjek yang saya pelajari yang tidak selalu berkaitan langsung satu sama lain, dan terkadang tidak jelas apa tujuan dan kegunaannya.

Dalam buku Beginners, dijelaskan bahwa pemilihan skill baru untuk dipelajari tidak melulu harus dikaitkan dengan CV. Bahkan ketika skill yang kita pilih terlihat tidak relevan dengan peran dan karir saat ini, belajar hal yang baru akan tetap bermanfaat.

Jujur, saya pun tidak tahu minat belajar sejarah ini akan dibawa kemana. Sempat saya berpikir untuk melanjutkan studi di Universitas Leiden jurusan Heritage and Postcolonial Studies. Tapi saat ini saya masih mempertimbangkan anak-anak dan jenis karir apa yang bisa dibangun setelah mereka lebih mandiri nanti.

Entahlah, yang jelas sekarang ini, saya menikmati belajar hal-hal baru, dan juga belajar untuk selalu ingin belajar lagi. Bagaimana dengan teman-teman? Adakah pengalaman benci jadi cinta dalam mempelajari sesuatu? Bagi ceritamu dan yuk, terus semangat belajar!

8 Thoughts on “Sejarah: Dulu Dibenci, Sekarang Dipelajari

  1. Wow harta di Belanda yang keren banget nih. Menarik kalau dishare cuplikan-cuplikannya di IG. Biar jadi informasi buat orang-orang Indonesia yang mau jalan-jalan ke Belanda. Ternyata ada banyak sejarah kita berserakan di sana ya.

    1. Bukan banyak lagi mbak.. semua dicatat di sini. Kalau lihat sampai skrg orang Indonesia gak punya budaya mencatat/mengarsip, apalagi 300 tahun lalu kan.

      Makanya gemes bgt, harusnya semua orang jurusan sejarah mendalami bahasa Belanda dan bisa membuat catatan versi Indonesia.

  2. Bermula dari kisah tentang sejarah Indonesia yang tercatat dengan baik di negeri seberang (bikin iri, ini…), lanjut dengan cerita pengalaman yang menginspirasi. Ini pun memunculkan efek gelombang. Kita yang baca jadi berani untuk belajar hal baru lagi. Terima kasih inspirasinya.

  3. ya ampuuunnnn … keren banget. duuuhhh pastinya aku pun akan meneteskan airmata kala melihat pameran di museum itu teh Irene. salut banget ini artikel favorit deh!
    aku doakan semoga bisa lanjut kuliah lagi ya: di Universitas Leiden jurusan Heritage and Postcolonial Studies. ilmu yang langka ini.

    salam semangat

  4. Wah jadi engga heran ya Teh, banyak mahasiswa Indonesia yang lanjut studi di Belanda.

    Inspiratif banget tulisannya Teh, jadi reminder untuk semangat belajar hal baru apapun itu. Makasih yaa Teh

  5. Pertama saya membaca judulnya saja, saya langsung merasa relatable. Aaaaaa saya juga begitu, Dea. Dulu saya suka sebal dengan pelajaran Sejarah, buat apa sih ngapalin tanggal dan tahun, buat apa sih mengulik kejadian yang sudah terjadi beratus tahun yang lalu.

    Namun sejak bisa membeli buku sendiri, cukup sering beli buku history, dari peristiwa di medieval era, perang dunia, hingga pemberontakan di tanah air kita. Malah bisa lama dan lupa waktu kalau membaca sejarah.

    ***

    Btw, tulisannya baguuus, Dea. Saya ikut hanyut membaca kata demi kata yang Dea ketikkan. Bisa selengkap itu ya museum di sana. Masya Allah.
    Speaking of museum, saya jadi ingat, di hometown saya, Kediri, ada museum peninggalan kerajaan Majapahit, banyak benda-benda antik di situ. Sayangnya, benda-benda tersebut dibiarkan terbuka begitu saja, seolah bukan barang berharga yang usianya ratusan tahun, tentu saja rawan dipegang-pegang oleh ribuan sidik jari. Duh sayang sekali. Not to mention, berdebu ehehehe. Sayang sekali. Semoga profesi kurator museum di Indonesia bisa lebih dihargai, jadi bisa optimal dalam melakukan pekerjaannya.

Leave a Reply to Diah Utami Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *