Apa yang muncul di benakmu kalau kita berbicara tentang keluarga? Siapakah orang-orang yang kita anggap sebagai keluarga kita? Dan bagaimanakah hubungan kita dengan mereka? Apakah yang kita harapkan dari orang-orang yang adalah anggota keluarga kita, dan apakah yang bisa kita berikan kepada mereka?
Di dalam hidup ini, kita tidak dapat lepas dari yang namanya keluarga. Kita lahir dari sebuah keluarga, tumbuh dan berkembang lalu keluar dari rumah untuk membentuk keluarga yang baru dengan pasangan kita.
Terkadang memang ada situasi di mana kita terpaksa berpisah dari keluarga kita. Entah itu karena jarak, kematian, perceraian, dan berbagai alasan lainnya. Tapi bagaimanapun juga, di dalam hati kita selalu ada dorongan untuk berkumpul bersama orang lain dan membuat sebuah ikatan bersama mereka. Karena sejatinya, tidak ada manusia yang dapat hidup sendirian. No man is an island, sebuah kalimat terkenal yang disadur dari prosa karangan penulis Inggris John Donne empat ratus tahun yang silam.
Hidup sendirian di rantau
Table of Contents
Begitu juga dengan saya. Selama 43 tahun yang saya jalani, 23 tahun saya hidupi di rantau, jauh dari keluarga, jauh dari orangtua dan abang-abang saya. Waktu saya dulu kuliah di Bandung dan keluarga ada di Jakarta, rasanya sih tidak berat-berat banget karena saya masih rutin bertemu dengan orangtua ketika mereka berkunjung atau ketika saya pulang.
Setelah saya selesai kuliah, saya sempat pulang ke rumah dan bekerja di Jakarta selama tiga tahun. Setelah itu saya merantau ke Singapura untuk bekerja di sana. Empat tahun di negara Singa, saya menikah dan merantau lebih jauh lagi dari rumah. Saya diboyong ke Eropa oleh suami yang bekerja di Belanda.
Tidak terasa telah 16 tahun saya merantau ke luar Indonesia. Selama belasan tahun tersebut, saya jarang sekali bertemu dengan orangtua dan saudara sekandung saya. Pertemuan saya dengan mereka bisa dihitung dengan jari. Apalagi semenjak anak-anak lahir, mudik setiap tahun menjadi semakin berat karena biaya perjalan yang tinggi.
Otomatis, ada banyak hal yang umumnya dilalui bersama dengan keluarga besar yang harus kami lalui sendirian. Pindah rumah, melahirkan anak-anak, berkumpul di hari raya, dan lain semacamnya. Sedih? Rindu? Nelangsa? So pasti semua itu kami rasakan juga.
Untunglah semuanya itu tidak benar-benar harus dijalani sendiri. Ada orang-orang yang kami ‘angkat’ atau mungkin mereka yang ‘mengangkat’ kami sebagai keluarga mereka. Orang-orang yang tidak sedarah dengan saya, tapi akhirnya menjadi akrab, bersama-sama menanggung nasib dan penanggungan selama kami di perantauan.
Keluarga Batak di ujung jalan
Selama saya tinggal di Singapura, dua tahun pertama saya hidup menyewa apartemen bersama dua orang pekerja perempuan Indonesia lainnya. Sama seperti saya, mereka belum menikah dan bekerja sebagai TKW di sana. Mereka-lah yang menjadi keluarga saya. Bersama teman-teman sekantor yang juga datang dari Indonesia, dan teman-teman gereja Indonesia tempat saya beribadah selama tinggal di Singapura.
Tahun ketiga saya tinggal di sana, abang (kandung) saya dan istrinya pindah dari Bali untuk bekerja di Singapura. Setelah setahun menyewa rumah secara terpisah, kami sempat tinggal serumah selama satu tahun sebelum akhirnya saya pindah ke Belanda. Akhirnya saya sempat merasakan tinggal berdekatan dengan kerabat langsung. Tapi itupun tidak lama.
Waktu saya akhirnya menikah dengan Pak Suami dan diboyong ke Eropa, kami benar-benar sendirian di sana. Semua hubungan yang sudah saya bangun dengan teman-teman satu lingkungan dan komunitas harus saya tinggalkan. Saya harus memulai dari awal lagi dan hal ini sama sekali tidak mudah.
Selain tidak banyak orang Indonesia yang tinggal di kota kami, ternyata saya baru menemukan bahwa Pak Suami adalah tipe orang yang lebih suka menyendiri dan tidak menikmati bergaul dengan banyak orang. Mungkin prinsip beliau adalah ‘asal ada istri tercinta, dunia ini terasa sudah sempurna’ 😝 tapi yaaa… kan sulit juga kalau semua-semua mau dihadapi hanya berdua. Awalnya sih serasa surga, lama-lama ya terasa pusing juga.
Puncaknya adalah ketika kami harus pindah ke kota lain sewaktu kandungan saya berumur 7 bulan. Hampir melahirkan, di kota yang sama sekali baru, tidak ada siapapun yang saya kenal, duh, harus bagaimana ya?
Waktu itu saya masih aktif menggunakan Facebook dan tiba-tiba saya melihat salah satu profil seorang teman, alumni universitas yang sama yang tinggal di kota yang sama tempat saya tinggal! Waduh, kebetulan banget nih! Kota ini bukan kota besar, dan si abang/kakak ini satu angkatan dengan suami saya. Sama-sama Batak pula. Saya pun sempat kenal selama masih di kampus!
Dengan gembira saya meng-add mereka menjadi teman. Seingat saya sempat menunggu beberapa lama sampai pertemanan saya di-approve. Tapi setelah akhirnya mengobrol dan bertemu, ternyata mereka tinggal hanya 130 meter dari rumah saya! Bukan hanya satu kota, kami ternyata bertetangga!
Keluarga tanpa ikatan darah
Menjadi seorang perantau yang tinggal jauh dari keluarga membuat kita menciptakan definisi dan dimensi baru bagi arti kata keluarga. Di dalam adat Batak sendiri, orang yang memiliki satu marga dengan kita (atau dengan suami) sudah terhitung sebagai sanak keluarga. Jadi kalau ada satu orang bermarga Panjaitan, lalu bertemu dengan orang lain dengan marga Panjaitan di belahan dunia lainnya, mereka terhitung sebagai saudara. Bahkan meskipun di dalam kenyataannya mereka tidak mengenal satu sama lain ataupun sebenarnya tidak ada ikatan darah sama sekali di antara mereka.
Karena saya dan suami adalah orang Batak, dan si tetangga yang satu almamater dengan kami juga adalah pasangan Batak, kami pun merasa sebagai saudara. Anak-anak saya memanggil teman saya ‘Inangtua’ yang artinya adalah bibi/tante yang lebih tua dari ibu mereka.
Tante angkat anak-anak ini (beserta keluarganya) menjadi bagian dalam berbagai kejadian penting di dalam kehidupan keluarga kami. Saat si Bungsu lahir, si Sulung kami titipkan beberapa malam bersama beliau sementara saya dan suami sedang di rumah sakit.
Kami berusaha saling mendukung di dalam setiap kebutuhan masing-masing. Saat ada yang sakit, saat harus menitipkan anak-anak, saat harus berbelanja, dan lain sebagainya. Kami juga merayakan Natal bersama-sama, bermain bersama di saat liburan, masak bareng, main salju sama-sama, dan yang lain-lain juga.
Selain keluarga ini, ada beberapa keluarga lain yang juga menjadi ‘keluarga angkat’ buat kami. Satu kenangan yang sangat berharga buat saya, waktu saya hamil si Sulung, biasanya di adat Batak sang calon ibu akan ‘diberi makan’ dan didoakan orangtuanya, diberikan kain ulos sebagai tanda harapan supaya sang ibu dan bayi sehat sampai kelahirannya nanti.
Kebetulan waktu itu abang kandung saya sedang dinas ke Eropa, dan sempat melipir ke Belanda dua hari. Akhirnya kami jadi juga mengadakan upacara adat memberi ulos kepada saya yang sedang hamil, dihadiri teman-teman kami.
Yang biasanya acara ini diadakan dihadiri paman, bibi, sepupu-sepupu, digantikan oleh teman-teman yang kami anggap keluarga selama di sini. Ibu dan ayah saya hadir juga lho! Melalui video Skype kami diberikan doa dan berkat untuk kelahiran anak sulung kami.
Orang-orang yang menjadi ‘saudara angkat’ inilah yang kemudian kami tulis namanya di daftar nomor telepon emergency untuk anak-anak di sekolah. Bila ada kejadian emergency di sekolah, nomor telepon mana yang bisa dihubungi selain nomor telepon Ayah dan Ibu? Tidak ada nomor telepon oom, tante, kakek atau nenek yang bisa dipasang di daftar ini. Gantinya kami meminta teman gereja, dan tetangga untuk menyediakan dirinya ditaruh di dalam daftar tersebut.
Memang benar kata kakak saya yang satu ini (kami juga tidak satu orangtua, tapi terasa seperti kakak kandung), bahwa keluarga tidak terbentuk hanya lewat ikatan darah saja. Apalagi untuk kami kaum perantau. Terimakasih teman-teman semua, yang sudah menjadi saudara-saudara angkat buat kami sekeluarga. 🥰