“Kamu nggak malu kah bekerja sama dengan anak dari kampus lain? Kamu nggak malu sama almamater kita? Kamu ini sedang menggendong gajah! Malu dong kalau orang tahu kamu kerja dengan yang bukan gajah!”

Tiba-tiba teringat percakapan yang absurd ini. Di sebuah warung makan di kota kecil sebelah Jakarta, saya sedang diinterogasi oleh mantan pacar saya yang juga adalah lulusan Institut Tjap Gadjah. Entah bagaimana ceritanya waktu itu, saya sedang di luar rumah dan dia mengirimkan sms mengajak bertemu. Kami sudah bertahun-tahun tidak bertemu, practically sejak PHK (Putus Hubungan Kasih) semasa masih di kampus, kami tidak banyak berkomunikasi lagi.

Waktu itu kami berdua sudah lulus kuliah. Saya bekerja mandiri, membuka studio arsitektur kecil-kecilan bersama seorang teman dari almamater yang berbeda, sebuah kampus swasta di Indonesia. Mungkin karena itulah sang mantan berpikir kalau kami kawan kerja yang tidak seimbang kualifikasinya.

Saya pulang dengan kesal. Malu sama almamater? Malu karena saya menggendong gajah? Why on earth ada orang yang mau menggendong gajah? Gajah itu berat! Yang ada kita jadi gepeng kalau kita berani menggendong gajah. *Sambil membayangkan diri saya membopong patung Ganesha di depan kampus.*

Repot amat jadi anak gajah sampai merasa malu bila berpartner dengan almamater kampus lain! Gajah itu untuk ditunggangi (maaf ya, aktivis lingkungan hidup dan hewan pasti gak setuju dengan pernyataan ini). Bukan untuk digendong.

Tulisan ini ditulis dalam rangka Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Januari 2022, dengan tema: Tentang Dirimu, Mamah Gajah.

Si anak gajah

Waktu saya kecil, kami sering berkunjung ke Bandung. Meski aslinya orangtua saya berasal dari Pulau Sumatera, Bandung adalah tempat kami pulang kampung karena di sana hampir semua keluarga besar Mama saya tinggal.

Papa dan Mama juga bertemu di Bandung. Mereka menikah dan tinggal di sana beberapa tahun pertama dalam pernikahan mereka. Saya dan kedua abang lahir di Bandung dan dibesarkan di sana sampai kami pindah ke Jakarta.

Jadi, Bandung adalah kota kenangan buat Mama dan Papa. Setiap kali kami ke sana, kami selalu dibawa berjalan-jalan ke setiap sudut kota. Termasuk Kampus Ganesha karena di sanalah dulu Papa saya berkuliah, dan di sanalah Papa dan Mama saya berpacaran, hihihi.

“Papa punya teman satu almamater dan dia suruh anaknya cium rumput di sini supaya anaknya bisa masuk ITG juga. Coba kalian cium rumput, biar bisa masuk kampus ini. Dulu waktu Papa masuk ke sini tahun 60an, disambut dengan spanduk selamat datang putra putri terbaik bangsa.” Jelas Papa waktu kami sedang di sana dengan kebanggaan yang tidak dapat disembunyikan.

Dengan banyaknya kuda berseliweran di kawasan Kampus Ganesha, sebenarnya lebih pantas kalau sekolah kita dinamakan Institut Tjap Kuda, dan kita disebut sebagai Mamah Kuda, LOL. Foto: indoplaces

“Hah? Cium rumput di sini PA? Kan jorok banyak kuda lewat yang pupup dimana-mana!” Protes saya. Selain tidak higienis, saya pribadi memang tidak pernah bercita-cita masuk ITG. Hari itu tidak ada satupun anak orangtua saya yang mau mencium rumput di lapangan Aula Barat. Dan terbukti, tidak ada yang berkuliah di sana, kecuali… saya.

Kesan sebagai anak gajah

Masuk ITG sendiri adalah salah satu blunderisme dalam hidup saya. Sejak usia lima tahun, cita-cita saya fixed menjadi dokter. Tidak pernah berganti sedetik pun.

Tapi karena satu dan lain hal, at the last minute pada saat pengisian formulir pemilihan universitas tujuan UMPTN, orangtua saya mengultimatum bahwa saya tidak boleh memilih fakultas kedokteran. Kebingungan, saya akhirnya memilih Kampus Ganesha sebagai tujuan. Cuci otak Papa saya rupanya sedikit berhasil.

Benar saja, di saat pendaftaran ulang, sambil menunggu di antrian yang panjang di gedung GSG, mata saya tertumbuk pada sebuah spanduk besar berwarna biru tua: “Selamat datang putra putri terbaik bangsa”.

Ternyata slogan yang berpuluh tahun isinya sama sudah diganti! Foto: rinaldimunir

Mungkin hal itulah yang menyebabkan si mantan kesal dan menganggap saya memalukan karena mau bekerja sama dengan yang bukan anak gajah. Karena dia sangat menghayati isi spanduk ini, sampai-sampai dia merasa bahwa sebagai alumni, kami perlu membopong gajah kemanapun kami pergi.

Kami? Dia aja kalik! Yang jelas sejak saat itu, fix kalau dia tidak akan pernah masuk kembali ke kategori mungkin akan menjadi The One. Cara berpikir yang sempit seperti ini tidak cocok dengan saya!

Tidak ada rasa istimewa yang saya rasakan ketika saya menjelajah kehidupan menyandang status sebagai lulusan Tjap Gadjah. Kemanapun saya melangkah, dan dimanapun saya bergaul, tidak ada rasa khusus karena status ini.

Ketika saya merantau, saya juga tidak banyak bergaul dengan alumni gajah lainnya. Mungkin karena saya adalah lulusan kaleng-kaleng, jadi saya sedikit minder untuk bergaul dengan alumni lain yang gemerlap karir dan pendidikan lanjutannya.

Salah dua hal yang paling membuat hidup saya berbeda dalam kaitannya dengan Kampus Gadjah adalah di sana saya bertemu dengan Pak Suami. Pertemuan pertama di lapangan basket di depan Student Centre tak terlupakan oleh kami berdua. Meskipun sempat terpisah samudera dan tak bertukar kabar selama tiga belas tahun, puji Tuhan kami bisa bertemu kembali dan membentuk keluarga.

Hal kedua adalah di sana saya bertemu dengan si Sep, sepupu jauh saya yang kemudian menjadi BFF selama dua puluh tahun lebih. *Sambil ada efek soundtrack If You Wanna Be My Lover dari Spice Girls di latar belakang.*

Ye kan, Sep, Ye kan??

Tapi meskipun tidak ada hal yang perlu disombongkan seperti perkataan sang mantan, pastilah ada banyak hal lain yang somehow membentuk saya sebagai seorang pribadi lewat pengalaman saya berkuliah di kampus gajah.

Seperti tertulis di buku Jij die Mij Ik Maakt, pengalaman kita dan orang-orang yang kita temui akan memberikan pengaruh di pembentukan karakter kita. Saya sendiri belajar tentang apa arti kegagalan setelah berkuliah di kampus gajah.

Sewaktu sekolah saya mudah sekali memperoleh nilai dan rangking yang baik. Hal ini mungkin sudah membuat saya agak sombong dan terlalu percaya diri. Tapi pengalaman susahnya lulus dari ITG membuat saya belajar tentang kerendahan hati, dan mengajarkan saya kemampuan untuk menerima bahwa orang lain punya kekuatan dan kelemahan yang tidak persis sama dengan saya.

Aku, seorang Mamah Gajah

Karena Tantangan Ngeblog ini katanya isinya many things about YOU, jadi saya lampirkan di sini dua puluh fakta kecil tentang saya:

  1. Nama saya… Irene Cynthia. Panggil saja DIP.
  2. Lahir di Bandung, bulan November 40 tahun lebih yang lalu.
  3. Seorang ibu rumah tangga, berdomisili di Belanda bersama Pak Suami dan dua anak kami, si Sulung dan si Bungsu.
  4. Saya berhenti memakai sosial media sekitar tiga tahun lalu, dan sejak itu lebih suka kalau saya tidak dikenal dengan identitas asli saya di dunia internet, termasuk di blog.
  5. Pintar memasak, tapi tidak suka memasak alias malas. Capek cuci pancinya.
  6. Tidak suka makan daging, hanya mau makan daging kalau bumbunya medok seperti makanan Indonesia. Jadi rasa dagingnya tidak begitu terasa.
  7. Tidak suka makan nasi di pagi hari. Hampir lima belas tahun terakhir saya makan pagi muesli setiap hari.
  8. Paling senang makan udang, tapi juga alergi udang.
  9. Menyukai hal-hal yang berkaitan dengan kain dan benang: menjahit, merajut, menyulam. Tapi sudah agak lama tidak dilakukan.
  10. Punya lima mesin jahit dan satu mesin obras.
  11. Punya koleksi kain yang tidak pantas disebutkan jumlahnya. Dan punya seorang suami yang tidak tahu persis berapa banyak jumlah koleksi kain istrinya.
  12. Suka menulis tapi tidak ingin menjadi seorang penulis.
  13. Agak sensitif dengan hal-hal yang berbau ketidakadilan.
  14. Maunya dikenal sabar tapi ternyata gampang esmosi.
  15. Sering terlalu banyak bicara, bukan karena suka bicara tapi karena merasa bersalah kalau melihat orang lain berkumpul lalu semua diam saja.
  16. Sering naik ojek di masa lalu, tapi belum pernah naik Gojek dan tidak punya aplikasinya.
  17. Pernah sangat suka membaca buku dan berhenti membaca selama puluhan tahun. Tahun lalu mulai lagi membaca dan berhasil membaca sekitar dua puluh buku. Yay me!
  18. Bisa menyetir mobil dengan baik, tapi suka mengantuk dan sering ingin pipis bila sedang berkendaraan.
  19. Pernah satu kali menabrak mobil orang lain karena silaunya matahari. Dan yang saya tabrak adalah seorang selebriti Belanda yang tiap minggu muncul di televisi.
  20. Tidak suka menonton Teletubbies, tapi saya setuju pada slogan yang sering mereka serukan: “Berpelukan!”
Ternyata gajah kalau tidur suka snuggle-snuggle gitu. Ih, saya banget hihihi! Foto: globaltimes.cn

Buat anak-anak saya, status Mamah Gajah yang saya punya bukanlah terjadi karena Mama mereka pernah bersekolah di Kampus Ganesha. Tapi karena mereka tahu saya suka sekali dengan gajah (sejak sebelum berkuliah) dan setiap tahun, Papanya bertugas memberikan kartu ulang tahun bergambar gajah untuk Mama.

Kartu gajah pertama yang saya terima dua puluh lima tahun yang lalu, dan kartu berikutnya, tiga belas tahun kemudian.

Saya suka gajah karena gajah adalah binatang yang setia; gajah tidak pernah lupa. Begitu kata Mrs. Oliver dalam dialognya bersama Hercule Poirot di buku Agatha Christie. Buku yang saya baca sewaktu saya duduk di sekolah dasar, dan kalimat itu tidak pernah saya lupakan sampai sekarang.

Bahwa saya pernah bersekolah di ITG, hal itu bukanlah hal yang sangat berpengaruh di dalam siapa saya sekarang ini. Buat saya sendiri hal itu tidak terlalu penting. Mengutip prinsip psikologi Adler yang saya baca di buku The Courage to Be Disliked: The important thing is not what one is born with, but what use one makes of that equipment – yang penting bukanlah bahwa kita pernah bersekolah di sekolah Tjap Gadjah, tapi bagaimana kita menggunakan hal itu di dalam kehidupan kita.

Dan buat saya pribadi, kenyataan bahwa saya adalah seorang Mamah Gajah artinya adalah  Tuhan sudah memberikan saya sebuah potensi yang harus saya gunakan untuk bisa melayani dan memberkati orang-orang di sekitar saya. Meskipun sekarang saya lebih banyak berkegiatan di rumah saya, semoga saya bisa tetap memberikan sumbangsih bagi orang lain. Dan semoga di tahun-tahun ke depan, saya bisa lebih banyak lagi berkarya yang membawa kebaikan untuk sesama.

Well, kami belum pernah membawa anak-anak kami ke Bandung untuk berkunjung dan berwisata. Siapa tahu, saat pandemi Corona usai kami bisa pulang kampung dan membawa mereka ke Kampus Ganesha tempat saya dan Pak Suami bertukar pandangan pertama. Lalu saya akan berkata kepada anak-anak, “Ayo cium rumput, biar kalian bisa masuk ITG juga seperti Mama dan Papa.”

Ah, lihat nanti sajalah. Yang jelas, buat saya, gajah itu untuk ditunggangi. Bukan untuk digendong!

10 Thoughts on “Aku, si Mamah Gajah

  1. Hahaha, udah tinggal di Belanda, ga perlulah anak-anak masuk institut cap gajah, kalau nanti berbakti dan berkarya jadi pengajar di sana bisa dipertimbangkan deh, hehehe…

    1. Haha ya begitulah Sep, talenta yang diberikan kita gunakan, entah bagaimana dan kapan waktunya diberikan buat orang lain. Mungkin juga memang anak-anak bisa jadi dosen di tempat Papa Mama bertemu.. tapi skrg aku harus ngajarin bahasa Indonesia dulu yang baik dan benar gimana. Biar mereka kalau digossipin mahasiswanya ngerti mereka ngomong apa🤣

    1. Haha.. ngaco kan Teh Dewi… anak-anak Teh Dewi disuruh cium rumput juga gak? Mungkin anak-anak ini akan kubawa ke TU Delft atau dimana gitu kampus di sini, suruh cium rumput siapatahu masuk 😆

  2. Wkwwk, baru tahu soal cium rumput, setahuku disuruh minum air sungainya Dea biar balik lagi. Joke kalau kita ke Samarinda, wajib minum air Mahakam biar balik lagi haha.

    Baru tahu juga soal putra-putri terbaik udah diganti jadi pemimpin global, bagusan putra-putri terbaik ah, dulu Mamaku sampai nangis liat spanduk itu, katanya ga nyangka ada anaknya masuk ITB, salah satu putri terbaik bangsa hehe.

    1. Haha iya May, kalau slogan yang sekarang rasanya semua lulusannya harus jadi pegawai negeri gitu ya, trus jadi ketua apa gitu di departemen mana 😅

      Hmmh, mungkin nanti anak-anak disuruh minum air di kolam indonesia tenggelam aja 🤣

  3. Ahahaha Deaaaa. Mari berpelukaaaan. Kocak banget. Inget tahun 2000an, Teletubbies ini hit banget ya wkwkwkwk.

    Btw point no 5 mirip niy Dea. “Malas memasak”. Ihihiiy. Bedanya ku gak pintar memasak seperti Dea.

    Jadi dobel, ga jago masak plus malas masak ehehehe.

    1. Hehe jago mungkin agak terlalu ngaku-ngaku ya 🙈 tapi kalau aku masak rasanya 90 persen bener lah, bisa kemakan. Cuma mualasnya itu hahhaa. plus yang suka makan cuma pak suami doang dan aku pusing liat dia makan buanyak buanget 🤣

Leave a Reply to Shanty Dewi Arifin Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *